Senin, 25 Mei 2015

Alter Ego, Pergilah...


Sore dalam riuh adzan ashar, aku duduk di antara rengekan alter egoku yang berjumlah beribu. Itu hitungan yang berlebihan. Tapi sampai saat ini berisik seolah begitu banyaknya, padahal semua hanya lima.
Kepada kelima alter ego yang telah akrab dan kukenal, aku ingin menyampaikan pesan. Muka mereka murung. Sebagian sembab. Yang lain tampak merah marah, dua lagi gelisah, satunya kesakitan.

“Sini kalian, ajak teman-teman kita yang tak bisa bebas dari belenggu kejadian. Aku minta tolong padamu Yang Marah, padamu Yang Gelisah, padamu Yang Terluka, padamu Yang Meratap, padamu Yang Didera Cacat akibat separuh bagiannya hilang, pergi. Aku minta tolong ajak teman-teman lain yang terpengaruh akibat kejadian ini. Pergi datangi dan silakan tinggal di sana selamanya, di hati, pikiran, jiwa, batin, dan hati, serta raga seseorang yang mengikat pikiran kalian. Biarkan raga kita, pikiran kita, jiwa kita, batin dan hati kita kosong. Karena kosong adalah isi. Biarkan utuh tanpa kalian rong-rong dengan kekosongan yang menjadi-jadi. Hidup harus tetap berjalan. Walau dia tak mungkin lagi jadi teman setujuan. Ikhlaskan. Biarkan segala ketidakadilan tertinggal di masa silam. Terkubur dan terpendam dalam-dalam. Biarkan raga, pikiran, jiwa, batin dan hati kita memulai sesuatu yang baru tanpa kalian. Sekali lagi mohon maaf. Selamat jalan. Pergilah seiring dengan hembusan ketiga dari tarikan nafasku”

Pesanggrahan 24 Mei 2015
Gambar : chillinaris.wordpress.com

Rabu, 20 Mei 2015

Atheisme dan Dzat Tuhan

“Dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai Dia”

