"Aku punya karisma tersendiri. Dimanapun aku berada, khususnya ketika mendatangi tempat baru, orang-orang akan menganggapku lebih tinggi, lebih, lebih, lebih jago, berilmu, pinter atau segalanya. Sehingga ketika misal ada pemilihan atau pencarian pemimpin baru, sudah dapat kupastikan mereka akan menunjukku."
"Ah, masa? Perasaan lu aja kali itu?" tanggap Asih, yang tampaknya serius.
Melihat raut tanpa guraunya ditambah senyum sinis, aku sedikit gentar. Ingin rasanya segera mencabut pernyataan yang kuutarakan tadi. Tapi telat, semua telah terkata dan terdengar olehnya.
Habis mau bilang apa? Dia sendiri yang memancing agar aku mengucapkan itu. Di sela-sela santai di sebuah kantin, dia tanya soal pengetahuan diri masing-masing. Ya aku jawab apa adanya. Itu jawabanku di atas.
Sebenarnya, rentetan kata itu belum lengkap. Masih ada sambungannya. Aku sengaja jeda berkata beberapa saat untuk menghela napas. Karena kalimat selanjutnya, bagiku lumayan berat diutarakan. Jawaban Lisah itu membuat mulutku tak hanya berat lagi, melainkan lebih parah lagi, terkunci.
Asih pun tiba-tiba terdiam pas usai mengatakan pertanyaan tanggapannya padaku. Air mukanya menyiratkan sedang berpikir. Tapi aku tak mau memastikan demikian. Aku bukan sosok ahli membaca mimik wajah. Bisa saja ia tengah melamunkan mantan cowoknya yang playboy. Bisa juga ia sedang menghayal jorok. Misalnya membayangkan ngupil atau ngorek-ngorek telinga.
Diam diantara kita cukup lama. Ada sekitar tiga menit. Ini lumayan parah untuk ukuran dua orang teman yang sedang ngopi bareng. Hanya gara-gara Asih menanyakan tanggapan atas pertanyaanku.
Aku tak boleh terus begini. Harus ada tips dan solusi, memecah keheningan ini. Nanti pengunjung-pengunjung kantin yang bergeng-geng itu mengira kami sebagai sepasang sejoli yang sedang marahan.
--
Dua hari berselang, Lisah datang ke kamarku. Ia tak sendiri. Ada tiga orang cowok, yang hadir lima menit setelahnya. Tujuan mereka tidak ada. Hanya ngopi di kamarku, ngobrol-ngobrol biasa. Tak apa-apa kan? Nggak dosa.
Kesempatan lima menit ini kami manfaatkan untuk ngobrol bareng. Membincang orang-orang yang punya masalah dengan dunia akademik formal. Ini bukan tanpa pemicu. Awalnya, Lisah melihat buku-buku kuliahku. Lalu menanyakan status kemahasiswaanku. Aku pun bingung, kenapa aku sulit sekali mengikuti aturan akademis, sehingga harus lulus di kampus yang berbeda. Aku juga heran dengan diriku, yang mungkin, sekali lagi mungkin, menderita gangguan kejiwaan bipolar. Aku sering bosan, susah fokus, dan kebetulan juga kadang bisa berada pada kondisi depresi berat. Saat-saat semacam itu, aku biasanya lebih produktif menghasilkan karya tulis, yang dinilai beberapa orang bagus. Bahkan, kau tahu, aku masuk dalam 12 Tokoh Sastra Berpengaruh menyaingi 33 Tokoh Sastra bikinannya Denny Cagur, eh salah, Denny AJ. Eh salah lagi ya, ah, Denny mang ada-ada aja... Denny, simbol kapitalisme Indonesia. :D
Ah, kau pasti tak percaya. Kau yakin ini hanya rekayasa. Ya, rekayasa memang bajingan. Semuanya bisa dipoles asal siap menggelontorkan uang. Aku jadi ingat, nasihat seorang teman, waktu aku kekusahan ngegembel di Jogja. Temanku itu menilai aku terlalu idealis, hingga bisa sampai pada kondisi harus ngemis. Ngemis minjam materi, ngemis makan, jasa, dan sebagainya.
Padahal aku bukan sosok idealis. Aku orang bodoh. Saat jatuh pada kondisi harus ngemis pada sahabat dan teman-teman yang mau menolong, itu karena aku memang tak tahu harus mencari uang dengan gimana lagi. Kerja aku tak bisa tahan lama. Aku sering kalah atas sengatan depresi yang membuatku ingin bunuh diri. Padahal kata orang dan teman-temanku yang lain, itu konyol. Menurutku tidak. Itu pilihan. Ketika semua tak tertahan, ya yang memilih bunuh diri silakan.
