Jumat, 23 November 2018

Ramainya Gunung Padang, Tanda Kiamat Sudah Dekat?


Jutaan tahun silam, gunung api purba itu mengakhiri masa aktifnya. Meninggalkan gundukan tanah perbukitan dan batu-batu balok dengan pola prismatik yang berserak di kakinya. Pohon-pohon tumbuh bersemi. Kera-kera liar dan kawanan hewan lainnya singgah lalu mendiami.
Kemudian sekelompok ras manusia yang telah memiliki kesadaran spiritual mencapai tempat ini pada sekitar tahun 200 SM. Mereka menetap dan melakukan berbagai aktivitas untuk memenuhi kebutuhan individu dan sosial, termasuk kebutuhan untuk berkomunikasi dengan hal yang bersifat supranatural.
Berkat intuisi yang mereka dapat pada masanya, sekitar 117 SM, mereka mulai menyusun sedemikian rupa balok-balok batu prismatik yang berasal dari hasil proses vulkanik gunung api purba itu. Mereka angkut balok-balok yang terserak di kaki bukit, lalu menatanya di atas hamparan bukit Gunung Padang yang berundak-undak seluas sekitar 29 hektar dan tinggi 220 m. Susunan batu menghasilkan dinding tembok pagar, tangga demi tangga, pintu-pintu gerbang dan altar pemujaan.
Cara meletakan batu atau menhir tidak ditanam dengan menggali tanah, melainkan hanya dihujamkan atau didirikan begitu saja. "Masyarakat dulu itu mendirikan balok batu itu tidak dibuatkan lobang gali tapi langsung menghujamkan ke tanah. Batu dengan berat 300 kg, mereka hantamkan ke tanah. Kenapa itu bisa? Banyak faktor-faktor. Mereka religius emosinya menyatu. Itulah bagian dari nilai religius punden berundak Gunung Padang," terang Dr Lutfi Yondri, M.Hum, peneliti utama Balai Arkeologi Jawa Barat, dalam pemaran tentang seluk beluk situs Gunung Padang kepada Forum Masyarakat Peduli Gunung Padang, yang difasilitasi Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Museum, Kemdikbud RI, Sabtu (3/11/2018).