Begitulah kurang lebih terjemahan atau tafsir ayat 4 Quran Surat al-Ikhlas. Ayat itu menerangkan bahwa tak ada sesuatu yang menyamai atau menyerupai Tuhan (Allah) dalam hal apapun. Baik rupa, perbuatan, perkataan dan segala hal yang tentunya dapat dibayangkan manusia.
Lalu bagaimana manusia menyembahnya, bahkan mungkin mempercayainya, jika tidak dapat dibayangkan sama sekali? Itulah menurut saya, mengapa surat tersebut dinamai al-Ikhlas. Kita sepaham bahwa ikhlas itu sendiri berarti melakukan sesuatu tanpa mengharap apapun. Termasuk kepada Tuhan. Kita menyembahnya semata-mata menyembah, beribadah kepadanya semata-mata beribadah. Sesungguhnya tidak untuk dalam rangka mengharapkan surga atau takut pada neraka. Itulah ikhlas.
Jika melihat kata Tuhan atau dalam Islam disebut Allah, akal kita juga bisa mencerna bahwa yang kita sebut Tuhan bukanlah Tuhan itu sendiri, yang kita sebut Allah bukanlah Allah itu sendiri.
Perumpamaannya, Anda menyebut nama saya M.S. Wibowo. Anda tentu tahu bahwa M.S. Wibowo itu yang Anda sebut bukanlah saya pada dzat saya sendiri. Kita juga masih bisa berdebat yang disebut M.S. Wibowo itu yang mana? Keseluruhan tubuh sayakah? Pikiran sayakah? Atau yang mana?
Mungkin Anda, jika bertemu dengan tubuh fisik saya, bisa menyebut dan menunjuk tubuh saya, “Ini adalah MS Wibowo. Tubuh ini beserta keseluruhan aktivitas jasmani rohaninya adalah M.S. Wibowo.” Tapi hal itu tidak bisa Anda lakukan pada Tuhan. Kita sama-sama tahu, akal dan pancaindera kita tidak mungkin menjangkaunya. Yang bisa kita lakukan hanyalah mengimaninya. Titik. Selanjutnya menjalankan syariat-syariat yang kita yakini dan imani turun berdasarkan perintah-Nya.
Lain halnya dengan seorang atheis, mereka tidak menjalankan perintah-perintah atau syariat Tuhan. Bahkan mereka menyebut tidak percaya kepada Tuhan. Ketidakpercayaan kaum atheis karena mereka beraktivitas menggunakan akal dan observasi inderawi. Hal ini juga dapat dipahami karena kaum atheis tidak mungkin menjangkau Tuhan yang berada diluar kemampuan akal manusia.
Namun pada titik ini, disadari atau tidak disadari, sesungguhnya kaum atheis telah memurnikan dzat Tuhan dari prasangka-prasangka serta definisi-definisi yang membatasi dzat Tuhan itu sendiri. Satu-satunya batasan yang mereka lakukan terhadap Tuhan, adalah mereka menyatakan bahwa alam semesta ini dapat dipahami tercipta dengan sendirinya “Tanpa Campur Tangan Tuhan”.
Saya garis bawahi kalimat “Tanpa Campur Tangan Tuhan” itulah yang menurut saya bahwa kaum atheis masih juga membayangkan Tuhan sebagaimana dipersepsikan oleh orang-orang kebanyakan. Tuhan berupa fisik yang dengan tangannya membangun dan menciptakan alam semesta.
Tapi bagi atheis sejati, semestinya Dzat Tuhan tentu jauh hubungannya dengan alam semesta. Tuhan benar-benar tak terbayangkan. Sehingga yang ada di pikiran Atheis sejati adalah alam bekerja dengan sendirinya melalui suatu hukum tertentu yang sudah tersusun sedemikian rupa. Segala bentuk pengimajinasian tentang tuhan seyogyanya dihilangkan. Karena bahkan dengan mengatakan Tuhan Ada atau Tuhan tidak Ada itu sendiri sudah merupakan bagian dari cari manusia membayangkan keberadaan atau wujud Tuhan. Artinya itu bertentangan dengan Quran Surat al-Ikhlas ayat 4 di atas.
Kalau ada, seorang Atheis yang sama sekali tidak menyinggung ada dan tidaknya Tuhan, maka itulah dia seorang yang sesungguhnya telah bertuhan, meski tanpa agama yang banyak membatasi tuhan dengan definisi-definisinya. Dia (atheis) menjaga kemurnian wujud tuhan dari persekutuan yang dilakukan oleh pikiran, imajinasi dan bahasa manusia. []


