Oleh MS Wibowo
Pacaran. Dalam pergaulan anak-anak, hal itu kadang jadi bahan perbicangan untuk mengolok-olok teman. Pacaran di dunia mereka, mungkin sebatas rasa suka tehadap lain jenis. Cukup bahagia ketika berjumpa atau memandang wajah sang pujaan hati. Ditambah rasa malu, saat teman yang pernah dicurhati menyebarkan perasaan kita kepada orang lain.
Bagi teman yang mengejek atau ngecengin, pacaran memang bukan aib. Tapi merupakan perbincangan mengasikkan dalam sela-sela waktu santai. Atau sekadar cukup sebagai bahan untuk membuat malu. Malu yang tidak memalukan. Mungkin hanya karena prilaku pacaran dalam pandangan para anak-anak merupakan hal yang seharusnya dilakukan oleh orang dewasa.
Minggu (22/2), sekitar pukul 13.30 aku terbangun dari tidur siangku. Tidur yang aku mulai sejak pukul 11.00 tengah hari. Setelah melakukan upacara pengumpulan nyawa dengan membasuh muka dan minum air putih, aku putuskan untuk membeli beberapa batang rokok kretek dan sebungkus kopi instant. Aku memilih toko yang agak jauh dari kamar kost-ku. Sebab warung samping, tempat biasa aku beli, kebetulan tutup.
Di pertigaan lorong yang menjadi jalanku, berkerumun segerombol anak-anak usia Sekolah Dasar (SD). Mereka duduk di sisi kanan dan kiri jalan. Tiga meter sebelum aku melewati mereka, salah-seorang dari mereka berkata, ‘yang merasaaa, nggak punya pacar …, duduk!’ Kata terahir ini jatuh pas lima detik aku berada tepat di tengah-tengah mereka. Dengan cepat dan reflek yang tajam, seorang anak lelaki bertubuh gemuk di antara mereka, langsung mengacungkan telunjuk ke arahku dan berteriak, “dia!”.
Seketika aku bengong. Akukah yang ia tunjuk? Atau anak lainnya yang posisinya di belakangku? Sembari memerlambat langkah, aku lihat sekeliling. Semua anak tercengang. Tapi ada yang tertawa sambil melihatku, ada pula yang memandang anak laki-laki gemuk tadi. Ada yang ngedumel, “ih kamu nih, sembarangan aja nunjuk orang.”
Aku lihat anak yang menunjukku tadi. Dia hanya cengar-cengir sambil merasa menang karena telah memergoki seseorang yang telah punya pacar. Aku terus berjalan. Aku masih bingung, mengapa anak tadi menunjukku? Mengapa yang anak itu dan sebagian lainnya tertawa? Oh, MG, bodoh sekali aku ini. Aku baru ingat apa yang tadi barusan dikatakan sang komando, ‘yang merasa nggak punya pacar duduk’. Aku kan nggak duduk. Berarti aku punya pacar.
Sialan, kataku dalam hati. Ingin ku pelototin saja anak tadi. Mau tahu juga aku, bagaimana reaksi dia. Ngajak berantemkah dia karena merasa tidak salah? Atau bagaimana? Tapi sudahlah, masa aku balik kanan menuju nyamperin mereka. Toh mereka hanya anak-anak ingusan yang belum tahu apa itu pacaran. Walau mungkin arti cinta yang mereka pahami, lebih murni daripada pemahaman orang dewasa.
Sampai di toko, aku masih memikirkan kejadian barusan. Saat aku berjalan pulang ke kamar kost-ku, aku akan melewati jalan yang sama. Aku mau perlihatkan muka kecut pada anak-anak tersebut. Wabilkhusus pada si gemuk tadi. Namun sampai di gang itu, mereka telah menghilang. Mungkin takut aku membalas perlakuan mereka yang telah memermalukanku. Takut melihat mukaku yang sejak sore kemarin belum mandi. Atau juga mungkin mereka pacaran dengan pasangan masing-masing. Karena dalam gerombolan tadi terdiri laki-laki dan perempuan. Ya terserah mereka. Aku cuma bilang, kali ini bukan dalam hati, tapi otakku, ‘wallahu a’lam bishshowab’.
