Selasa, 13 Desember 2022

Menuju Sumber Cahaya



Dari kubang kekegelapan

temaram pelita berkedip di kejauhan

Sinar suci yang tak boleh bersentuhan

kehinaan


Pasca mandi cahaya

foton tersambung sumbernya

Setiap kali garis lurus teramat kuat menyeret

jatuh menimpa benda

hancur dalam kegelapan


Di lubuk kehinaan

keagungan sinar nyata dirindukan

Tapi cahaya tak selalu jadi jalan

Kadang menghempaskan

menumbuk kembali 

fananya materi


Tapi cahaya jalan satu-satunya

bolehkah ku susun tekad pertama

bertengger di sinar singgahsana

dari bawah gelap materi yang hampa


Sumber cahaya

dari kegelapan ku tangkap langkahku

menuju dirimu

Jumat, 18 Juni 2021

Sabtu, 17 April 2021

Minggu, 28 Maret 2021

Minggu, 20 Desember 2020

Sahabat Sejati

 Jangan kau sematkan label 

sahabat sejati karena selalu Ada 

saat sedih dan duka.

Tak perlu merasa di level 

sahabat sejati karena selalu Ada 

saat sedih dan duka.


Hadir dan alpanya tiada terjadi 

tanpa Yang Menghadirkan.

Ada dan tiadanya tak mungkin  

tanpa izin Yang Mengadakan.


Lesapkan penghadapan 

kutub utara dan selatan 

tak berarti bagi 

semesta raya sonder tepi


Pondok Hijau, Ciputat, 20 Desember 2020

Minggu, 08 Desember 2019

Bahagia Menderita

Aku tidak akan membunuhmu
aku sedang melakukannya
Kau akan mati pelan-pelan
seperti kepercayaan orang yang benci pada perokok
dan yakin bahwa rokok membunuhmu.
Kematianmu pasti
sekaratmu kutunggu
bersama sekaratku
kita satu dalam penderitaan
kita satu dalam ranjang penderitaan
Inikah cinta yang kau maksud? Tanyamu.
Ya. Cinta sebagaimana juga kau maksud.
Tapi, bukan dendamku yang menyakiti
tapi benih kesakitan yang tertanam
Kini mulai bersemi. Melumat kastil keceriaanmu.
Dalam realita fisik, aku mencabik-cabik dada hingga perutmu
dengan pisau kesombongan
dengan belati keluguan
dengan silet kepolosan
mari menderita bersama
Ajak sebanyak mungkin orang
Jika kau kira mereka menolongmu
Silakan
Mereka akan sebarisan kita
menjerit kesakitan
Diabaikan kehidupan
Bahagialah berasama kesengsaraan

Selasa, 03 Desember 2019

Makanan Berlabel Setan

Di Legoso, Ciputat, Tangsel, ada beberapa makanan / warung makan memakai label 'jahat'/'haram'. Di antaranya ketoprak SETAN. Terus gak jauh dari ketoprak SETAN, ada sambal SETAN. Agak jalan sekira 200 m ada warung makan yang selalu ngajak ribut, namanya sambal PERANG. Warung-warung tersebut selalu dan begitu laris tiap harinya. Sebagai orang dengan lidah dan perut Nusantara, ketiga warung makan itu cukup memenuhi apa yang saya inginkan dan saya butuhkan.Enak, murah, dan bikin kenyang. Saya yakin kelarisan dan rasa enak itu bukan karena bantuan SETAN. Saya sudah pernah melakukan eksperimen, dg baca doa, bismillah, atau makan makanan tsb sambil mendengarkan ayat-ayat suci al-Qur'an. Hasilnya, tetap enak dan bikin kenyang. Baik itu dimakan di tempat atau dibawa pulang (dimakan di rumah). Baik pesan via go-food ataupun grabfood (kecuali ketoprak setan karena tidak sesuai dg aplikasi, ya pak)