Kramat, 20 Mei 2015

Jiwa dan Tubuh Manusia adalah Bagian Big Bang


Jika Teori Big Bang itu benar adanya, maka pada mulanya alam semesta ini adalah sebuah ledakan besar di ruang angkasa gelap nan luas tiada batas. Ledakan tersebut terus mengembang. Satu per satu materi ledakan berputar membentuk galaksi, semacam tata surya, planet, satelit planet dan seterusnya. Semua benda angkasa itu berputar dengan pola, yang seolah tetap.
Di antara benda angkasa raya atau jagad raya alias alam semesta terdapat planet yang memungkinkan adanya kehidupan. Mungkin salah satunya adalah bumi. Karena tak menutup kemungkinan ada planet-planet lain yang juga memiliki kehidupan.
Sejak mulanya, Bumi, yang merupakan satu titik materi dari bagian big bang, terus berputar. Posisi, letak, materi, dan sebagainya, memungkinkan bumi memiliki kehidupan. Selanjutnya terciptalah makhluk-makhluk hidup yang terus berkembang. Satu spesies yang paling canggih dan cerdas adalah manusia.
Selama perputaran bumi bersama dengan gerak matahari dan seluruh alam semesta, manusia sebagaimana makhluk dan benda lain di bumi mengalami evolusi. Beragam jenis dan teori evolusi mencuat, yang paling populer adalah teorinya Darwin.
Terlepas dari kontroversi teori evolusi Darwin, kenyataan evolusi pada manusia banyak yang menyepakati. Salah satunya dari segi ukuruan tubuh. Konon, umat-umat manusia jaman dulu berbadan besar dan tinggi. Ini dipercaya sebagian orang dari dialog antara Musa dengan Muhammad ketika Isra’ Mi’raj. Kala itu Muhammad mendapat perintah salat sebagai kewajiban yang mesti dijalankan umatnya sebanyak 50 rakaat, ada yang bilang 50 waktu. Musa, yang beralasan umat Muhammad kecil-kecil dan lemah, menilai kewajiban salat itu terlalu berat sehingga menyarankan untuk meminta pengurangan. Setelah bolak-balik meminta keringanan dari Tuhan, maka kewajiban salat final menjadi 17 rekaat atau lima waktu.  
Evolusi pada fisik manusia seiring dengan gerak bumi dan alam raya. Jika disaksikan sepintas dan tak perlu dipikir matang-matang, segalanya seperti tampak teratur. Namun sedikit orang yang mau berpikir bahwa keteraturan yang tampak ini merupakan satu bagian kecil dari sebuah ledakan yang maha dahsyat bernama big bang itu sendiri.
Kita ambil contoh sebuah ledakan bom yang polanya berantakan dan paling acak sekalipun, jika kita mampu melihat sampai pada partikel atom terkecilnya, maka akan tampak dalam penglihatan kita suatu gerak dari partikel neutron, proton dan elektron yang begitu teratur. Jika kita bertubuh super duper kecil dan berada di salah satu partikel itu, maka ledakan bom yang besar dan seperti tanpa pola itu hanya akan terlihat sebagai keteraturan yang tidak berbahaya.
Demikian halnya dengan kehidupan manusia, akan terus bergerak berkembang, berevolusi seiring dengan big bang serta alam semesta yang sampai saat ini konon masih terus mengembang. Bisa jadi suatu saat, ukuran tubuh manusia akan semakin mengecil dan sebagainya atau mungkin sebaliknya. Kemungkinan akan selalu ada mengingat segala sesuatu di alam semesta tidak ada yang diam, terus bergerak hingga entah sampai kapan masanya.
Saya sendiri adalah orang yang menyakini adanya hal gaib, dalam arti sesuatu yang sangat sulit dijangkau akal manusia jika tak mau dibilang tidak mungkin. Hal itu salah satunya adalah jiwa dan pikiran manusia. Meski diketahui dalam sains, pikiran manusia berhubungan dengan fisik otak yang terdapat di kepala manusia, namun wujud pikiran serta jiwa manusia itu sendiri tak dapat dilihat, disentuh, dan dicerna melalui panca indera. Manusia hanya bisa merasakan pikirannya, jiwanya, seperti suara yang berbicara di dalam diri. Tentu saja mediumnya adalah bahasa yang diketahui. Karena pada dasarnya bahasa itu bersifat membatasi, maka sudah barang tentu tidak mampu menjelaskan segala hal mencakup realita kebenaran yang ada.
Jiwa dan pikiran manusia juga terus berevolusi. Dan melalalui jiwa serta pikiran ini manusia memang saling terhubung satu sama lain, termasuk dengan jiwa gaib semesta raya. Setidaknya ini hipotesa saya. Jiwa alam semesta serta jiwa manusia juga saling terhubung, bagi yang menyadarinya. Oleh karena itu, Pythagoras, seorang filsuf Yunani kuno, pernah mengatakan bahwa sesungguhnya alam semesta ini bergerak dengan bunyi atau gemuruh tertentu. Jiwa manusia juga merupakan bagian kecil dari sebuah ledakan besar dari jiwa yang maha besar. Bisa jadi inilah yang disebut oleh Filsuf Iran, Suhrawardi, bahwa alam semesta, bumi beserta isinya merupakan suatu pancaran dari cahaya Tuhan.
Pikiran, atau persaan, atau apalah anda menyebutnya, jika kita sadari dan rasakan maka terdiri dari suatu dialektika tertentu. Pikiran kita tak pernah berhenti. Ia terus bergerak dan berjalan. Hanya saja, kita manusia, kadang tidak mau menyadarinya. Demikian halnya dengan tubuh fisik manusia, sudah pasti terus bergerak tumbuh berkembang, mulai dari yang kelihatan besar ataupun sel-sel terkecilnya.