Aku sendiri masih hidup sampai saat ini bukan lantaran menilai itu konyol dan menganggap hidup ini lebih berharga daripada mati. Aku ini seorang dengan gangguan jiwa akut. Kalau sudah mencapai level merah depresiku, aku selalu ingin mati. Ingin mematikan diri. Yang tak bisa kutahan adalah rasa sakit. Sementara untuk bunuh diri itu sakitnya nggak ketulungan. Kau tahu bagaimana orang gantung diri, minum racun, mengiris nadi, dan sebagainya. Semua itu butuh proses untuk sampai pada kematian. Orang mesti kejang-kejang, muntah-muntah dengan mulut berbusa, dan seterusnya. Itu sangat menyakitkan. Aku tak tahan.
Bukan. Bukan aku takut. Aku cuma tak tahan. Aku pernah mencoba mengiris nadi, sakitnya bukan kepalang. Padahal silet baru menyobek beberapa mm kulitku. Sakit bego! Bukan aku takut mati. Aku sudah sangat siap. Terutama waktu itu. Karena aku tak percaya dongeng-dongeng alam kubur. Juga tak masuk akal surga neraka itu. Aku yakin, kematian adalah jalan menuju keabadian. Karena jiwa itu bagian dari ketuhanan, yang tentunya abadi juga. Hanya saja, aku mungkin harus tersiksa karena jiwa atau ruh itu tak bisa melakukan apa-apa tanpa jasad yang bergerak, kecuali hanya keinginan-keinganan dan harapan yang yang menimbun.
Aku juga pernah meminum obat anti nyamuk. Bukan mati malah mabok. Ah, intinya bunuh diri itu sakit. Karena dilakukan atas kesadaran penuh. Maka beruntunglah bagi mereka yang tidak pernah sadar. Karena kehidupan akan terasa indah dan tak mungkin tersakiti.
Tapi aku masih beruntung, semua itu tak tercium oleh orang-orang disekitarku. Aku dikaruniai anugerah berupa karisma. Karisma ini membuatku tercitra seakan sosok orang kuat, pintar, smart, cerdas dan bisa menjalankan skill apapun. Khususnya dalam keilmuan sosial.
"Kenapa ya banyak orang-orang cerdas itu menentang aturan?"
Nah! Itualah pertanyaan Asih yang awalnya menanyakan kondisiku yang bermasalah di kuliah dan pada aturan di tempat kerja. Dia sendiri saja tanpa sadar mengakui bahwa aku punya karisma yang sanggup menutupi berbagai kelemahanku.
Bersambung
"Ah, masa? Perasaan lu aja kali itu?" tanggap Asih, yang tampaknya serius.
Melihat raut tanpa guraunya ditambah senyum sinis, aku sedikit gentar. Ingin rasanya segera mencabut pernyataan yang kuutarakan tadi. Tapi telat, semua telah terkata dan terdengar olehnya.
Habis mau bilang apa? Dia sendiri yang memancing agar aku mengucapkan itu. Di sela-sela santai di sebuah kantin, dia tanya soal pengetahuan diri masing-masing. Ya aku jawab apa adanya. Itu jawabanku di atas.
Sebenarnya, rentetan kata itu belum lengkap. Masih ada sambungannya. Aku sengaja jeda berkata beberapa saat untuk menghela napas. Karena kalimat selanjutnya, bagiku lumayan berat diutarakan. Jawaban Lisah itu membuat mulutku tak hanya berat lagi, melainkan lebih parah lagi, terkunci.
Asih pun tiba-tiba terdiam pas usai mengatakan pertanyaan tanggapannya padaku. Air mukanya menyiratkan sedang berpikir. Tapi aku tak mau memastikan demikian. Aku bukan sosok ahli membaca mimik wajah. Bisa saja ia tengah melamunkan mantan cowoknya yang playboy. Bisa juga ia sedang menghayal jorok. Misalnya membayangkan ngupil atau ngorek-ngorek telinga.
Diam diantara kita cukup lama. Ada sekitar tiga menit. Ini lumayan parah untuk ukuran dua orang teman yang sedang ngopi bareng. Hanya gara-gara Asih menanyakan tanggapan atas pertanyaanku.
Aku tak boleh terus begini. Harus ada tips dan solusi, memecah keheningan ini. Nanti pengunjung-pengunjung kantin yang bergeng-geng itu mengira kami sebagai sepasang sejoli yang sedang marahan.
--
Dua hari berselang, Lisah datang ke kamarku. Ia tak sendiri. Ada tiga orang cowok, yang hadir lima menit setelahnya. Tujuan mereka tidak ada. Hanya ngopi di kamarku, ngobrol-ngobrol biasa. Tak apa-apa kan? Nggak dosa.