Secara sederhana, punden berundak Gunung Padang terdiri dari beberapa titik bangunan. Ada sumur tua disebut sumur kahuripan, kemudian tangga utama, teras satu sampai lima, dinding pembatas teras, tangga teras, serta dinding batas halaman.
Perlu waktu tiga generasi atau sekitar 62 tahun untuk menyelesaikan pembangungannya. Dari tahun 117 SM, Punden berundak Gunung Padang sempurna sebagai altar pemujaan pada sekitar 45 SM. Diawali kontruksi dari teras paling bawah hingga paling atas. Mereka juga menggali sumur di bagian bawah, untuk kebutuhan logistik dan nantinya menjadi tempat bersuci sebelum mendaki melakukan ritual ibadah di puncak altar.
"Di bawah teras empat (yakni teras tiga, dua dan satu), saya eskavasi, saya ambil sampel arang, ada tembikar, ada temuan di sana. Kemudian saya analisis, di teras empat itu didapat angka 45 SM. Sementara di teras satu angkanya lebih tua 117 SM. Jadi gunung padang itu dibangun paling tidak selama 62 tahun. Kalau kita bandingkan dengan sekarang, dalam tiga generasi," jelas Lutfi.
Dari kajian naskah, ada beberapa yang menyebut Gunung Padang. Tapi menurut Lutfi, yang disebut dalam naskah-naskah itu bukan Gunung Padang di Cianjur tapi di Ciamis, mengingat kondisi lingkungan yang diceritakan berbeda. "Di Tasikmalaya kita juga temukan ada yang disebut Gunung Padang, temuan-temuannya gerabah tapi tidak ada hamparan punden berundak," kata Lutfi.
Meski pernah ada temuan gerabah di sekitar punden berundak Gunung Padang, namun keberadaan permukiman sebagai bagian dari satu peradaban besar belum dapat dibuktikan alias masih misteri. Terlebih, situs ini berasal dari masa pra sejarah, yang mana belum didukung budaya tulis. "Bisa saja, Gunung Padang ini tempat upacara yang didatangi oleh orang-orang masa pra sejarah (dari tempat-tempat pemukiman yang jauh)," ungkap peraih doktor terbaik dari Universitas Indonesia dan Universitas Padjajaran dengan bahasan Gunung Padang ini.
Demikianlah, situs Gunung Padang berdiri sebagai salah satu tempat pemujaan berbentuk punden berundak terbesar di Asia Tenggara. Keberadaannya turut memotret waktu yang tak kasat mata. Ia berjuang menyikapi perubahan kepadatan tanah serta ancaman longsor, dan bertahan dari guncangan. Perlu diketahui, Gunung Padang ini berdiri di atas dua sesar aktif yang rawan gempa.
Manusia datang dan pergi, membawa serta budaya dan kepercayaan yang silih berganti. Sampai pada masa Prabu Siliwangi, raja di masa keemasan Pajajaran yang memerintah antara 1482- 1521 M dengan gelar Sri Baduga Maharaja. Diyakini, Prabu Siliwangi pernah mendiami Gunung Padang, termasuk untuk bertapa atau bersemedi. Jejak-jejaknya terekam dalam beberapa relief serta area-area tertentu yang menjadi cerita turun temurun juru kunci Gunung Padang.
Ketika pemerintah kolonial Belanda menguasai Nusantara, mereka tahu ada kandungan emas di area Gunung Padang. Mereka sampai di Gunung Padang seiring pembangunan rel kereta api yang melintasi bukit ini.
R. D. M. Verbeek (1891) dalam Rapporten van de Oudheidkundige Dienst (ROD, "Buletin Dinas Kepurbakalaan Hindia-Belanda) serta De Corte dan kemudian sejarawan N.J. Krom (1914) adalah nama-nama yang pernah mendokumentasikan catatan tentang Gunung Padang. Melihat struktur bangunan situs Gunung Padang, mereka menduga ini hanyalah semacam kuburan kuno.
Juru Kunci Gunung Padang, Nanang Sukmana (tiga dari kiri) dan Pakar Gunung Padang / Peneliti Utama Balai Arkeologi Jawa Barat, Dr. Lutfi Yondri, M.Hum (tiga dari kanan).
"Saya sudah lakukan eskavasi di Gunung Padang itu tidak menemukan indikasi kuburan. Yang kuat itu gunung padang tempat masyarakat jaman dulu melakukan upacara ritual pemujaan masyarakat," jelas Luthfi.
Gunung Padang Sempat Hilang Ditelan Pepohonan dan Semak Belukar
Setelah Indonesia merdeka, Gunung Padang kembali redup dari pandangan. Ilalang dan rumput liar tumbuh rimbun menutup Punden berundak di puncak bukit dengan lima teras itu. Beberapa pohon besar pun menjulang. Akarnya yang lebar menelan menhir-menhir yang sebelumnya tersusun sebagai altar pemujaan.
Pada 1979 M, tiga penduduk Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat bernama Endi, Soma, dan Abidin berniat membabat semak ilalang untuk berladang. Mereka mendapati tumpukan batu-batu persegi dengan beragam ukuran tersusun di area berundak yang menghadap ke Gunung Gede. Mereka lalu melaporkannya ke Penilik Kebudayaan wilayah setempat. Pada tahun 1980-an, para arkeolog Indonesia memulai kembali penelitian dan eskavasi Gunung Padang.
Tiga penduduk yang menemukan Gunung Padang tadi didapuk sebagai juru kunci atau juru pelestari. Di antara tanggung jawab mereka adalah menjaga dan merawat kelestarian situs Gunung Padang. Setelah lanjut usia, tugas juru kunci mereka turunkan ke anak cucunya. Salah satunya Nanang Sukmana (43), cucu dari Soma, salah satu penemu Gunung Padang.
Dari kakeknya, Nanang mewarisi banyak pengetahuan dan cerita seputar situs purbakala ini. Detail lokasi serta relief di tiap menhir ia ketahui. Juga hal-hal yang bersifat metafisika.
Nanang masih berusia 7 tahun, ketika kakeknya berkisah bahwa Gunung Padang memiliki nama lama Nagara Siang Padang. Namun, sang kakek tidak menjelaskan apa itu Negara Siang Padang. Ia hanya berpesan kepada cucunya untuk mencari tahu makna di balik nama tersebut.
Berdasarkan penelesuran spiritual dan refleksinya, Nanang mendapatkan maksud Nagara bisa berarti negara atau tatanan komunitas dan semacamnya. Sementara Siang berarti telat, penghujung, atau akhir. Lalu Padang bermakna terang, cahaya atau bisa juga lapang. Jadi Nagara Siang Padang memiliki makna kurang lebih semacam tatanan atau rangkaian pencerahan di ujung atau akhir zaman.
Kepada Nanang, kakeknya juga menunjuk tempat-tempat di sekitar perbukitan Gunung Padang. "Nanti di sini akan ada jalan lebar dan bagus. Di sana ada pasar, di sini banyak orang datang dan berjualan, banyak penduduk yang semula bertani jadi pedagang dan suatu saat Gunung Padang akan ramai dikunjungi banyak orang."
Juru Kunci Gunung Padang, Nanang Sukmana
Nanang yang masih kecil hanya iya iya saja. Antara percaya dan tak percaya. Pasalnya, kala itu semua yang ditunjuk oleh sang kakek masih berupa hutan belantara. Jalan menuju punden berundak Gunung Padang juga masih harus melewati gunung lain dari wilayah Sukabumi.
Ia mulai sadar ujaran kekeknya jadi kenyataan pada tahun-tahun belakangan. Tempat yang ditunjuk akan menjadi pasar, benar jadi pasar. Begitu pula dengan jalan baru yang mulus, lebar, dan sebagainya, serta ramainya pengunjung yang datang ke Gunung Padang.
Namun ada pesan kakenya, yang membuatnya cukup merinding, "Yang membuat saya sampai sekarang masih bertanya-tanya, kata kakek saya, 'kalau Gunung Padang sudah ramai dikunjungi banyak orang, kalau Gunung Padang sudah ramai, itu pertanda Kiamat sudah dekat,'" kata Nanang di sela-sela obrolan santai di teras rumahnya, yang tak jauh dari kantor Juru Pelestari (Jupel) Gunung Padang, Minggu (4/11/2018).
"Tapi ya, soal kiamat itu hanya Allah yang tahu. Wallahu a'lam," imbuh Nanang.
Situs Gunung Padang ditetapkan sebagai cagar budaya melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 1998. Kemudian pada 2014 menjadi cagar budaya nasional melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 023/M/2014. Pelestarian tentang cagar budaya ini juga telah diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya.

