Rabu, 22 Juni 2016

Bapak Tua Penjual Arah 2


Hari masih terang. Mentari yang condong ke barat menurunkan derajat panasnya. Aku memandangi kegiatan bapak tua penjual arah melayani pembeli atau pengunjungnya. Mereka berasal dari suatu tempat yang entah dan hendak bergegas menuju entah. Di tempat ini mereka butuh arah. Karena salah satu langkah bisa berarti seribu tahun di belahan dunia lainya.
Bapak tua penjual arah itu amat bersemangat ketika ada pembeli. Tak sekalipun matanya mengarahku ketika asyik melayani. Ia hanya menyambangi tempatku, yang hanya berjarak lima langkah dari lapaknya, ketika sedang sela atau sepi sekadar untuk menikmati secangkir kopi.
Ia tak pernah menanyakan personalku, keberadaanku, tujuanku, asalku dan sebagainya. Kita hanya  mengobrolkan seputar orang-orang yang lewat di depan mata. Mereka tingkahnya aneh-aneh. Juga penampilannya. Juga jalannya. Ada yang sendiri, ada yang berdua, ada juga yang bergerombol. Ada yang saling bercanda tertawa terbahak-bahak, ada yang saling caci, berdebat, bahkan berkelahi. Ada yang mesra, ada yang mesum, ada yang datar-datar saja. Tentu ada yang kelelahan seperti kehilangan harapan.
Tak jarang di antara mereka mampir memohon atau menawari minum. Lalu saling berbincang tetang apa saja. Tentang rindu dan air mata atau tentang diri kita masing-masing. Pastinya aku berpikir dan berperasaan bahwa mereka kian hari kian asing. Bukan karena mereka belum pernah kujumpai, tapi tiap orang yang kemudian menetap di simpang jalan ini selama beberapa hari, tambah waktu pun tambah tak kukanal. Jiwa dan tubuh mereka seperti disepuh angin. Berubah per detiknya. Dari yang mulanya tampak akrab dekat dan seakan kerabat karena teman senasib seperjalananan, berubah menjadi orang yang sama sekali lain tak kutahu.
Aku tak tahu bahwa apa dan siapa aku di benak mereka. Tapi aku masih ingat pertama kali kami jumpa, menikmati kopi dan menghisap satu batang rokok untuk ramai-ramai, pernah ada juga yang berdua.
Sudahlah. Bisa jadi bukan mereka yang berubah, tapi aku. Hanya saja aku tak tahu berubah bagian mananya hingga mereka tak mengenalku lagi.
Tapi bukan saja mereka, bapak tua penjual arah juga begitu. Ia menjadi sangat cuek sudah lama ini terhadapku. Seolah kita tak pernah saling seduh kopi. Baiklah kalau begitu.
Maka, di suatu senja, ketika Bapak Tua hendak menggulung lapaknya, aku mengendap-endap di antara pejalan yang lewat, lalu menyelinap, menggerakkan kilat tangan kiriku mengambil selembar peta. Sukses.
***
Malam kian hitam. Aku pandang perhatikan pelajari penuh teliti dan seksama kode-kode peta curian itu dengan penerang lilin hadiah seorang pejalan yang sekarang ada di entah.
Setelah pusat gelap berada di atas kepala, kuputarkan cahaya lilin menerangi batas lingkaran di tanah yang aku buat dengan ranting untuk membatasi wilayah kekuasaanku. Aku hapus dengan telanjang telapak kaki. Aneh, setiap kali kugesek, gurat lingkaran di tanah itu muncul lagi. Kuhapus lagi, muncul lagi.
Akhirnya aku bosan dan begitu saja melangkahi lingkaran. Aku tinggalkan dengan perasaan hilang. Sedih sekaligus lega meninggalkan kalangan yang aku diami selama sejak bertahun-tahun silam. Aku berjalan mengikuti jejak peta. Hingga lelah dan tiba di suatu tempat yang sama sekali baru ketika matahari telah setinggi galah.
Sebelum benar-benar lunglai tak sadar, kupastikan aku telah keluar dari garis lingkaran di tanah yang kubuat dengan ranting untuk membatasi wilayah kedaulatanku. Kupandangi sekitar semuanya memang betul sudah baru. Tidak ada lagi pepohonan yang dihuni oleh cicak, tokek, dan burung-burung liar. Hanya gedung-gedung tinggi menjulang tanpa jiwa. Beratus atau beribu tahun lagi mereka pasti juga akan tiada.
“Baiklah. Aku sudah jauh dari tempat semula,” benakku sebelum terlelap kelelahan di pinggir jalan.
“Peta, peta, arah, arah...! Peta, peta, arah, arah...!!!” pekik suara mengejutkanku. Matahari hampir terbenam. Sekerumunan orang dengan pakaian jaket, sweater, flanel warna-warni berkumpul mengerubuti suara itu.
“Sial. Bapak penjual arah?! Aku belum beranjak dari tempat semula! Ngepet!”
Tiba-tiba gaduh serine membuyarkan kerumunan. Mereka tunggang langgang, namun begitu 100 meter kemudian berjalan melangkah biasa saja. Seolah tak pernah berniat membeli peta. Tiga orang petugas berlari beringas menghampiriku. Tapi bukan untuk menangkapku. Ia mengincar bocah kecil yang mendekap bergulung-gulung peta di dadanya dan bersembunyi di belakangku.
“Kamu orang asing?” tanya salah satu petugas itu. Anak penjual peta menggigil ketakutan di kakiku.
“Iya pak. Saya baru datang di kota ini semalam.”
“Kamu kenal anak itu?”
“Iya pak. Dia penjual ...,” belum selesai kalimatku, anak tersebut mencengkeram betisku.
“Kopi,” lanjut mulutku tanpa kusadari sebelumnya.
“Lalu apa itu ditangannya?”
“Teremos isi air panas untuk menyeduh kopi, pak.”
Tiga petugas itu tanpa memeriksa lalu bergegas menuju mobil patroli. Membunyikan sirene memekakkan telinga. Lalu hilang.
“Mana si bapak tua penjual arah?” tanyaku. Bocah itu mengernyitkan dahi tanda tak tahu apa yang kutanyakan.

“Baiklah. Kamu penjual peta yang jujur?” tanyaku pada bocah kecil yang masih menggigil ketakutan.

0 komentar:

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html