Gerbang Bentar
berdiri tegar berjajar, mengucap selamat datang dengan sebuah bahasa dari
ratusan tahun silam. Kusam tapi penuh keagungan. Di dalamnya, struktur fondasi, sisa-sisa
bangunan tua, serta reruntuhan klasik kompleks istana terhampar di area luas 4
hektar.
Lewat
imajinasi, semua itu bukan benda mati. Mereka hidup. Megah, lengkap hiruk pikuk
dan prilaku penghuninya sehari-hari. Dayang-dayang, prajurit, dan abdi dalem
berkativitas seperti biasa. Seakan mereka ada untuk selamanya. Albert Einstein
bilang, imajinasi Lebih penting daripada (sekadar) ilmu pengetahuan. Dengan
imajinasi, pengetahuan tentang kejayaan masyarakat dari ratusan tahun lalu selalu
aktual dan hidup kembali.
Perjalan
menyusuri masa lama Banten kita teruskan. Saya tiba di Keraton Kaibon,
berlokasi di kampung Kroya, desa Kasunyatan, kecamatan Kasemen, Serang. Ini adalah
istana yang dibangun untuk Ratu Asiyah, ibunda dari Sultan Syafiudin, pewaris
tahta Kesultanan Banten yang kala itu masih belia.
Berbeda
dengan keraton lain pada umumnya, yang mana tahta atau singgahsana sultan dan
raja menjadi bangunan utama, inti Keraton Kaibon adalah masjid.
Di sekeliling
keraton, terdapat kanal. Salah satu fungsinya sebagai jalur transportasi yang
menghubungkan dengan Surosowan dan seluruh kawasan keraton di Banten Lama. Dengan
pola dan tata wilayah macam itu, Banten Lama sempat dijuluki Venesia-nya Jawa,
terlebih ketika warga kolonial Belanda menetapi kota ini.
Seandainya semua jaringan kanal itu masih lestari
sampai sekarang, alangkah indahnya. Berdasarkan peta-peta jaman dulu, wilayah
Banten Lama sangat padat serupa Amsterdam.
Gerbang Bentar Keraton Kaibon |
Keraton Kaibon
punya dua macam gerbang yang jadi ciri khasnya dan kini masih berdiri. Pertama,
Gerbang Bentar, yakni gerbang terbuka tanpa atap sebagai pintu masuk dari pagar,
setebal satu meter, mengelilingi keraton. Sesuai bentuknya, filosofi gerbang
bentar adalah keterbukan, welcome terhadap tamu dan siapapun. Dari
coraknya tampak pengaruh arsitektur Hindu-Budha.
Gerbang
Bentar berjajar sebagai pagar juga menegaskan, keraton Kaibon tidak didesain
sebagai benteng pertahanan. Di keraton Surosowan, misalnya, tebal bentengnya
hampir mencapai 5 meter. Sebaliknya, Kaibon lebih
menonjolkan sisi fungsi artistik, karena memang difungsikan hanya untuk tempat
tinggal ibunda sultan. Kota Serang menggunakan Gerbang Bentar sebagai
lambangnya. Dan memang, seluruh logo pemerintahan di provinsi Banten saat ini
memakai simbol-simbol yang diambil dari peninggalan Banten Lama.
Gerbang Paduraksa Keraton Kaibon Banten |
Kedua, ada Gerbang Paduraksa. Bentuknya
konon terpengaruh seni arsitektur dari Makassar. Posisinya di dalam keraton, menghubungkan
bagian depan dan area menuju kamar ibunda ratu. Beda dengan Bentar, atap Paduraksa
tertutup. Filosofinya, wilayah keluarga bersifat privat. Berjumlah dua dan berdekatan
memunyai arti “hidup berdampingan tidak boleh bertengkar”. Pesan ini untuk
orang dalam keraton. Menurut catatan, konflik antar saudara kerap pecah di
keluarga pembesar Banten.
Selanjutnya
ke kamar ibunda Sultan, terdapa juga kamar-kamar lain di sana. Berupa ruangan persegi empat, dengan bagian dasarnya
menjorok ke dalam tanah. Itu teknologi pendingin dengan cara mengalirkan air di
dalamnya. Kemudian di bagian atas ‘kolam’ tersebut diberi balok kayu sebagai
dasar lantai ruangan. Bekas penyangga papan masih utuh sampai sekarang.
Setelah Surosowan dihancurkan, Belanda menjadikan
Keraton Kaibon sebagai pusat Keresidenan Banten. Namun, masyarakat Banten sering
melancarkan aksi-aksi pemberontakan sehingga membuat pemerintah kolonial Hindia-Belanda
gerah. Tak ingin repot berkelanjutan, Kantor Keresidenan Banten pindah ke
Gedung yang saat ini menjadi Museum Negeri Banten.
Keraton Kaibon pun kosong. Belanda lalu membongkar
dan menghancurkannya pada 1832 M. Sejak itu, Banten Lama mulai ditinggalkan dan
pesonanya kian pudar.
Tapi Belanda
tidak pergi dari Banten Lama dengan tangan kosong. Mereka membawa harta dan
pusaka peninggalan Kesultanan Banten dari Keraton Surosowan dan Kaibon, berupa
mahkota, keris, dan sebagainya. Mereka menyimpan harta pusaka tersebut di
Batavia, pada sebuah lembaga kesusasteraan dan kebudayaan Hindia
Belanda, bernama Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Sekarang
menjadi Museum Nasional Indonesia atau lebih dikenal dengan Museum Gajah.
Oke. Sampai di sini. Berikutnya saya bersama tim dari @cagarbudayadanmuseum Kemdikbud RI akan ke
Benteng Speelwijk. Benteng imbalan dari Sultan Haji kepada Belanda yang
membantunya mengkudeta sang ayah, Sultan Ageng Tirtayasa.
0 komentar:
Posting Komentar