Di era ini, mulai benar-benar terasa geseran realitas daru nyata ke dunia maya. Sebagaimana kekhawatiran Mark Slouka, kini jutaan warga dunia berduyun-duyun bermigrasi ke cyber space. Fenomena Facebook salah-satu contohnya. Kita saksikan dahsyatnya dukungan terhadap Prita lewat koin yang digalang mula-mula dari dunia maya. Di samping itu, kita juga terima kenyataan, dunia maya adalah dunia kebebasan. Kita bisa menjadi siapapun, dimanapun, kapanpun dan bagaimanapun. Menyamar dan menghilangkan identitas diri, termasuk jenis kelamin.
Mark Sluoka dalam buku yang diterjemahkan berjudul “Ruang Yang Hilang” mengungkapkan, cyber menjanjikan sebuah dunia sempurna. Sama halnya para agamawan menjanjikan surga sebagai tempat sempurna impian kita. Surga maupun cyber merupakan dunia ketiadaan jasad. Di situ apa yang kita mau akan segera tersedia. Tak ada lagi larangan, hanya kesenangan.
Para ahli teknologi telah mampu menjelmakan surga di dunia ini. Ruang yang dihuni pikiran-pikiran murni manusia. Kita sadar, ini memang bukan surga seperti imajinasi pada agama-agama. Sebuah tempat sejuk dengan sungai yang mengalir di bawahnya. Tempat yang tak mungkin terdapat di gurun pasir yang seperti neraka.
Dunia maya telah memiliki tempat spesial di otak kita. Atau lebih tepatnya, sebagian jiwa kita telah berada terperangkap di dalamnya. Tepat seperti tulisan pamflet, yang disebar Blogger UIN Jakarta beberapa waktu lalu, “PART OF YOUR MIND IS ON THE CYBER SPACE”.
Bisa dikata, cyber adalah dunia alternatif, terutama untuk gagasan dan ide yang riskan diumbar di realitas nyata. Satu lagi fenomena di facebook, yakni berdirinya Partai Komunis Indonesia (PKI). Kita tahu, otak bangsa Indonesia telah dicuci oleh Rezim Orde Baru, bahwa PKI adalah partai yang membahayakan umat Indonesia. Karenanya tak mungkin ia tumbuh dalam lingkungan nyata sehari-hari. Tapi di ruang maya, PKI bisa berdiri tegak.
Pernyataan Rene Descrates, “aku berfikir, maka aku ada” mungkin tepat untuk disematkan pada fenomena cyber. Sekali lagi, di dunia baru ini hanya ada pikiran-pikiran manusia. Tak ada kelembutan kulit, tak ada kehangatan belai usapan tangan ibu atau kekasih di kelapa kita. Semua itu dapat terjadi di ruang maya dengan pikiran kita.
Siapa sanggup menghentikan laju pikiran manusia. Ketika raga terpenjara, pikiran tetap berjalan. Teror mental pun, tak selalu ampuh mematikan pikiran, mungkin hanya membelokkan.
Dunia maya telah memiliki teretorial sendiri. Sebuah teretorial dengan luas ratusan kali lipat dari jagad nyata. Dengan kecepatan tinggi, ruang itu semakin melebar, merambah, dan menjarah dunia nyata.
Beberapa waktu lalu, empat siswa SMAN 4 Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, dikeluarkan sekolah karena mencaci seorang guru kesenian di Facebook (kompas.com). Menyusul kemudian Wahyu, mahasiswa di sebuah universitas negeri di Jember, didakwa oleh jaksa dengan pasal 310 ayat 2 dan Pasal 311 ayat 1 KUHP dengan ancaman hukuman empat tahun. Ini bermula ketika Wahyu meluapkan kekesalannya terhadap Tri Basuki di facebook, salah-seorang instrukturnya di Jember Marching Band. (Kompas 21/2/2010 hal. 26)
Apapun, tak seharusnya itu terjadi. Apalagi sanksi pengeluaran dari sekolah hanya gara-gara mencaci guru di FB. Ini justru menandakan kita (terutama para guru di SD itu) tidak punya kedewasaan. Hukuman drop out adalah tindakan final. Tentu tak sebanding dengan cacian d FB. Dunia maya hanyalah realitas dari pikiran-pikiran yang berkeliaran. Tanpa harus dituangkan di dinding FB, ketiga siswa itu tatap mencaci. Dan ketika mereka ungkap di FB dengan kejujuran, balaslah dengan kejujuran pula di dunia maya (FB dsb).
Para penggugat, yang kebetulan keduanya bergerak di bidang ‘seni’ sangat tak layak. Janganlah dulu orang-orang semacam itu diberi kesempatan mengajar. Biarkan mereka mengasah jiwanya, nuraninya, hatinya untuk tidak selalu berlaku sebagai munafik yang selalu menyimpan kejujurannya dalam kebusukan otak dan hati.
0 komentar:
Posting Komentar