Kesempatan lima menit ini kami manfaatkan untuk ngobrol bareng. Membincang orang-orang yang punya masalah dengan dunia akademik formal. Ini bukan tanpa pemicu. Awalnya, Lisah melihat buku-buku kuliahku. Lalu menanyakan status kemahasiswaanku. Aku pun bingung, kenapa aku sulit sekali mengikuti aturan akademis, sehingga harus lulus di kampus yang berbeda. Aku juga heran dengan diriku, yang mungkin, sekali lagi mungkin, menderita gangguan kejiwaan bipolar. Aku sering bosan, susah fokus, dan kebetulan juga kadang bisa berada pada kondisi depresi berat. Saat-saat semacam itu, aku biasanya lebih produktif menghasilkan karya tulis, yang dinilai beberapa orang bagus. Bahkan, kau tahu, aku masuk dalam 12 Tokoh Sastra Berpengaruh menyaingi 33 Tokoh Sastra bikinannya Denny Cagur, eh salah, Denny AJ. Eh salah lagi ya, ah, Denny mang ada-ada aja... Denny, simbol kapitalisme Indonesia. :D
Ah, kau pasti tak percaya. Kau yakin ini hanya rekayasa. Ya, rekayasa memang bajingan. Semuanya bisa dipoles asal siap menggelontorkan uang. Aku jadi ingat, nasihat seorang teman, waktu aku kekusahan ngegembel di Jogja. Temanku itu menilai aku terlalu idealis, hingga bisa sampai pada kondisi harus ngemis. Ngemis minjam materi, ngemis makan, jasa, dan sebagainya.
Padahal aku bukan sosok idealis. Aku orang bodoh. Saat jatuh pada kondisi harus ngemis pada sahabat dan teman-teman yang mau menolong, itu karena aku memang tak tahu harus mencari uang dengan gimana lagi. Kerja aku tak bisa tahan lama. Aku sering kalah atas sengatan depresi yang membuatku ingin bunuh diri. Padahal kata orang dan teman-temanku yang lain, itu konyol. Menurutku tidak. Itu pilihan. Ketika semua tak tertahan, ya yang memilih bunuh diri silakan.
Aku sendiri masih hidup sampai saat ini bukan lantaran menilai itu konyol dan menganggap hidup ini lebih berharga daripada mati. Aku ini seorang dengan gangguan jiwa akut. Kalau sudah mencapai level merah depresiku, aku selalu ingin mati. Ingin mematikan diri. Yang tak bisa kutahan adalah rasa sakit. Sementara untuk bunuh diri itu sakitnya nggak ketulungan. Kau tahu bagaimana orang gantung diri, minum racun, mengiris nadi, dan sebagainya. Semua itu butuh proses untuk sampai pada kematian. Orang mesti kejang-kejang, muntah-muntah dengan mulut berbusa, dan seterusnya. Itu sangat menyakitkan. Aku tak tahan.
Bukan. Bukan aku takut. Aku cuma tak tahan. Aku pernah mencoba mengiris nadi, sakitnya bukan kepalang. Padahal silet baru menyobek beberapa mm kulitku. Sakit bego! Bukan aku takut mati. Aku sudah sangat siap. Terutama waktu itu. Karena aku tak percaya dongeng-dongeng alam kubur. Juga tak masuk akal surga neraka itu. Aku yakin, kematian adalah jalan menuju keabadian. Karena jiwa itu bagian dari ketuhanan, yang tentunya abadi juga. Hanya saja, aku mungkin harus tersiksa karena jiwa atau ruh itu tak bisa melakukan apa-apa tanpa jasad yang bergerak, kecuali hanya keinginan-keinganan dan harapan yang yang menimbun.
Aku juga pernah meminum obat anti nyamuk. Bukan mati malah mabok. Ah, intinya bunuh diri itu sakit. Karena dilakukan atas kesadaran penuh. Maka beruntunglah bagi mereka yang tidak pernah sadar. Karena kehidupan akan terasa indah dan tak mungkin tersakiti.
Tapi aku masih beruntung, semua itu tak tercium oleh orang-orang disekitarku. Aku dikaruniai anugerah berupa karisma. Karisma ini membuatku tercitra seakan sosok orang kuat, pintar, smart, cerdas dan bisa menjalankan skill apapun. Khususnya dalam keilmuan sosial.
"Kenapa ya banyak orang-orang cerdas itu menentang aturan?"
Nah! Itualah pertanyaan Asih yang awalnya menanyakan kondisiku yang bermasalah di kuliah dan pada aturan di tempat kerja. Dia sendiri saja tanpa sadar mengakui bahwa aku punya karisma yang sanggup menutupi berbagai kelemahanku.
Bersambung