Pemerintah Susun Zonasi untuk Pecah Kepadatan Pengunjung
Kian ramainya wisatawan datang ke Situs Gunung Padang membuat Pemerintah, Pemda, Juru Pelestari serta warga setempat yang peduli akan kelestarian ini bekerja keras. Mereka turut merawat, menjaga dan mengingatkan pengunjung untuk peduli dan tidak sembarangan melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan kerusakan. Seperti buang sampah sembarangan atau duduk dan berdiri di atas menhir. Selain itu, karena berada di perbukitan, Gunung Padang juga rentan longsor. Terlebih juga harus menahan beban jumlah pengunjung yang terus meningkat.
Oleh sebab itu, pemerintah telah menyusun zonasi untuk menentukan area mana saja yang menjadi zona inti, pengembangan, dan pemanfaatan. "Zonasi di UU No. 11 tahun2010 ada empat, zona inti, zona penyangga, zona pengembangan dan zona pemanfaatan. Untuk zona inti khusus pelestarian. Zona satu dua tiga untuk pelestarian," jelas Dewi Kurnianingsih dari direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Museum, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Ia menambahkan, target pariwisata untuk situs Gunung Padang ini ingin menghadirkan jutaan pengunjung. Tapi melihat situasi dan kondisi yang berada di perbukitan, banyak kekhawatiran timbulnya bahaya seperti longsor dan sebagainya. "Nggak mungkin (Gunung Padang) menampung jutaan pengunjung. Makanya, pemerintah ingin memecah perhatian pengunjung. Kita pecah spot-spotnya. Masterplan-nya yang membuat Pemda. Pemda Cianjur termasuk pemda yang pro aktif tanpa paksaan dari kita. Jalan-jalan juga sekarang sudah dilebarkan dua kali lipat, beberapa bulan lalu ke sini jalan masih sempit. Sekarang sudah lebar," terang Dewi.
Kajian dan penyusunan zonasi ini, menurut Lutfi Yondri, penting juga untuk mendongkrak perekonomian masyarakat. Sehingga potensi lokal lain di sekitar Gunung Padang juga turut terangkat.
"Ini salah satu tinggalan nilai luhur dari nenek moyang kita di tataran Sunda. Menjadi pembelajaran, punya nilai politik dan nilai keluhuran bangsa," kata Lutfi.
"Setelah kajian zonasi kita akan rapat dan sosialisasikan supaya lebih terarah. Kita sudah lakukan kajian domestik dan pariwista. Gunung Padang tidak mungkin menampung orang dengan jumlah banyak. Mereka harus diatur, dialihkan juga perhatian mereka sehingga potensi lokal lainnya bisa bergerak."
"Nanti akan dibikin homestay, (berupa) rumah masyarakat, bukan hotel untuk pengunjung," ungkap Lutfi.
Mari kita rawat peninggalan masa lalu sebagai kekayaan budaya milik Indonesia. Kita Kunjungi, Lindungi dan Lestarikan Cagar Budaya Indonesia.[]

*Tulisan ini telah diunggah di akun saya di Kompasiana.com dengan judul "Situs Gunung Padang dan Tanda Kiamat Sudah Dekat". Berikut link artikelnya: https://www.kompasiana.com/bigbangbow/5bf1c5eb12ae944aa352b722/situs-gunung-padang-dan-tanda-kiamat-sudah-dekat

Kamis, 22 November 2018

Gunung Padang, Punden Berundak Tertua pra Sejarah Nusantara Dibangun Selama 62 Tahun



Situs Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat, menjadi destinasi wisata yang tepat buat kamu yang ingin merasakan liburan atau jalan-jalan yang berbeda. Menuju lokasi yang pernah menjadi tempat peribadatan masyarakat purbakala di puncak bukit, kita akan langsung disuguhi pemandangan alam, hamparan kebun teh nan hijau di sisi kiri dan kanan, serta udara nan segar.

Tak kalah penting, jalan menuju ke sana sudah mulus. Pemerintah daerah (Pemda) Kabupaten Cianjur dan Provinsi Jawa Barat tengah serius menata aset cagar budaya peninggalan masa pra sejarah tersebut. Untuk sampai di pintu masuk Situs Gunung Padang, kita perlu melewati 20 km dari jalan raya Cianjur-Sukabumi. Meski daerah perbukitan dan dataran tinggi dengan medan menanjak dan berkelok-kelok, kita tak perlu khawatir jalan terjal. Pemerintah telah melebarkan jalan seluas kurang lebih 8 m dan memuluskannya dengan cor.



Sampai di pintu masuk, kita hanya butuh Rp.5000 per orang untuk tiket, selenjutnya dipersilakan mendaki tangga menuju lima teras situs pemujaan roh leluhur dari tahun 117 SM. 

Ada dua pilihan tangga. Pertama tangga curam, yang tersusun dari bebatuan setinggi 175 m. Ini tangga asli sejak situs Gunung Padang ditemukan. Bisa jadi, sejak sebelum masehi itu. Pilihan kedua adalah tangga landai dengan bahan semen cor sejauh atau setinggi 300 m.


Teras Satu
Tiba di teras satu, kita langsung mendapati hamparan menhir berupa balok-balok batu berbentuk prisma. Ada yang rubuh, ada yang tegak. Lumut atau jamur kering banyak yang menempel di kulit menhir. Beberapa masih tersusun sebagaimana altar pemujaan.

Pas di ujung tangga naik tadi, ada dua balok yang disebut sebagai gerbang pertama. Sedikit ke tengah area teras satu ini, puluhan menhir tertancap berdiri membentuk ruangan kotak persegi panjang. Dua menhir di antaranya lebih besar dan tinggi, disebut sebagai gerbang kedua. Di bagian dalam, agak ke ujung, ada batu pipih sejenis batu dolmen namun tanpa penyangga. Warnanya berbeda, lebih menyerupai oranye kekuning-kuningan.

Juru kunci Gunung Padang, Nanang Sukmana menerangkan, pada masa silam, nenek moyang kita menggunakan tempat ini untuk acara-acara khusus. Setelah selesai, dari tempat ini kemudian menuju ke teras dua, tiga, empat dan lima melalui gerbang sederhana, yang juga berupa dua pancang menhir balok batu.