Maka jika kita bisa menyadari, seluruh pergerakan, pertumbuhan, perkembangan pada tubuh, jiwa dan pikiran kita hanya bagian yang sangat kecil dari sebuah ledakan besar di seluruh jagad raya yang maha luas. Maka tepatlah manusia disebut sebagai semesta kecil atau mikro kosmos. []

Kamis, 14 Mei 2015

Aku Malu maka Aku Gila

Dulu, aku pernah merasa gila, aneh, dan lain dari manusia lain pada umumnya. Lepss bebas dari norma dan aturan masyarakat tanpa aku sadari. Memiliki teman bicara yang tak diketahui orang lain kecuali diriku sendiri.
Tapi aku bangga dan selalu terang-terangan menyatakan kegilaanku itu. Aku tak peduli cibiran dan cemooh orang padaku. 
Setelah beberapa tahun aku normal, merasa tak punya teman yang tak tampak, kini semua itu muncul lagi. Ada banyak teman 'hantu'-ku. Mereka berisik dan memaksaku bertingkah aneh. Tapi tak seperti dulu, sekarang aku malu untuk menuruti perintah teman-teman hantuku. Aku memilih diam.
Kenapa aku sekarang memilih diam? Kenapa aku malu bertingkah aneh dari masyarakat? Apa ini berarti aku benar-benar sudah gila dalam arti yang sesungguhnya? Wallahu a'lam. Yang jelas teman-temanku itu nyata. Mereka sering menyebalkan kadang juga menyenangkan. Masing-masing punya kegemaran. Punya ucapan. Mulutnya tangannya sering memaksa bibir dan lidahku mengucap kata kata kalimat yang mereka inginkan. Brengsek memang, tapi mereka kawan-kawanku, teman dan sahabatku. Mereka pintar dan sering mengabarkan informasi sari jauh yang sebelumnya tak pernah aku tahu. Tapi mereka baik. Setidaknya belum pernah memintaku membunuh orang selain diriku sendiri. Ini juga dengan alasan kebaikan kami bersama.

Gantung Menggantung Baju

Saya punya pacar. Waktu ketika main ke kamar kost yang saya tempati dengan beberapa orang teman, ia kebelet pipis.
Tak perlu saya tunjukkan di mana letak kamar mandi. Kotrakan saya tiga petak memanjang. Sudah umum toilet plus kamar mandi berada di belakang. Ia meluncur ke sana.
Beberapa menit kemudian, ia kembali ke ruang depan. Semestinya lega sesiap buang hajat. Tapi ini malah sebaliknya. Ia merengut.
"Kamu masih suka naruh pakaian di gantungan baju di kamar mandi ya?"
"Kadang-kadang," jawab saya.
"Itu di kamar mandi ada baju kamu."
"Itu baru tadi, abis mandi. Buru-buru, belum sempet mindahin ke tempat baju kotor."
"Pokoknya nggak mau tahu, ambil dan taruh di tempat baju kotor. Aku nggak mau punya calon suami jorok."
"Iya benar kan, calon suami kamu bukan jorok, tapi Bowo."
"Bodo! Pokoknya kalau kamu masih naruh pakaian kotor lagi di gantungan kamar mandi, kita putus," ancamnya. Menurutnya, menggantung baju di gantungan kamar mandi itu merusak kulit. Saya pun nurut karena tak mau dipanggil jorok.

Saya punya teman. Sebut panggilannya Abah, walaupun dia bukan ayah saya. Dia adalah teman yang sampai sekarang setengah bangun dan setengah tidur. Waktu ketika saya berdiam di kamar kost-nya, saya gerah dan langsung membuka sweater. Kamarnya berantakan oleh buku. Gantungan baju di belakang pintu penuh. Lagi pula butuh beberapa langkah dari tempat saya duduk untuk mencantolkan sweater saya di gantungan belakang pintu yang terhalang lemari besar penuh buku. Kebetulan tepat di atas kepala ada paku, tempat memajang kalender. Abah menyebutnya almanak.
Saya cantolkan begitu saja sweater di paku almanak itu. Abah tidak tahu karena dia lagi di kamar mandi.
Sekembalinya ke kamar, dia duduk dan langsung bicara, "orang-orang itu selalu suka menggantung baju di almanak ya. Bapak saya juga begitu."
Saya tahu itu menyinggung saya. Tapi saya abaikan karena tidak diancam putus pertemanan gara-gara perbuatan yang tidak menyenangkan ini. Dan yang lebih penting saya disamakan dengan Bapaknya meskipun saya memanggil teman yang satu ini dengan sebutan Abah.

