“Selamat Hari Kartini.” Banyak yang menulis itu di media
sosial. Beberapa menyematkan kutipan dan diakhiri nama Ibu Kita tersebut. “Habis
Gelap Terbitlah Terang ~Kartini”, “Terkadang
kesulitan harus kamu rasakan terlebih dulu sebelum kebahagiaan yang sempurna
datang kepadamu ~Kartini", dan sebagainya.
Avatar, display picture, foto profil dan sebagainya berubah
lukisan sang Raden Ajeng. Tanda pagar dibuat agar jadi topik tren. Di
sekolah, anak-anak TK, khususnya perempuan, didandani dengan kebaya. Belakangan
masih ada juga yang mengirim broadcast message berisi ucapan tentang hari itu.
Ini tentang 21 April. Hari lahir Pahlawan Perempuan
Indonesia, Raden Ajeng Kartini. Semarak yang patut kita sama-sama apresiasi.
Tentu sudah basi untuk bertanya, apakah mereka yang penuh euforia mengucapkan selamat Hari Kartini itu kenal Kartini? Dalam arti tahu betul siapa itu Kartini? Apa saja yang telah dia lakukan atau perjuangkan? Membaca karyanya? Kenapa ia jadi salah satu pahlawan nasional? Dan sebagainya.
Basi saya katakan atas dasar dua alasan. Pertama, saya yakin
minimal 70% akun di gawai saya agak kesulitan menjawab pertanyaan-pertanyaan di
atas. Setidaknya jika tidak kesulitan, jawaban yang keluar masih mengandung
keraguan. Kedua, kalau memang benar ada yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan
itu, solusinya cuma satu, Google. Klik langsung ketemu di Wikipedia. Basi
kan?
Oke, karena itu, saya akan bercerita tentang Kartini dan
almarhum ayah saya.
Sebagai warga negara yang wajib mengenyam pendidikan
sembilan tahun, saya tahu siapa Kartini. Saya sering melihat gambarnya di
tembok ruang kelas, dari SD-SMA. Di kelas saat Universitas tidak lagi.
Selain dari gambar, pengetahuan tentang pejuang wanita ini
saya dapat dari buku pelajaran sejarah dan lagu ciptaan W.R. Supratman berjudul
“Ibu Kita Kartini”. Belakangan, materi tentang Kartini juga mengendap di kepala
akibat bahan stand up comedy yang sempat
dibawakan Dodit Mulyanto beberapa waktu silam. Lain dari pada itu, saya kira tidak
ada lagi.
Kaitan dengan ayah, ini cukup mengherankan. Khususnya bagi
saya kala itu. Saya tidak ingat persis tanggal, bulan dan tahun kejadiannya.
Yang pasti bukan di Hari Kartini. Status saya masih belajar di Sekolah
Dasar, kelas III.
Tiada angin tiada hujan, di sela-sela santai siang, sambil melepas lelah di ruang tengah, Ayah bertanya, “Le, tanggal lahir Ibu Kita Kartini
itu tanggal berapa ya?”
Tak hanya diajukan pada saya, tapi ibu dan
adik saya juga.
Waktu itu saya lupa atau malah tidak tahu tanggal berapa Ibu Kita Kartini lahir. Dan saya masih ingat betul nada pertanyaan ayah serius, bukan ngetes atau bercanda. Adik saya yang masih Kelas I SD dan Ibu pun tak ingat.
Waktu itu saya lupa atau malah tidak tahu tanggal berapa Ibu Kita Kartini lahir. Dan saya masih ingat betul nada pertanyaan ayah serius, bukan ngetes atau bercanda. Adik saya yang masih Kelas I SD dan Ibu pun tak ingat.
Maka saya langsung membuka lemari, mencari buku sejarah dan
membuka halaman demi halaman. Juga catatan-catatan. Kebetulan masa itu saya belum
kenal si dukun pintar, mbah Google. Sayang sekali, ketika saya telah
menemukan jawaban, ayah sudah duluan. Entah dari mana dia dapat.
Yang sampai sekarang jadi pertanyaan saya adalah untuk apa ayah mencari
tanggal lahir Kartini. Mau menyelenggarakan karnaval kebaya? Tidak mungkin.
Ayah bukan seorang pamong desa. Lagi pula kejadian itu bukan pada bulan April. Untuk
bahan ujian? Tidak juga. Ia sudah tidak sekolah.
Hingga ayah meninggal, saya tetap tidak tahu untuk apa ia menanyakan
tanggal lahir Ibu Kita Kartini waktu itu.
Dan, di Hari Kartini ini, 21 April 2015, saya teringat
kembali almarhum ayah tercinta.
Semoga Allah mengampuni segala dosa-dosa ayah, menerima semua amal baik ayah dan semoga ayah mendapat sebaik-baik tempat di sisi-Nya. Alfatihah.
Semoga Allah mengampuni segala dosa-dosa ayah, menerima semua amal baik ayah dan semoga ayah mendapat sebaik-baik tempat di sisi-Nya. Alfatihah.
Pesanggrahan-Ciputat,
21 April 2015
0 komentar:
Posting Komentar