Semua berantakan. Kertas-kertas lecek, sajadah lusuh lunglai, galon kelaparan dan tembakau beruban. Acak-acakan, tak mau dibariskan. Buku-buku ada yang duduk, menyandar dan tidur-tiduran. Sementara baju-baju di cantelan punggung pintu berpaling muka. Belum lagi kalender, tak henti-henti belajar berhitung. Padahal jam tak lagi berdetak. Asap tak mau membumbung.
Aku tinggalkan mereka sendiri. Pergi bercanda dengan gadis penjaga warung. Tegal.
”Mas, belum tidur ya?”
“Belum.”
“Kenapa? Mikirin saya ya?”
“He eh.”
“Hihihihi, jadi ge er. Makanya ke sini ya mas?”
“He eh.”
“Hihihihi.”
Kulahap lunaknya padi dan teri yang mengeras. Menatap etalase warteg yang tembus pada dada. Ayam.
“Berapa mbak.”
“Ama apa?”
“Teri, gorengan dua.”
“Empat.”
Kuserahkan kepadanya selembar saja. Jangan banyak-banyak. Takut nggak habis.
“Ini, sisanya masih banyak, buat apa lagi? Susu? Rokok? Kopi?
“Buat besok aja.”
“Oh, buat besok.”
Nah, aku tinggalkan dia. Lelah telah mendapat kekuatannya dari kenyang. Kepala limbung. Jalanan goyang ke kanan tak ke kiri. Sebuah kotak berisi pompa air di emperan toko menarik mataku.
“Ah, sepertinya enak tidur di situ.”
Mataku lelah. Aku tak kuat berjalan. Tapi harus sampai kosan sebelum azan subuh. Ini sudah hampir jam empat. 600 meter lagi harus ku tempuh. Aku benar-benar tanpa tenaga. Sehari semalam mata tak pejam. Kini isi perut mengajak ke peraduan.
Ah, biarlah terus berjalan. Melewati toko-toko yang terpejam. Kedipan warnet dan teriakan rental PS. “Teng...!!!” suara keamanan memukul tiang. Kudengar mereka bersitegang. Seorang pemuda diperingatkan. Entah apa salahnya. Aku tak ikut campur. Biarlah aku tetap berjalan.
Kucing sudah pulas tertidur. Aku makin lemas. Biarlah aku lemas. Jangan kau pikirkan kapan kau akan sampai. Jalan saja. Karena jalanmu pada kesampaian itu.
Dan aku tiba. Kamarku, oh kamarku.... Tidak?!! Komputerku, sound-ku, poster-posterku, buku, serakan kertas, lusuhan sajadah, baju-baju yang berpaling, semua berbunga. Wangi. Kamarku jadi taman. Wangi. Wangi.
“Sudahlah.”