Minggu, 06 Oktober 2019

Selamat Menempuh Hidup Bau

Kita kini dua orang asing Bahkan raga telah berbeda bukan lagi yang pernah bersentuhan asing dan beda Jangan gagu untuk menyebut gue lu Aku kamuku untuk spesial kesepakatan dan tulisan Berkaryalah Untuk apa senja bila hanya jadi malam Untuk apa turun ke jalan kalau cuma buat konten instagram Untuk apa untuk mengisi jagad digital Jika DPR bikin patah hati untuk apa jika tak jadi royalti Tangan kiri terkepal tangan kanan mendokumentasikan Kaulah alam ruh yang masih terekam Kaulah alam khayal yang masih relevan Besok kita ketemu Joker dan menertawakan hidup ini bukan tragedi tapi komedi Getir serasa petai, jaling, jering dan jengkol mentah lahap sebagai lalap Jangan mengeluh di pagi hari takut seisi langit mengutuki Sebelum terbit matahari Ucapkanlah alhamdulillah

Jumat, 12 Juli 2019

'Padu' (adu mulut) dengan pelaku #curanrek

Wahai kamu, yang suka bawel dan nyinyir kepada para pelaku #Curanrek, plis jangan lebai. Korek tidak lebih berharga dari kemanusiaan. 9 dari 10 pelaku curanrek itu mengambil korek teman bukan karena niat atau kesengajaan tapi karena kebiasaan.
- Iya sih, harganya paling cuma Rp.2000, tapi kan nyebelin! Nyusahin! kalau pas gw butuh api, eh korek ilang karena lu embat! Kan bang*tit*
Oke, nyebelin. Tapi emang lu gak punya teman yang lebih nyebelin dari pelaku #Curanrek? Kalau gak punya, oke. Lu masuk list yang koreknya gw tandain gak bakal kebawa kaya perasaan

Minggu, 24 Februari 2019

Berdiamlah


Aku pejamkan mata dan menyapu ruang yang lebih luas dibanding tatapan.
Dalam gelap kau masih dapat melihat.
Sebentar, biar kusiapkan tempat pantas untukmu,
agar bisa kukunjungi sewaktu-waktu
yang aman dari intaian pemburu dan pencemburu.
Di sudut itu kau bisa tunggu,
jangan pergi-pergi lagi mengganggu.
Bersemilah dengan suplai gizi masa lalu.


Jumat, 23 November 2018

Ramainya Gunung Padang, Tanda Kiamat Sudah Dekat?


Jutaan tahun silam, gunung api purba itu mengakhiri masa aktifnya. Meninggalkan gundukan tanah perbukitan dan batu-batu balok dengan pola prismatik yang berserak di kakinya. Pohon-pohon tumbuh bersemi. Kera-kera liar dan kawanan hewan lainnya singgah lalu mendiami.
Kemudian sekelompok ras manusia yang telah memiliki kesadaran spiritual mencapai tempat ini pada sekitar tahun 200 SM. Mereka menetap dan melakukan berbagai aktivitas untuk memenuhi kebutuhan individu dan sosial, termasuk kebutuhan untuk berkomunikasi dengan hal yang bersifat supranatural.
Berkat intuisi yang mereka dapat pada masanya, sekitar 117 SM, mereka mulai menyusun sedemikian rupa balok-balok batu prismatik yang berasal dari hasil proses vulkanik gunung api purba itu. Mereka angkut balok-balok yang terserak di kaki bukit, lalu menatanya di atas hamparan bukit Gunung Padang yang berundak-undak seluas sekitar 29 hektar dan tinggi 220 m. Susunan batu menghasilkan dinding tembok pagar, tangga demi tangga, pintu-pintu gerbang dan altar pemujaan.
Cara meletakan batu atau menhir tidak ditanam dengan menggali tanah, melainkan hanya dihujamkan atau didirikan begitu saja. "Masyarakat dulu itu mendirikan balok batu itu tidak dibuatkan lobang gali tapi langsung menghujamkan ke tanah. Batu dengan berat 300 kg, mereka hantamkan ke tanah. Kenapa itu bisa? Banyak faktor-faktor. Mereka religius emosinya menyatu. Itulah bagian dari nilai religius punden berundak Gunung Padang," terang Dr Lutfi Yondri, M.Hum, peneliti utama Balai Arkeologi Jawa Barat, dalam pemaran tentang seluk beluk situs Gunung Padang kepada Forum Masyarakat Peduli Gunung Padang, yang difasilitasi Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Museum, Kemdikbud RI, Sabtu (3/11/2018).