Teman saya lagi namanya Hafidz. Ada yang memanggil Apis, Hapis, Kapid dan lain-lain. Sebagian menyebut dia sebangsa Gus atau Agus alias Ajengan atau Lora.
Soal gantung menggantung baju ini, ia punya kesebalan tersendiri. Apis, Hapis, Kapid dan lain-lain selalu kompain dan merasa risih terhadap jaket, jas, sweater atau kemeja orang yang ditanggalkan di kursi.
Demikian. Di manakah Anda suka menggantung baju?

Minggu, 10 Mei 2015

Cara Terbaik

Jika kata dan tingkahku banyak melukaimu
karena kebodohanku
Ketahuilah bahwa sesungguhnya dalam diamku membatu cinta terpendam berjuang menampakan lahirnya susah payah berupaya agar ia nyata di realita.
Kalau bukan saat ini, mungkin esok nanti. Namun satu hal yang pasti, semangatnya tak pernah mati
memperbaiki memperbarui bagaimana cara terbaik untuk mencintai

Selasa, 05 Mei 2015

Teknisi PLN dan Teh Botol


Pagi, pukul 06.30, saya baru tiba dari begadang kerja semalaman mengedit tulisan sebagai penghasilan tambahan seorang seperti saya yang bekerja freelance serabutan. Dua teman satu kontrakan baru saja meluncur berangkat kerja. Setengah jam kemudian lampu padam. Pulsa listrik habis. Nol.

Ini pertama kali saya berusan dengan pulsa listrik. Baru dua hari pindah kontrakan. Di kontrakan sebelum-sebelumnya pakai meteran lama selalu. Saya tahu harus segera beli pulsa. Tapi karena mengantuk berat, lagi pula tak ada sepeser pun uang di kantong, maka saya putuskan untuk tidur dulu.

Siangnya pukul 13.00 saya bangun. Listrik masih mati. Saya ingat teman saya, yang telah berada di tempat kerja, menjual pulsa. Maka saya hubungi dia untuk mengisi via sambungan elektrik.

Satu jam menunggu belum juga lampu menyala. Tombol skring berulang-ulang saya gerakkan. On off on off. Masih juga padam. Hasilnya malah tambah fatal, saya menjumpai lampu temper kuning menyala kedip-kedip. Di layar tertera tulisan PERIKSA.

Dengan daya yang tersisa di gawai, saya mencari tahu apa yang terjadi via google. Ternyata solusinya tak ada lain kecuali menghubungi petugas/teknisi PLN.

Saya tak sempat untuk menelpon karena kerjaan mengedit sudah menunggu di tempat lain. Akhirnya kamar kontrakan saya tinggalkan sampai malam berganti pagi. Semalaman dua teman saya tidur dalam kegelapan.

Paginya saya pulang. Kamar mandi diterangi lilin. Saya minta teman saya mengisi pulsa gawai saya agar bisa menghubungi petugas/teknisi PLN. Tapi gawai teman saya mati karena sehari semalam tak mendapat asupan listrik. Ia pun berjanji akan mentransfer pulsa sesampainya di kantor setelah mengisi daya baterai gawainya.

Saya langsung putar akal. Dalam benak saya, petugas/teknisi PLN akan segera datang. Meski servis ini harusnya gratis, biasanya teknisi akan minta uang tip. Gaji belum turun. Di kantong saya hanya ada recehan koin Rp.100 dan Rp.500. Tak mungkin kan itu saya berikan untuk tip.