Masih di teras satu, dekat tangga ke teras dua, ada batu musik, disebut juga batu bonang atau batu gamelan dan ada juga batu kecapi. Batu ini bisa mengelurkan nada khas Sunda, Da Mi Na Ti La Da, ditabuh menggunakan jari tangan. Pada ujung batu musik tersebut terdapat relief lima jari. Konon, sering bunyi sendiri di malam hari. Tapi ada pakar yang mengatakan ini adalah sarana untuk menyetel atau stem alat musik.

Pola prisma menhir rata-rata persegi lima. Namun kata arkeolog pakar Gunung Padang, Dr. Lutfi Yondri, M.Hum, sebenarnya tidak semua batu polanya demikian sebagaimana legenda yang berkembang di masyarakat. Ada persegi empat, tujuh hingga yang paling sempurna yakni segi delapan. Berdasarkan penelitiannya, yang sudah dimulai lebih 30 tahun lalu, sejak 1980an, semua batu-batu tersebut berasal dari proses vulkanik. Gunung Padang sendiri merupakan bekas gunung api purba, meninggalkan gundukan bukit dan balok-balok batu berjumlah ribuan, ada yang menyatakan jutaan.

Pada 117 SM yang lalu, nenek moyang kita di tempat ini mulai menyusun batu-batu tersebut menjadi kuil peribadatan atau pemujaan. Hasil tes laboratorium yang dilakukan Lutfi Yondri dan rekan-rekan penelitinya menyatakan bahwa susunan batuan yang berada di teras satu atau paling bawah usianya lebih tua dari teras dua dan seterusnya. Sampai di teras empat, diperoleh angka tahun 45 SM. Ini menandakan Situs Gunung Padang dibangun secara bertahap dari bagian paling bawah menuju tempat paling atas, selama kurang lebih 62 tahun.

Masih di teras satu, terdapat sebuah pohon besar. Akarnya menelan batu-batu yang cukup banyak di bawahnya. Jumlah batu di teras satu ini lebih banyak dari teras-teras berikutnya. Semakin ke atas semakin sedikit. Bahkan di teras empat nyaris lapang. Namun kepadatan atau jumlah batu/menhir kembali terjadi di teras lima atau puncak Gunung Padang. Hal itu karena teras yang paling atas merupakan area paling vital dalam ritual atau pemujaan.

“Punden berundak Gunung Padang, kalau dibagi secara sederhana, ada sumur tua yang disebut sumur kahuripan, ada tangga utama, ada teras satu sampai lima, ada dinding pembatas teras, ada tangga teras, dinding batas halaman,” jelas Lutfi kepada Forum Masyarakat Peduli Gunung Padang di bawah naungan Yayasan Dapuran Kipahare, di Kantor Juru Pelestari (Jupel) Gunung Padang, Cianjur, Sabtu (3/11/2018).

Ia meyakinkan bahwa tidak ada piramida di situs Gunung Padang sebagaimana kabar yang dihembuskan Ali Akbar dan peneliti lain pada sekitar tahun 2011 hingga 2013. “Sebenarnya di dalam Gunung Padang itu bukan ruangan, tapi lapisan tanah yang basah. Di situ ada hidrolitik. Ada hidrologi di sana, sehingga di Gunung Padang itu tidak pernah kering. Itu yang menyimpan air sehingga Gunung Padang tidak pernah kering. Masih ada tangga yang asli dari susunan jaman dulu, ribuan tahun lalu,” tegasnya.

Namun sejalan waktu, karena proses alam dan juga fenomena seperti gempa, maka terdapat bagian yang tak utuh lagi. Perlu diketahui, Gunung Padang ini dilalui dua sesar aktif. Meski begitu, masih banyak bagian dan susunan altar di teras satu sampai teras lima yang masih utuh setelah melalui waktu ribuan tahun lamanya.

Teras satu menyambung dengan tumpukan batu menggunung, hampir mencapai teras dua. Ada bekas tangga yang sudah tidak dapat dipakai. Warga menyebut ini sebagai bukit masigit atau mahkota dunia. Pada puncak gunungan itu tumbuh pohon tinggi yang cukup rindang. Menurut kepercayaan, ini adalah tempat atau gudang ilmu. Area ini merupakan yang paling sejuk dibanding teras-teras lainnya.

Walau pagar tali mengelilinginya, pengunjung boleh mendaki tumpukan menhir tersebut dari teras dua, dengan syarat melepas alas kaki. Tujuannya untuk menjaga dan melindungi menhir-menhir yang ada. Dari situ pula, kita bisa menyaksikan, hamparan teras satu dan tangga di bawahnya atau meneropong jauh ke atas hingga ke teras lima, menyaksikan perbukitan di sekeliling gunung padang, serta puncak gunung Pangrango di kejauhan.

Melangkah ke gerbang teras dua, ada yang disebut batu kursi. Ini merupakan tempat duduk raja atau pemimpin. Dari tempat duduk ini bisa menikmati panorama alam, tampak pula puncak gunung gede pangrango bila cuaca cerah.

Di teras tiga, terdapat menhir yang disebut Batu Kujang. Berupa menhir besar, posisinya sudah roboh atau terbaring. Disebut batu kujang karena pada satu sisinya terukir gambar senjata khas masyarakat Sunda atau Jawa Barat itu. Ukuran reliefnya cukup besar. Nanang Sukmana meneceritakan, ukiran ini sudah ada sejak situs dibuka kembali pada 1979.