Secara sederhana, punden berundak Gunung Padang terdiri dari beberapa titik bangunan. Ada sumur tua disebut sumur kahuripan, kemudian tangga utama, teras satu sampai lima, dinding pembatas teras, tangga teras, serta dinding batas halaman.
Perlu waktu tiga generasi atau sekitar 62 tahun untuk menyelesaikan pembangungannya. Dari tahun 117 SM, Punden berundak Gunung Padang sempurna sebagai altar pemujaan pada sekitar 45 SM. Diawali kontruksi dari teras paling bawah hingga paling atas. Mereka juga menggali sumur di bagian bawah, untuk kebutuhan logistik dan nantinya menjadi tempat bersuci sebelum mendaki melakukan ritual ibadah di puncak altar.
"Di bawah teras empat (yakni teras tiga, dua dan satu), saya eskavasi, saya ambil sampel arang, ada tembikar, ada temuan di sana. Kemudian saya analisis, di teras empat itu didapat angka 45 SM. Sementara di teras satu angkanya lebih tua 117 SM. Jadi gunung padang itu dibangun paling tidak selama 62 tahun. Kalau kita bandingkan dengan sekarang, dalam tiga generasi," jelas Lutfi.
Dari kajian naskah, ada beberapa yang menyebut Gunung Padang. Tapi menurut Lutfi, yang disebut dalam naskah-naskah itu bukan Gunung Padang di Cianjur tapi di Ciamis, mengingat kondisi lingkungan yang diceritakan berbeda. "Di Tasikmalaya kita juga temukan ada yang disebut Gunung Padang, temuan-temuannya gerabah tapi tidak ada hamparan punden berundak," kata Lutfi.
Meski pernah ada temuan gerabah di sekitar punden berundak Gunung Padang, namun keberadaan permukiman sebagai bagian dari satu peradaban besar belum dapat dibuktikan alias masih misteri. Terlebih, situs ini berasal dari masa pra sejarah, yang mana belum didukung budaya tulis. "Bisa saja, Gunung Padang ini tempat upacara yang didatangi oleh orang-orang masa pra sejarah (dari tempat-tempat pemukiman yang jauh)," ungkap peraih doktor terbaik dari Universitas Indonesia dan Universitas Padjajaran dengan bahasan Gunung Padang ini.
Demikianlah, situs Gunung Padang berdiri sebagai salah satu tempat pemujaan berbentuk punden berundak terbesar di Asia Tenggara. Keberadaannya turut memotret waktu yang tak kasat mata. Ia berjuang menyikapi perubahan kepadatan tanah serta ancaman longsor, dan bertahan dari guncangan. Perlu diketahui, Gunung Padang ini berdiri di atas dua sesar aktif yang rawan gempa.
Manusia datang dan pergi, membawa serta budaya dan kepercayaan yang silih berganti. Sampai pada masa Prabu Siliwangi, raja di masa keemasan Pajajaran yang memerintah antara 1482- 1521 M dengan gelar Sri Baduga Maharaja. Diyakini, Prabu Siliwangi pernah mendiami Gunung Padang, termasuk untuk bertapa atau bersemedi. Jejak-jejaknya terekam dalam beberapa relief serta area-area tertentu yang menjadi cerita turun temurun juru kunci Gunung Padang.
Ketika pemerintah kolonial Belanda menguasai Nusantara, mereka tahu ada kandungan emas di area Gunung Padang. Mereka sampai di Gunung Padang seiring pembangunan rel kereta api yang melintasi bukit ini.
R. D. M. Verbeek (1891) dalam Rapporten van de Oudheidkundige Dienst (ROD, "Buletin Dinas Kepurbakalaan Hindia-Belanda) serta De Corte dan kemudian sejarawan N.J. Krom (1914) adalah nama-nama yang pernah mendokumentasikan catatan tentang Gunung Padang. Melihat struktur bangunan situs Gunung Padang, mereka menduga ini hanyalah semacam kuburan kuno.
Juru Kunci Gunung Padang, Nanang Sukmana (tiga dari kiri) dan Pakar Gunung Padang / Peneliti Utama Balai Arkeologi Jawa Barat, Dr. Lutfi Yondri, M.Hum (tiga dari kanan).
"Saya sudah lakukan eskavasi di Gunung Padang itu tidak menemukan indikasi kuburan. Yang kuat itu gunung padang tempat masyarakat jaman dulu melakukan upacara ritual pemujaan masyarakat," jelas Luthfi.