Pacaran. Dalam pergaulan anak-anak, hal itu kadang jadi bahan perbicangan untuk mengolok-olok teman. Pacaran di dunia mereka, mungkin sebatas rasa suka tehadap lain jenis. Cukup bahagia ketika berjumpa atau memandang wajah sang pujaan hati. Ditambah rasa malu, saat teman yang pernah dicurhati menyebarkan perasaan kita kepada orang lain.
Bagi teman yang mengejek atau ngecengin, pacaran memang bukan aib. Tapi merupakan perbincangan mengasikkan dalam sela-sela waktu santai. Atau sekadar cukup sebagai bahan untuk membuat malu. Malu yang tidak memalukan. Mungkin hanya karena prilaku pacaran dalam pandangan para anak-anak merupakan hal yang seharusnya dilakukan oleh orang dewasa.
Minggu (22/2), sekitar pukul 13.30 aku terbangun dari tidur siangku. Tidur yang aku mulai sejak pukul 11.00 tengah hari. Setelah melakukan upacara pengumpulan nyawa dengan membasuh muka dan minum air putih, aku putuskan untuk membeli beberapa batang rokok kretek dan sebungkus kopi instant. Aku memilih toko yang agak jauh dari kamar kost-ku. Sebab warung samping, tempat biasa aku beli, kebetulan tutup.
Di pertigaan lorong yang menjadi jalanku, berkerumun segerombol anak-anak usia Sekolah Dasar (SD). Mereka duduk di sisi kanan dan kiri jalan. Tiga meter sebelum aku melewati mereka, salah-seorang dari mereka berkata, ‘yang merasaaa, nggak punya pacar …, duduk!’ Kata terahir ini jatuh pas lima detik aku berada tepat di tengah-tengah mereka. Dengan cepat dan reflek yang tajam, seorang anak lelaki bertubuh gemuk di antara mereka, langsung mengacungkan telunjuk ke arahku dan berteriak, “dia!”.
Seketika aku bengong. Akukah yang ia tunjuk? Atau anak lainnya yang posisinya di belakangku? Sembari memerlambat langkah, aku lihat sekeliling. Semua anak tercengang. Tapi ada yang tertawa sambil melihatku, ada pula yang memandang anak laki-laki gemuk tadi. Ada yang ngedumel, “ih kamu nih, sembarangan aja nunjuk orang.”
Aku lihat anak yang menunjukku tadi. Dia hanya cengar-cengir sambil merasa menang karena telah memergoki seseorang yang telah punya pacar. Aku terus berjalan. Aku masih bingung, mengapa anak tadi menunjukku? Mengapa yang anak itu dan sebagian lainnya tertawa? Oh, MG, bodoh sekali aku ini. Aku baru ingat apa yang tadi barusan dikatakan sang komando, ‘yang merasa nggak punya pacar duduk’. Aku kan nggak duduk. Berarti aku punya pacar.
Sialan, kataku dalam hati. Ingin ku pelototin saja anak tadi. Mau tahu juga aku, bagaimana reaksi dia. Ngajak berantemkah dia karena merasa tidak salah? Atau bagaimana? Tapi sudahlah, masa aku balik kanan menuju nyamperin mereka. Toh mereka hanya anak-anak ingusan yang belum tahu apa itu pacaran. Walau mungkin arti cinta yang mereka pahami, lebih murni daripada pemahaman orang dewasa.
Sampai di toko, aku masih memikirkan kejadian barusan. Saat aku berjalan pulang ke kamar kost-ku, aku akan melewati jalan yang sama. Aku mau perlihatkan muka kecut pada anak-anak tersebut. Wabilkhusus pada si gemuk tadi. Namun sampai di gang itu, mereka telah menghilang. Mungkin takut aku membalas perlakuan mereka yang telah memermalukanku. Takut melihat mukaku yang sejak sore kemarin belum mandi. Atau juga mungkin mereka pacaran dengan pasangan masing-masing. Karena dalam gerombolan tadi terdiri laki-laki dan perempuan. Ya terserah mereka. Aku cuma bilang, kali ini bukan dalam hati, tapi otakku, ‘wallahu a’lam bishshowab’.