Di teras tiga ini juga, ada batu yang dikenal dengan jejak maung atau harimau. Batunya pun beda dari menhir-menhir lainnya. Ukurannya besar terbaring dan lumayan bulat tidak sempurna. Nanang menjelaskan, memang sekilas relief itu mirip tapak haraimau. Kebetulan juga maung adalah bahasa Sunda yang artinya harimau. Namun dalam arti lain, maung itu singkatan dari manusia unggul. Jadi relief ini merupakan jejak dari pertapaan yang dilakukan oleh manusia unggul. Jika dihitung, jejak maung itu memiliki cekungan berjumlah sembilan. Di sisi bawah, ada relief jejak tumit kiri dan kanan, lalu di batu depannya ada jejak tongkat. Jika dipraktikkan, maka duduk sesuai dengan jejak tapak, tumit dan tongkat itu menghadap ke timur alias menyongsong mentari atau sunrise.


Naik ke teras empat. Ini adalah teras yang paling lapang. Balok-balok batu kebanyakan hanya tertancap sebagai pagar di sekeliling teras. Namun ada satu blok di dekat sebuah pohon yang tumbuh menjulang. Batu yang ukurannya lumayan besar ketimbang menhir-menhir di sekelilingnya. Berpagar batu-batu lebih kecil, menhir itu tegak berdiri namun menapak tidak terpendam tanah. Kini, juru pelestari mengamankannya dengan kawat karena posisinya kerap berpindah-pindah, rawan hilang dan rusak. Itu karena banyak pengunjung yang berusaha mengangkat dan memindahkannya.

Menurut kepercayaan yang berkembang, siapa yang dapat mengangkat batu tersebut, maka hajatnya akan terkabul. Nanang Sukmana menegaskan, sebenarnya itu merupakan kesalahpahaman. Ini adalah batu kanuragaan. Dalam budaya masa lalu, batu ini merupakan simbol pengujian. Menhir ini dipercaya sebagai batu yang mampu menyerap dan mentransformasikan energi alam semesta. Ia akan terasa begitu panas di siang hari akibat energi dari matahari, dan sebaliknya begitu dingin di malam hari karena menyimpan energi dari bumi.

Baru kemudian di teras lima, jumlah menhir kembali padat. Hampir sebanyak jumlah batu yang ada di teras satu dan dua. Ada yang tersusun sedemikian rupa menempel dengan tanah, menjadi semacam tempat tidur. Dinamai sebagai singgahsana. Nanang mengatakan, ini adalah tempat tidur atau istirahat Eyang Prabu Siliwangi ketika bertapa atau berdiam di tempat ini. Pada malam hari, ketika berbaring di tempat ini, tampak bintang-bintang di angkasa tanpa terhalang suatu apapun.

Tak jauh dari tempat peristarahatan tersebut, batu paling besar, saat ini posisinya terbaring. Pagar tali mengelilinginya. Menurut kisah, dulunya batu besar ini berdiri dan di depannya terdapat altar. Di samping kanan dan kiri area batu besar tersebut masih ada dua titik, yang disebut tempat sunan rama dan sunan ambu sebagai simbol ayah dan ibu. Nabi Adam dan Siti Hawa.

Punden berundak Gunung Padang merupakan situs pemujaan berbentuk punden berundak tertua di Indonesia. Ini juga menjadi salah satu yang terbesar di Asia Tenggara dengan luas 29 hektar dan tinggi 220 m, yang masih terjaga hingga kini. Meski sudah tidak dipakai sebagai tempat pemujaan, beberapa masyarakat dari Bali, yang beragama Hindu, diketahui kerap datang ke sini. Menurut Lutfi, mungkin mereka memiliki rasa kedekatan dengan budaya dari leluhur di masa silam tersebut.

Tiap hari puluhan wisatawan lokal dan luar negeri berdatangan mengunjungi tempat ini. Rata-rata per bulannya, 300an turis manca negara tercatat menyambangi situs yang sempat heboh karena diduga merupakan piramida yang lebih tua dari Mesir itu.

*Artikel ini telah diunggah di akun saya di Kompasiana.com dengan judul serupa namun sedikit editing perupahan. Berikut link-nya https://www.kompasiana.com/bigbangbow/5beed273aeebe11de2429332/menapaki-punden-berundak-tertua-di-nusantara-dibangun-selama-62-tahun

Rabu, 21 November 2018

Arkeolog: Piramida di Gunung Padang itu Hoax



Sekitar akhir 2011, mencul kabar menggemparkan. Ada piramida di Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat, yang diduga lebih tua dari piramida-piramida di Mesir. Isu ini menggelinding liar, menghiasi berita-berita di media massa dan perbincangan masyarakat luas.

Orang pun ramai-ramai ingin melihat langsung keberadaannya. Pengunjung yang membludak memberi pemasukan bagi pengelola situs pra sejarah ini. Namun, dampak negatifnya, masih adanya pengunjung bertabiat negatif, menyebabkan beberapa kerusakan dan menyisakan sampah yang berserakan.

Beruntung, Gunung Padang punya masyarakat yang cukup peduli terhadap kelestariannya. Salah satunya Yayasan Dapuran Kipahare, yang menaungi komunitas-komunitas masyarakat yang dengan sukarela merawat situs-situs cagar budaya, seperti situs Gunung Padang.

Meski sulit dibendung, para pakar dan arekolog telah mencoba membatah tentang piramida Gunung Padang. Sudah lebih 30 tahun, mulai 1980-an, Dr. Lutfi Yondri, peneliti utama dari Badan Arkeologi Bandung, telah meneliti dan melakukan eskavasi situs Gunung Padang.

Sejak saat itu hingga sekarang, ia dan tim peneliti lain tidak menemukan adanya piramida di bukit yang bernama Gunung Padang di kabupaten Cianjur ini. Usianya pun tak setua piramida yang ada di Mesir.

