Sesungguhnya aku sudah gumoh. Namun seperti film-film bersekuel yang baik, tempat itu masih saja meninggalkan penasaran. Ini yang memaksaku berjanji bahwa suatu saat nanti kita akan kembali menginjaknya.
Terakhir kali aku pergi bersama dengan seseorang. Tujuanku hanyalah menunaikan janji kekurang puasan menikmati keindahan ciptaan Tuhan yang kujumpa pertama kali dalam rekreasi beberapa tahun silam.
Ruang dan
waktu yang berada di bawah kekuasaan Tuhan tiba saatnya mengizinkan. Tak banyak
perubahan yang kujumpa pada tempat itu. Aku hanya mengubah rundown
kegiatan yang kita gelar berdua. Tiba malam hari, istirahat di gubuk dan
melanjutkan perjalanan menuju puncak acara keesokannya.
Pada kunjungan pertamaku dulu, aku datang langsung menuju puncak, turun jelang petang, dan pulang ke Jakarta saat malam mulai matang.
Pada kunjungan pertamaku dulu, aku datang langsung menuju puncak, turun jelang petang, dan pulang ke Jakarta saat malam mulai matang.
Sekarang, ya saat ini, marilah kita berada di ruangan itu. Gubuk itu.
Di sebuah bilik panggung setingi setengah meter, dengan dinding geribik anyaman bambu bercat coklat.
Sekarang, ya
saat ini, jadilah dia. Berperanlah. Ada yang ingin aku sampaikan bahwa,
“Di sinilah kau menciumku.”
“Harus mati dulu
agar bisa melupakannya. Mungkin mati pun tak bisa lupa.”“Mungkin aku akan jadi lelaki di “Pohon Gantung”. Masih menunggu jawaban.” *
Lalu kau berjalan ke arahku dan menempelkan bibirmu ke
bibirku. Kita merasakan panas, debu, dan derita. Rasa yang mengejutkan untuk
ciuman yang begitu lembut.
Dan aku yang lebih dulu menjauh sembari melempar senyum getir.
“Aku tahu kau akan
menciumku.” *
Aku yakin kau tak tahu dan tak pernah tahu ini.
Kenapa aku bisa tahu?
“Karena aku sedang menderita.”
“Karena aku sedang menderita.”
“Itu satu-satunya
cara agar aku mendapat perhatianmu.”
“Jangan kuatir. Semua akan berlalu.” *
Dan kutinggalkan kau pergi berlalu tanpa sempat mengucap
sepatah kata pun balas jawaban.
Tiba masanya nanti, aku ingin kembali ke sana. Ke tempat itu. Takkan kuijinkan kau mencium bibirku terlebih dahulu. Tak pula akan kumemulainya. Hanya keningmu sebagai tanda sayang hormatku. Biarkan segalanya berjalan apa adanya. Aku tak ingin diantara kita terbeban luka. Karena aku telah menyadari kelemahan, menjadi tiada akibat gigitan taringmu.
Bila itu harus terjadi, kuingin tak satu pun aku atau kamu yang memulai. Aku berharap bisa ikhlas mati sehingga gerbang maut adalah pintu untuk kelahiran kembali.
Tiba masanya nanti, aku ingin kembali ke sana. Ke tempat itu. Takkan kuijinkan kau mencium bibirku terlebih dahulu. Tak pula akan kumemulainya. Hanya keningmu sebagai tanda sayang hormatku. Biarkan segalanya berjalan apa adanya. Aku tak ingin diantara kita terbeban luka. Karena aku telah menyadari kelemahan, menjadi tiada akibat gigitan taringmu.
Bila itu harus terjadi, kuingin tak satu pun aku atau kamu yang memulai. Aku berharap bisa ikhlas mati sehingga gerbang maut adalah pintu untuk kelahiran kembali.
*Gale,
Hunger Games “MOCKINGJAY”