Gunung Padang Sempat Hilang Ditelan Pepohonan dan Semak Belukar
Setelah Indonesia merdeka, Gunung Padang kembali redup dari pandangan. Ilalang dan rumput liar tumbuh rimbun menutup Punden berundak di puncak bukit dengan lima teras itu. Beberapa pohon besar pun menjulang. Akarnya yang lebar menelan menhir-menhir yang sebelumnya tersusun sebagai altar pemujaan.
Pada 1979 M, tiga penduduk Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat bernama Endi, Soma, dan Abidin berniat membabat semak ilalang untuk berladang. Mereka mendapati tumpukan batu-batu persegi dengan beragam ukuran tersusun di area berundak yang menghadap ke Gunung Gede. Mereka lalu melaporkannya ke Penilik Kebudayaan wilayah setempat. Pada tahun 1980-an, para arkeolog Indonesia memulai kembali penelitian dan eskavasi Gunung Padang.
Tiga penduduk yang menemukan Gunung Padang tadi didapuk sebagai juru kunci atau juru pelestari. Di antara tanggung jawab mereka adalah menjaga dan merawat kelestarian situs Gunung Padang. Setelah lanjut usia, tugas juru kunci mereka turunkan ke anak cucunya. Salah satunya Nanang Sukmana (43), cucu dari Soma, salah satu penemu Gunung Padang.
Dari kakeknya, Nanang mewarisi banyak pengetahuan dan cerita seputar situs purbakala ini. Detail lokasi serta relief di tiap menhir ia ketahui. Juga hal-hal yang bersifat metafisika.
Nanang masih berusia 7 tahun, ketika kakeknya berkisah bahwa Gunung Padang memiliki nama lama Nagara Siang Padang. Namun, sang kakek tidak menjelaskan apa itu Negara Siang Padang. Ia hanya berpesan kepada cucunya untuk mencari tahu makna di balik nama tersebut.
Berdasarkan penelesuran spiritual dan refleksinya, Nanang mendapatkan maksud Nagara bisa berarti negara atau tatanan komunitas dan semacamnya. Sementara Siang berarti telat, penghujung, atau akhir. Lalu Padang bermakna terang, cahaya atau bisa juga lapang. Jadi Nagara Siang Padang memiliki makna kurang lebih semacam tatanan atau rangkaian pencerahan di ujung atau akhir zaman.
Kepada Nanang, kakeknya juga menunjuk tempat-tempat di sekitar perbukitan Gunung Padang. "Nanti di sini akan ada jalan lebar dan bagus. Di sana ada pasar, di sini banyak orang datang dan berjualan, banyak penduduk yang semula bertani jadi pedagang dan suatu saat Gunung Padang akan ramai dikunjungi banyak orang."
Juru Kunci Gunung Padang, Nanang Sukmana
Nanang yang masih kecil hanya iya iya saja. Antara percaya dan tak percaya. Pasalnya, kala itu semua yang ditunjuk oleh sang kakek masih berupa hutan belantara. Jalan menuju punden berundak Gunung Padang juga masih harus melewati gunung lain dari wilayah Sukabumi.
Ia mulai sadar ujaran kekeknya jadi kenyataan pada tahun-tahun belakangan. Tempat yang ditunjuk akan menjadi pasar, benar jadi pasar. Begitu pula dengan jalan baru yang mulus, lebar, dan sebagainya, serta ramainya pengunjung yang datang ke Gunung Padang.
Namun ada pesan kakenya, yang membuatnya cukup merinding, "Yang membuat saya sampai sekarang masih bertanya-tanya, kata kakek saya, 'kalau Gunung Padang sudah ramai dikunjungi banyak orang, kalau Gunung Padang sudah ramai, itu pertanda Kiamat sudah dekat,'" kata Nanang di sela-sela obrolan santai di teras rumahnya, yang tak jauh dari kantor Juru Pelestari (Jupel) Gunung Padang, Minggu (4/11/2018).
"Tapi ya, soal kiamat itu hanya Allah yang tahu. Wallahu a'lam," imbuh Nanang.
Situs Gunung Padang ditetapkan sebagai cagar budaya melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 1998. Kemudian pada 2014 menjadi cagar budaya nasional melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 023/M/2014. Pelestarian tentang cagar budaya ini juga telah diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya.