"Saya sudah melakukan pertanggalan karbonnya, Gunung Padang itu dibangun di era pra sejarah, sekitar 117 SM - 45 SM. Kalau kita lihat pembabakan budaya itu di era paleometalik," jelas Lutfi, usai menyampaikan materi tentang Gunung Padang kepada relawan Forum Peduli Gunung Padang dari Yayasan Dapuran Kipahere, di Cianjur, Sabtu (3/11/2018).
Dr. Lutfi Yondri dari Balai Arkeologi Bandung (Peneliti Situs Gunung Padang Sejak 1983), memberi pemaran tentang Situs Gunung Padang kepada Forum Peduli Gunung Padang, di Kantor Juru Pelestari, Cianjur, Jawa Barat.


Munculnya isu piramida, menurut Lutfi, tak lepas dari adanya pihak-pihak yang ingin mengemas hal tersebut untuk menandingi sesuatu. "Jadi piramida nggak ada, koin purba nggak ada, semen purba nggak ada, pasir peredam gemba nggak ada, reaktor hidroelektrik nggak ada," tegas Lutfi.

Ia juga menceritakan bagaimana ia dan para arkeolog bergulat dengan tim yang dibentuk pemerintah. "Pada saat ramai masalah gunung padang itu (diisukan sebagai piramida), kami diberi dana untuk penelitian lebih dalam.


Dari situ pergulatan yang luar biasa, saya jadi ketua tim bergulat dengan tim yang dibentuk pemerintah SBY saat itu di antaranya Andi Arief. Mereka menggulirkan berbagai isu tentang adanya piramida, kita mencoba membantah dan membuktikan secara arkeologis."

"Kita eskavasi, kita dudukan kembali, penelitan berbasis pelestarian. Kita rekam situs gunung padang dengan alat fotogrametri. Ini bisa dipindah ke gambar tiga dimensi, kita bisa menghitung berapa jumlah batu yang ada di gunung padang ini."

Luthfi menyatakan, di bawah hamparan teras situs Gunung Padang itu semuanya hanyalah tanah. "Jadi ada tanah masa lalu, setelah sekian ribu ditinggalkan baru dibangun punden berundak di atasnya.

Ini yang menjadi isu piramid, karena digambar dengan ilusi imajiner (rekayasa komputer), digabungkan dengan gambar yang dibuat oleh bapak Budi Bramantyo, sehingga munculah istilah Mancu Picu. Mancu picu itu jauh lebih muda dibanding Gunung Padang. Mancu picu itu seumur dengan majapahit. Sementara Gunung Padang ini di era pra sejarah."

Balok-balok batu berbentuk prisma yang dijadikan punden berundak, juga berasal dari batu setempat, yang berasal dari proses vulkanik. Di dalam Gunung Padang tidak ada ruangan, melainkan lapisan tanah yang basah. "Di situ terdapat hidrolitik ada, hidrologi di sana, sehingga di Gunung Padang tidak pernah kering."

Ada Emas di Kawasan Gunung Padang

Sempat pula ada isu bahwa Gunung Padang menyimpan kandungan emas. Hal ini dibenarkan oleh Luthfi. Dengan adanya hidrotermal bekas gunung api purba, dapat dipastikan kawasan Gunung Padang menyimpan kandungan emas. Namun kandungannya tidak ekonomis. Dari pemerintah kolonial Belanda, juga Antam sudah melakukan studi soal ini. Jadi, bukan pula emas itu dalam arti emas harta karun kerajaan-kerajaan masa silam.

"Gurandil, penambangan emas tradisional, di kawasan ini masih ada. Artinya kandungan emas itu ada. Tapi saya pernah wawancara dengan masyarakat, satu tahun itu dia mengeluarkan modal hampir Rp.1 miliar. Penghasilan kotor satu tahun itu Rp.1,5 miliar. Artinya keuntungan kotor itu Rp.500 Juta. Dibagi 365 hari, dibagi sekian ratus pekerja, ekonomis atau tidak, menguntungkan atau tidak?" papar Lutfi.

"Emas yang sesungguhnya, yang paling berharga, adalah situs Gunung Padang itu sendiri. (Dari Gunung Padang kita bisa belajar) Bagaimana pemimpin yang baik, masyarakat yang baik. Semua itu kita bisa baca dari Gunung Padang, bagaimana gotong royong dan sebagainya. Tanpa gotong royang, pemimpin yang baik, masyarakat yang kompak Gunung Padang tidak mungkin dibangun," imbuhnya.

Situs Gunung Padang ini sendiri sebenarnya telah ditemukan sejak lama. Berdasarkan catatan, pada masa pemerintah kolonial Belanda, R. D. M. Verbeek (1891) pernah datang juga De Corte dan kemudian N.J. Krom (1914) menyebutnya sebagai kuburan kuno.



"Saya sudah lakukan eskavasi di Gunung Padang itu tidak menemukan indikasi kuburan. Yang kuat itu gunung padang tempat masyarakat jaman dulu melakukan upacara ritual pemujaan masyarakat," jelas Lutfi.

Pada 1979, tiga orang petani satu kerabat berniat membabat ilalang untuk dimanfaatkan sebagai ladang. Ketika itu mereka menemukan hamparan balok-balok batu berbentuk prisma, tersusun berserakan. Setelah dilaporkan ke pihak yang berwenang, penelitian dan pemugaran Gunung Padang kembali dilakukan oleh para arkeolog Indonesia. Sementara keluarga para penemu situs Gunung Padang menjadi juru kunci atau Juru Pelestari Cagar Budaya Gunung Padang. Salah satunya, Nanang Sukmana, cucu dari tiga petani yang menemukan Gunung Padang.