Hal pertama yang saya lakukan adalah tidak mandi. Hal ini karena badan sudah terlanjur lemas dan lapar. Saya buru-buru menuju warung Ibu Romlah. Kemudian menghubungi teman untuk pinjam uang, jaga-jaga teknisi PLN minta tip.

Seorang teman bersedia memberi pinjaman Rp.50.000. Dia juga belum pernah berurusan dengan listrik token. Pengalamannya hanya ancaman dicabut petugas teknisi karena telat bayar pada listrik dengan meteran biasa (yang versi lama).

Dia bilang, kalau petugasnya baik, dia nggak akan minta tip.

“Tapi gua cari-cari dan baca di internet banyak yang mengeluh karena teknisi minta tip melulu. Kira-kira kasih berapa ya coy?”

“Kasih aja Rp.20.000, bilang ini buat beli rokok bang. Dan jangan lupa, kasih dia teh botol. Sediakan teh botol.”

TEH BOTOL.. Ya, TEH BOTOL dan TEKNISI PLN. Sepertinya itu sangat akrab sekali. Saya tidak tahu betul apa kaitan dan sebab musababnya. Kenapa tidak minuman jenis lain, misal kopi, teh tubruk, sirup atau air putih?

Setelah mendapat pinjaman uang Rp.50.000 saya pulang. Lalu menelpon 021123 dan diterima oleh suara perempuan. Setelah memberikan alamat dan detail patokan lokasi, saya diberi semacam nomor aduan. Saya catat. Jika nanti petugas lama tidak datang-datang juga, saya bisa komplain dengan menyertakan nomor tersebut. Di akhir pembicaraan, dia memperingatkan, dalam rangka menegakan budaya bersih, dilarang memberi tip dalam bentuk apapun kepada petugas teknisi yang datang.

Saya catat betul kalimat terakhir itu di otak saya. Saya bisa gugat PLN jika ternyata petugas yang datang meminta bayaran. Tapi saya mempertimbangkan basa-basi ramah tamah khas Indonesia dengan menyiapkan teh botol untuk sang teknisi, yang notabene punya kuasa lebih daripada saya dalam dunia kelistrikan. Ah, ramah tamah memang kadang jadi biang pemicu korupsi.

Sepuluh menit kemudian, gawai saya berbunyi. Sebuah nomor kantor. Suara perempuan kembali menyapa. Dia bilang dari PLN Ciputat. Dia akan membantu masalah saya via sambungan telepon.

Dia minta saya menjalankan intruksinya. Menuju meteran, memencet nomor kode pembukanya, dan listrik saya menyala. Tanpa tip, tanpa teh botol. Ternyata tak seperti yang saya bayangkan, harus kasih teh botol seperti petugas teknisi PLN dulu pada meteran biasa.

Maaf saya telah berburuk sangka, PLN. Melalui tulisan ini saya akan mengungkapkan rasa cinta yang paling sederhana. Seperti seorang penumpang yang menunjukkan arah turun kepada penumpang lain yang kebingungan tanpa sempat saling kenal. Saya ucapkan TERIMAKASIH banyak kepada PLN dan petugasnya yang bekerja profesional.

Mari budayakan Hidup dan Kerja Bersih tanpa Korupsi dan Gratifikasi!!!

Pemendam

Kembalilah
karena
Sejauh-jauh pencarian
hanya untuk jalan pulang
Gemingkan lidah jilatlah ludah
Tak usah hiraukan cibiran
Jika bagimu dia dermaga
Tiada hakku tuk memaksa
Tak perlu ragu mencipta luka
Bukankah luka biasa tercipta?
Jangan takut muncul balasan
aku pemendam bukan pendendam

Purnawarman, Legoso 5 Mei 2015

Penaklukan


cara menaklukan orang yang setia adalah dengan kesetiaan, 
atau setidaknya, jika kau masih brengsek, ya pura-pura setia padanya
Sebaliknya, orang brengsek hanya bisa ditaklukan dengan kebrengsekan pula. 
Mungkin, kalau kau tak bisa, ya pura-pura brengsek, tapi jangan sampai ketahuan 
tapi

my tweet 14 April 2015
http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html