Pemerintah Susun Zonasi untuk Pecah Kepadatan Pengunjung
Kian ramainya wisatawan datang ke Situs Gunung Padang membuat Pemerintah, Pemda, Juru Pelestari serta warga setempat yang peduli akan kelestarian ini bekerja keras. Mereka turut merawat, menjaga dan mengingatkan pengunjung untuk peduli dan tidak sembarangan melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan kerusakan. Seperti buang sampah sembarangan atau duduk dan berdiri di atas menhir. Selain itu, karena berada di perbukitan, Gunung Padang juga rentan longsor. Terlebih juga harus menahan beban jumlah pengunjung yang terus meningkat.
Oleh sebab itu, pemerintah telah menyusun zonasi untuk menentukan area mana saja yang menjadi zona inti, pengembangan, dan pemanfaatan. "Zonasi di UU No. 11 tahun2010 ada empat, zona inti, zona penyangga, zona pengembangan dan zona pemanfaatan. Untuk zona inti khusus pelestarian. Zona satu dua tiga untuk pelestarian," jelas Dewi Kurnianingsih dari direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Museum, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Ia menambahkan, target pariwisata untuk situs Gunung Padang ini ingin menghadirkan jutaan pengunjung. Tapi melihat situasi dan kondisi yang berada di perbukitan, banyak kekhawatiran timbulnya bahaya seperti longsor dan sebagainya. "Nggak mungkin (Gunung Padang) menampung jutaan pengunjung. Makanya, pemerintah ingin memecah perhatian pengunjung. Kita pecah spot-spotnya. Masterplan-nya yang membuat Pemda. Pemda Cianjur termasuk pemda yang pro aktif tanpa paksaan dari kita. Jalan-jalan juga sekarang sudah dilebarkan dua kali lipat, beberapa bulan lalu ke sini jalan masih sempit. Sekarang sudah lebar," terang Dewi.
Kajian dan penyusunan zonasi ini, menurut Lutfi Yondri, penting juga untuk mendongkrak perekonomian masyarakat. Sehingga potensi lokal lain di sekitar Gunung Padang juga turut terangkat.
"Ini salah satu tinggalan nilai luhur dari nenek moyang kita di tataran Sunda. Menjadi pembelajaran, punya nilai politik dan nilai keluhuran bangsa," kata Lutfi.
"Setelah kajian zonasi kita akan rapat dan sosialisasikan supaya lebih terarah. Kita sudah lakukan kajian domestik dan pariwista. Gunung Padang tidak mungkin menampung orang dengan jumlah banyak. Mereka harus diatur, dialihkan juga perhatian mereka sehingga potensi lokal lainnya bisa bergerak."
"Nanti akan dibikin homestay, (berupa) rumah masyarakat, bukan hotel untuk pengunjung," ungkap Lutfi.
Mari kita rawat peninggalan masa lalu sebagai kekayaan budaya milik Indonesia. Kita Kunjungi, Lindungi dan Lestarikan Cagar Budaya Indonesia.[]