Dengan adanya isu piramida, masyarakat makin ramai mengunjungi situs ini. Meski dikhawatirkan menambah kerusakan, Luthfi berharap momen ini menjadi titik balik bagi kita untuk mengemas dan menata situs ini ke depan sehingga dapat pertahankan dengan baik.



"Angka pertumbuhan pengunjung meningkat drastis sejak ada isu piramida itu. Tidak hanya wisatawan lokal tapi juga dari wisatawan mancanegara. Yang disayangkan dari Pemda Cianjur. Publikasi Gunung Padang hanya diandalkan dari pengunjung ke pengunjung. Belum ada publikasi yang ajeg dari Pemkab ataupun pemprov, sehingga isu (piramida) itu menjadi kemasan. Kita berharap, yang datang wisatawan dari dalam negeri untuk men-counter balik isu piramida. Bahwa itu hanya hoax," harap Lutfi.



"Kalau nilai-nialai itu benar-benar dikemas secara baik, angka wisatawan nusantara akan meningkat. Untuk wisatawan mancanegara tidak perlu khawatir, mereka akan mencari tahu sebelum datang ke gunung padang, siapa narasumber yang bisa temui untuk menjelaskan yang sebenarnya tentang gunung padang," pungkasnya.

Artikel ini telah saya unggah di Kompasiana dengan judul "Arkeolog: Tidak Ada Piramida di Gunung Padang" https://www.kompasiana.com/bigbangbow/5be6d737ab12ae27b5109ac6/arkeolog-tidak-ada-piramida-di-gunung-padang

Selasa, 20 November 2018

Mengkaji Ulang Istilah “Megalitikum” Situs Gunung Padang.


34 tahun lalu, pada tahun 1984, Dr. Luthfi Yondri, M.Hum, bersama tim peneliti arkeologi lainnya, memulai penelitan di situs Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat. Penelitian tersebut menghasilkan sebuah buku Album Megalitikum Gunung Padang. Sejak saat itu, istilah megalitikum mulai disematkan untuk situs purbakala ini. Ini juga masih terpampang di plang-plang penunjuk arah dan pintu masuk ke kawasan, yang kini ramai dikunjungi para wisatawan domestik dan manca negara tersebut.

Namun seiring berjalannya waktu, Luthfi merasa istilah megalitikum untuk situs Gunung Padang itu tidak tepat dan perlu dikaji ulang. “Seiring perjalanan waktu ada gejolak di hati, apakah betul megalitikum? Apa itu megalitikum? Generasi sekarang, seperti kacamata kuda, wah ini megalitikum,” ujar peneliti utama di Balai Arkeologi Jabar, dalam pemaran mengenai situs Gunung Padang kepada Komunitas Dapuran Kipahare, sebuah forum masyarakat yang peduli dengan pelestarian situs cagar budaya, salah satunya situs Gunung Padang, Sabtu (3/11/2018).

Dalam kegiatan yang berlangsung di kantor Juru Pelestari Gunung Padang itu, Luthfi meminta kita untuk mengganti sebutan megalitikum dengan situs Gunung padang. Secara etimologi, megalitikum berarti batu besar. Menurut Luthfi, begitu berjalan ke berbagai belahan dunia, kita akan tahu perbedaannya, apakah betul istilah megalitikum itu digunakan.
Sebenarnya, sejak tahun 1950-an, sudah muncul gagasan yang menyatakan bahwa Gunung Padang bukan situs Megalitikum. Luthfi menuturkan, megalitikum ini merupakan bagian penelitian yang dilakukan oleh bangsa Eropa. Pertama kali dilakukan di daerah Pasifik, ketika itulah istilah batu besar dipakai. Sejalan waktu, terjadi beberapa perubahan.
Budaya yang disebut megalitkum itu sendiri datang ke Indonesia sekitar 2500 SM, pertama kali megalitik tua dengan bentuk peninggalan seperti punden berundak dan lain-lain. Kemudian megalitik muda dengan peninggalan ornamental. Tapi lagi-lagi, soal periodeisasi itu dibantahnya.
“Almarhum Prof Bagio melihat lagi apakah betul periodeisasi itu, ternyata tidak ada angka itu. Ini nanti juga berkaitan dengan siapa yang membawa budaya pemujaan para leluhur itu? Para peneliti sepakat, yang membawa budaya itu kelompok rumun ras Austronesia yang keluar dari Afrika sekitar  5000 tahun yang lalu, lalu ke Asia lewat dari arah barat Indoesia. Daerah paling awal peninggalan ras austronesia itu ada di situs Pasir Angin yang punya pertanggalan 1000 SM. Di sana ditemukan beliung-beliung persegi yang dibawa kelompok-kelompok austronesia.”
Pada 1993, Luthfi dan rekan-rekan arkeolog mulai berpikir ulang dengan tidak lagi menggunakan istilah archa megalitikum, tapi archa sederhana. Meskipun, katanya, istilah itu juga masih bermasalah. “Harusnya archanya jangan lagi disebut archa megalitikum atau sederhana, harusnya archa polenesia. Archa-archa itu berkembang dan dapat pengaruh budaya yang datang kemudian. Yang membawa archa-archa yang disebut archa sederhana dan archa megalitik itu adalah kelompok ras austronesia itu. Pada saat perkembangannya mereka tersebar dan terpecah jadi kelompok baru, yang datang ke Asia disebut Proto Malay Austronesia, kemudian ke wilayah barat Proto Malay Westrnesia.”