*Tulisan ini telah diunggah di akun saya di Kompasiana.com dengan judul "Situs Gunung Padang dan Tanda Kiamat Sudah Dekat". Berikut link artikelnya: https://www.kompasiana.com/bigbangbow/5bf1c5eb12ae944aa352b722/situs-gunung-padang-dan-tanda-kiamat-sudah-dekat

Kamis, 22 November 2018

Gunung Padang, Punden Berundak Tertua pra Sejarah Nusantara Dibangun Selama 62 Tahun



Situs Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat, menjadi destinasi wisata yang tepat buat kamu yang ingin merasakan liburan atau jalan-jalan yang berbeda. Menuju lokasi yang pernah menjadi tempat peribadatan masyarakat purbakala di puncak bukit, kita akan langsung disuguhi pemandangan alam, hamparan kebun teh nan hijau di sisi kiri dan kanan, serta udara nan segar.

Tak kalah penting, jalan menuju ke sana sudah mulus. Pemerintah daerah (Pemda) Kabupaten Cianjur dan Provinsi Jawa Barat tengah serius menata aset cagar budaya peninggalan masa pra sejarah tersebut. Untuk sampai di pintu masuk Situs Gunung Padang, kita perlu melewati 20 km dari jalan raya Cianjur-Sukabumi. Meski daerah perbukitan dan dataran tinggi dengan medan menanjak dan berkelok-kelok, kita tak perlu khawatir jalan terjal. Pemerintah telah melebarkan jalan seluas kurang lebih 8 m dan memuluskannya dengan cor.



Sampai di pintu masuk, kita hanya butuh Rp.5000 per orang untuk tiket, selenjutnya dipersilakan mendaki tangga menuju lima teras situs pemujaan roh leluhur dari tahun 117 SM. 

Ada dua pilihan tangga. Pertama tangga curam, yang tersusun dari bebatuan setinggi 175 m. Ini tangga asli sejak situs Gunung Padang ditemukan. Bisa jadi, sejak sebelum masehi itu. Pilihan kedua adalah tangga landai dengan bahan semen cor sejauh atau setinggi 300 m.


Teras Satu
Tiba di teras satu, kita langsung mendapati hamparan menhir berupa balok-balok batu berbentuk prisma. Ada yang rubuh, ada yang tegak. Lumut atau jamur kering banyak yang menempel di kulit menhir. Beberapa masih tersusun sebagaimana altar pemujaan.

Pas di ujung tangga naik tadi, ada dua balok yang disebut sebagai gerbang pertama. Sedikit ke tengah area teras satu ini, puluhan menhir tertancap berdiri membentuk ruangan kotak persegi panjang. Dua menhir di antaranya lebih besar dan tinggi, disebut sebagai gerbang kedua. Di bagian dalam, agak ke ujung, ada batu pipih sejenis batu dolmen namun tanpa penyangga. Warnanya berbeda, lebih menyerupai oranye kekuning-kuningan.

Juru kunci Gunung Padang, Nanang Sukmana menerangkan, pada masa silam, nenek moyang kita menggunakan tempat ini untuk acara-acara khusus. Setelah selesai, dari tempat ini kemudian menuju ke teras dua, tiga, empat dan lima melalui gerbang sederhana, yang juga berupa dua pancang menhir balok batu.

Masih di teras satu, dekat tangga ke teras dua, ada batu musik, disebut juga batu bonang atau batu gamelan dan ada juga batu kecapi. Batu ini bisa mengelurkan nada khas Sunda, Da Mi Na Ti La Da, ditabuh menggunakan jari tangan. Pada ujung batu musik tersebut terdapat relief lima jari. Konon, sering bunyi sendiri di malam hari. Tapi ada pakar yang mengatakan ini adalah sarana untuk menyetel atau stem alat musik.

Pola prisma menhir rata-rata persegi lima. Namun kata arkeolog pakar Gunung Padang, Dr. Lutfi Yondri, M.Hum, sebenarnya tidak semua batu polanya demikian sebagaimana legenda yang berkembang di masyarakat. Ada persegi empat, tujuh hingga yang paling sempurna yakni segi delapan. Berdasarkan penelitiannya, yang sudah dimulai lebih 30 tahun lalu, sejak 1980an, semua batu-batu tersebut berasal dari proses vulkanik. Gunung Padang sendiri merupakan bekas gunung api purba, meninggalkan gundukan bukit dan balok-balok batu berjumlah ribuan, ada yang menyatakan jutaan.

Pada 117 SM yang lalu, nenek moyang kita di tempat ini mulai menyusun batu-batu tersebut menjadi kuil peribadatan atau pemujaan. Hasil tes laboratorium yang dilakukan Lutfi Yondri dan rekan-rekan penelitinya menyatakan bahwa susunan batuan yang berada di teras satu atau paling bawah usianya lebih tua dari teras dua dan seterusnya. Sampai di teras empat, diperoleh angka tahun 45 SM. Ini menandakan Situs Gunung Padang dibangun secara bertahap dari bagian paling bawah menuju tempat paling atas, selama kurang lebih 62 tahun.

Masih di teras satu, terdapat sebuah pohon besar. Akarnya menelan batu-batu yang cukup banyak di bawahnya. Jumlah batu di teras satu ini lebih banyak dari teras-teras berikutnya. Semakin ke atas semakin sedikit. Bahkan di teras empat nyaris lapang. Namun kepadatan atau jumlah batu/menhir kembali terjadi di teras lima atau puncak Gunung Padang. Hal itu karena teras yang paling atas merupakan area paling vital dalam ritual atau pemujaan.

“Punden berundak Gunung Padang, kalau dibagi secara sederhana, ada sumur tua yang disebut sumur kahuripan, ada tangga utama, ada teras satu sampai lima, ada dinding pembatas teras, ada tangga teras, dinding batas halaman,” jelas Lutfi kepada Forum Masyarakat Peduli Gunung Padang di bawah naungan Yayasan Dapuran Kipahare, di Kantor Juru Pelestari (Jupel) Gunung Padang, Cianjur, Sabtu (3/11/2018).

Ia meyakinkan bahwa tidak ada piramida di situs Gunung Padang sebagaimana kabar yang dihembuskan Ali Akbar dan peneliti lain pada sekitar tahun 2011 hingga 2013. “Sebenarnya di dalam Gunung Padang itu bukan ruangan, tapi lapisan tanah yang basah. Di situ ada hidrolitik. Ada hidrologi di sana, sehingga di Gunung Padang itu tidak pernah kering. Itu yang menyimpan air sehingga Gunung Padang tidak pernah kering. Masih ada tangga yang asli dari susunan jaman dulu, ribuan tahun lalu,” tegasnya.

Namun sejalan waktu, karena proses alam dan juga fenomena seperti gempa, maka terdapat bagian yang tak utuh lagi. Perlu diketahui, Gunung Padang ini dilalui dua sesar aktif. Meski begitu, masih banyak bagian dan susunan altar di teras satu sampai teras lima yang masih utuh setelah melalui waktu ribuan tahun lamanya.

Teras satu menyambung dengan tumpukan batu menggunung, hampir mencapai teras dua. Ada bekas tangga yang sudah tidak dapat dipakai. Warga menyebut ini sebagai bukit masigit atau mahkota dunia. Pada puncak gunungan itu tumbuh pohon tinggi yang cukup rindang. Menurut kepercayaan, ini adalah tempat atau gudang ilmu. Area ini merupakan yang paling sejuk dibanding teras-teras lainnya.

Walau pagar tali mengelilinginya, pengunjung boleh mendaki tumpukan menhir tersebut dari teras dua, dengan syarat melepas alas kaki. Tujuannya untuk menjaga dan melindungi menhir-menhir yang ada. Dari situ pula, kita bisa menyaksikan, hamparan teras satu dan tangga di bawahnya atau meneropong jauh ke atas hingga ke teras lima, menyaksikan perbukitan di sekeliling gunung padang, serta puncak gunung Pangrango di kejauhan.

Melangkah ke gerbang teras dua, ada yang disebut batu kursi. Ini merupakan tempat duduk raja atau pemimpin. Dari tempat duduk ini bisa menikmati panorama alam, tampak pula puncak gunung gede pangrango bila cuaca cerah.

Di teras tiga, terdapat menhir yang disebut Batu Kujang. Berupa menhir besar, posisinya sudah roboh atau terbaring. Disebut batu kujang karena pada satu sisinya terukir gambar senjata khas masyarakat Sunda atau Jawa Barat itu. Ukuran reliefnya cukup besar. Nanang Sukmana meneceritakan, ukiran ini sudah ada sejak situs dibuka kembali pada 1979.