Mengenai periodeisasi situs Gunung Padang ditemukan angka yang lebih muda dari dugaan-dugaan sebelumnya. Prof. Bagyo Prasetyo telah menduga bukan dari era 2500 atau 1500 SM, tapi di era Paleometalik, di akhir masa pra sejarah. Tapi ia belum bisa menunjukkan bukti-bukti karena penelitiannya belum didukung teknologi laboratorium. Setelah Luthfi dan para arkeolog melakukan penilitian lanjut, ia mendapatkan pertanggalan karbonnya, yakni, Gunung Padang dibangun secara bertahap dari sekitar 117-45 SM.

Pada era kolonial Belanda, Gunung Padang telah diteliti. Dua literatur yang menjadi acuan dari Verbeck dan N.J. Krom. Mereka berdua mengatakan bahwa situs Gunung Padang ini merupakan kuburan kuno. Namun setelah melakukan eskavasi, Luthfi tidak menemukan indikasi adanya kuburan. “Yang kuat itu gunung padang tempat masyarakat jaman dulu melakukan upacara ritual pemujaan masyarakat,” tegas doktor lulusan terbaik Universitas Padjajaran, Bandung , dengan disertasi tentang situs Gunung Padang ini.

Kamis, 01 November 2018

"Kapan Nikah?" dan "Kapan Manggung di Ciputat?"

Bagi seorang teman yang bertanya, “Kapan Nikah?” pertanyaan itu tak ada bedanya dengan komentar Nella Lovers di akun instagram Nella Kharisma: “Kak Nella, kapan manggung di Ciputat?” #NellaLoversTangsel. “Nella kapan ke Banjarmasin?” #NellaLoversKalsel. “Kapan manggung di Situ Gintung?” #NellaLoversUshuluddin, dan seterusnya. Semua komentar jenis pertanyaan itu umumnya adalah harapan yang tidak serius. Artinya, si komenter memang akan senang jika Nella Kharisma benar-benar tampil di daerahnya, tapi ia tahu juga bahwa komentarnya tidak akan mengubah jadwal show Nella Kharisma yang telah tersusun rapih di buku kerja manajemen Lagista. Kalau pun Nella ternyata kebetulan ada agenda manggung di daerah yang disebut, si komenter itu juga belum tentu akan hadir menyaksikan. Orang bagi dia sesungguhnya nonton Nella di youtube sudah lebih dari cukup. Namun, bagi orang yang ditanya, pertanyaan “Kapan Nikah?” terdengar seperti ajakan seorang teman, “Kapan Ngopi nih?” Sampai di sini biasa saja. Ngopi itu kan santai. Bisa dilakukan kapan saja, dimana saja. Asal ada waktu, cukup budget atau ada yang bayarin. Kopi saset juga gak masalah. Yang penting ngopi kan? Tapi justru di situlah letak hal yang membuat banyak para jomblo kesal. Sehingga ia berpikir, “Memangnya nikah itu seperti ngopi yang bisa dilakukan kapan saja, misalnya awal bulan. Biar kalau nggak ada duit, teman yang baru gajian siap traktir?” Saya sendiri termasuk orang yang sedang berada pada masa di mana banyak orang menanyakan itu. Jujur saya nggak masalah. Maksudnya, saya tidak sampai begitu emosional menanggapi, sebagaimana dialami beberapa jomblo lain. Ketika seorang teman yang sudah menikah dan punya anak tanya ke saya, “kapan nikah?” Saya sering jawab, “saya selibat.” Bisa jadi jawaban itu masih dianggap emosional, “apa urusan Anda kalau saya selibat” atau sebaliknya itu terkesan main-main. Tapi yang pasti, jawaban saya itu tidak jadi masalah bagi teman saya yang bertanya. Karena seperti Nella Lovers, dia tidak benar-benar mengharapkan saya memberi kepastian kapan nikah. Lagian dia juga tidak niat nraktir saya nikah mentang-mentang habis gajian. Jomblo yang kesal karena pertanyaan dari temannya tentang “kapan nikah” juga sebenarnya wajar. Apa yang dilontarkan temannya itu, meskipun basa-basi, bisa terdengar mengejek, “Nih, gue udah nikah, udah punya anak. Itu artinya, gue lebih hebat dari lu. Lebih di depan daripada lu. Lu kapan?” Lagi-lagi memang, ini juga tak lepas dari kata 'jomblo' yang sering jadi bahan bercandaan. Jomblo jadi sesuatu atau status yang menyentuh perasaan tapi tidak gampang membuat marah orang. Konteksnya dianggap bercanda jadi jangan marah. Tapi mesti diingat, meski tidak marah, sebutan jomblo tetap terkoneksi dengan emosi seseorang. Maka banyak akun-akun dakwah atau politisi yang mengeksploitasi “jomblo”. Tujuannya satu, agar mereka bisa masuk ke relung perasaan orang. Yang penting masuk dulu. Perkara mau ngapain kalau nanti sudah di dalam, itu urusan belakangan. Teknik berdakwah atau kampanye dengan menyentuh perasaan itu cukup efektif untuk mengikat massa. Setiap orang yang sudah berhasil kita sentuh perasaannya, dia akan selalu kepikiran tentang kita. Dia bahkan rela mati membela kita. Pikiran positifnya akan terarah ke kita, sementara pikiran negatifnya dilontarkan ke arah sebaliknya, yakni kepada pihak yang menjadi lawan kita. Jadi kalau kau ingin menguasai khalayak netizen, salah satu cara jitunya, adalah sering-sering unggah postingan yang mengaduk-aduk emosi/perasaan. Insyaallah kamu akan banjir komen, “masyaallah, mashaAllah, subhanallah, dan Allahu akbar.”

Ket. Foto: Komentar para #NellaLovers di akun Instagram @nellakharisma
http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html