Di teras tiga ini juga, ada batu yang dikenal dengan jejak maung atau harimau. Batunya pun beda dari menhir-menhir lainnya. Ukurannya besar terbaring dan lumayan bulat tidak sempurna. Nanang menjelaskan, memang sekilas relief itu mirip tapak haraimau. Kebetulan juga maung adalah bahasa Sunda yang artinya harimau. Namun dalam arti lain, maung itu singkatan dari manusia unggul. Jadi relief ini merupakan jejak dari pertapaan yang dilakukan oleh manusia unggul. Jika dihitung, jejak maung itu memiliki cekungan berjumlah sembilan. Di sisi bawah, ada relief jejak tumit kiri dan kanan, lalu di batu depannya ada jejak tongkat. Jika dipraktikkan, maka duduk sesuai dengan jejak tapak, tumit dan tongkat itu menghadap ke timur alias menyongsong mentari atau sunrise.


Naik ke teras empat. Ini adalah teras yang paling lapang. Balok-balok batu kebanyakan hanya tertancap sebagai pagar di sekeliling teras. Namun ada satu blok di dekat sebuah pohon yang tumbuh menjulang. Batu yang ukurannya lumayan besar ketimbang menhir-menhir di sekelilingnya. Berpagar batu-batu lebih kecil, menhir itu tegak berdiri namun menapak tidak terpendam tanah. Kini, juru pelestari mengamankannya dengan kawat karena posisinya kerap berpindah-pindah, rawan hilang dan rusak. Itu karena banyak pengunjung yang berusaha mengangkat dan memindahkannya.

Menurut kepercayaan yang berkembang, siapa yang dapat mengangkat batu tersebut, maka hajatnya akan terkabul. Nanang Sukmana menegaskan, sebenarnya itu merupakan kesalahpahaman. Ini adalah batu kanuragaan. Dalam budaya masa lalu, batu ini merupakan simbol pengujian. Menhir ini dipercaya sebagai batu yang mampu menyerap dan mentransformasikan energi alam semesta. Ia akan terasa begitu panas di siang hari akibat energi dari matahari, dan sebaliknya begitu dingin di malam hari karena menyimpan energi dari bumi.

Baru kemudian di teras lima, jumlah menhir kembali padat. Hampir sebanyak jumlah batu yang ada di teras satu dan dua. Ada yang tersusun sedemikian rupa menempel dengan tanah, menjadi semacam tempat tidur. Dinamai sebagai singgahsana. Nanang mengatakan, ini adalah tempat tidur atau istirahat Eyang Prabu Siliwangi ketika bertapa atau berdiam di tempat ini. Pada malam hari, ketika berbaring di tempat ini, tampak bintang-bintang di angkasa tanpa terhalang suatu apapun.

Tak jauh dari tempat peristarahatan tersebut, batu paling besar, saat ini posisinya terbaring. Pagar tali mengelilinginya. Menurut kisah, dulunya batu besar ini berdiri dan di depannya terdapat altar. Di samping kanan dan kiri area batu besar tersebut masih ada dua titik, yang disebut tempat sunan rama dan sunan ambu sebagai simbol ayah dan ibu. Nabi Adam dan Siti Hawa.

Punden berundak Gunung Padang merupakan situs pemujaan berbentuk punden berundak tertua di Indonesia. Ini juga menjadi salah satu yang terbesar di Asia Tenggara dengan luas 29 hektar dan tinggi 220 m, yang masih terjaga hingga kini. Meski sudah tidak dipakai sebagai tempat pemujaan, beberapa masyarakat dari Bali, yang beragama Hindu, diketahui kerap datang ke sini. Menurut Lutfi, mungkin mereka memiliki rasa kedekatan dengan budaya dari leluhur di masa silam tersebut.

Tiap hari puluhan wisatawan lokal dan luar negeri berdatangan mengunjungi tempat ini. Rata-rata per bulannya, 300an turis manca negara tercatat menyambangi situs yang sempat heboh karena diduga merupakan piramida yang lebih tua dari Mesir itu.

*Artikel ini telah diunggah di akun saya di Kompasiana.com dengan judul serupa namun sedikit editing perupahan. Berikut link-nya https://www.kompasiana.com/bigbangbow/5beed273aeebe11de2429332/menapaki-punden-berundak-tertua-di-nusantara-dibangun-selama-62-tahun
http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html