Jumat, 30 April 2010

Diperkosa

Pagi dini hari, jiwaku duduk di altar hati termangu. Matanya mengintip langit-langit kamar dari celah bola mata raga. Sebuah celah kecil yang menyelendupkan sekilau cahaya mentari.
Jiwaku masih termenung. Tiba tiba ia ingat akan kisah masa lalu. Sebuah peristiwa yang baru ia rasakan setelah 23 tahun turun ke bumi. Punya teman. Ya, jiwaku memiliki teman hidup baru dua tahun yang lalu. Sesungguhnya ia tak percaya akan hal tersebut. Bertahun tahun keluar dari rahim ibu bersama raga kurus tak terurus, baru kali ini ia menemukan seorang jiwa yang terkagum padanya.
Bagi raga, kejadian ini adalah punya pacar dan bukti kelelakian serta momen melampiaskan nafsu birahi. Tidak bagi jiwaku. Ini adalah peristiwa penting. Yakni, ia tak sendiri lagi di dunia. Sebuah ‘takkesendirian’ yang diperoleh tanpa sengaja dari ulah nafsu ragawi.
Awalnya, jiwaku tak mau percaya dengan teman barunya ini. Ia bahkan memohon pada nafsu agar meninggalkan atau membuang teman jiwa itu tiga bulan mendatang.
Tapi jiwaku tak tega dan tak mau berbuat kejam terhadap teman jiwa, yang sangat mencintainya. Sebab teman jiwa itu tampak terus memelas dan berharap cinta jiwaku tak akan pergi. Teman jiwa itu bahkan berkata pada jiwaku, “silakan kamu pergi cari teman jiwa yang kau inginkan. Bila nanti tak kau dapat, kembalilah padaku.”
Mendengar itu, jiwaku sungguh terperanga dan salut pada cinta teman jiwanya. Akhirnya jiwaku memutuskan tak akan meninggalkan teman jiwanya. Kalaupun harus berpisah, biarlah teman jiwanya yang meninggalkan. Jiwaku tak mau menyakiti perasaan teman jiwanya.
Semakin hari, tumbuhlah cinta dan harapan jiwaku. Kini, ia sama sekali tak mau meninggalkan atau ditinggalkan teman jiwa. Ia bahkan berani bersumpah atas nama ibu tak akan berbuat macam-macam, seperti selingkuh, main serong atau main gila, sebagaimana kekhawatiran teman jiwa.
Setelah setahun berhubungan, jiwaku berujar, “jika dua jiwa menjalin hubungan selama dua tahun tapi tak menghasilkan apa-apa, lebih baik keduanya berpisah. Itu berarti keduanya tak sinergis.”
Mendengarnya, teman jiwa menangis tersendu-sendu. Ia menyangka kalimat ini adalah ungkapan untuk meninggalkannya. Ia pun bertanya pada jiwaku masih dengan derai air mata, “jika benar setelah dua tahun nanti kita tak menghasilakan perubahan positif apa-apa, berarti kamu akan pergi dariku?”
Jiwaku menenangkan penuh kata. “Ya kan masih ada setahun lagi. Kita bisa jadikan semua lebih baik. Aku mengatakan ini hanya untuk memicu kita supaya hubungan ini tak hanya berbuah zina raga gratis saja.” Teman jiwaku masih menangis. Tapi hanya bisa pasrah pada waktu.
Hari berlalu. Sampailah pada masa satu setengah tahun hubungan. Jiwaku sudah mantap mencintai teman jiwanya. Jiwaku sudah lekat tak mau berpisah. Meski ia tahu, bahwa raga teman jiwanya telah tercemar oleh batang paman jiwanya. Itu terjadi lima tahun sebelumnya, ketika teman jiwaku tinggal selama empat tahun di rumah pamannya. Amat menyakitkan memang. Tapi jiwaku memegang komitmen cinta untuk bisa menerima segala kekurangan teman jiwanya.
Karena itu, cinta jiwaku terus melebar dan membesar. Hingga menyempitkan keinginan nafsu. Beberapa minggu hal ini membuat teman jiwaku bahagia. Eh salah, bukan beberapa minggu tapi beberapa hari saja. Sudah itu segalanya berubah. Jiwaku mengira, apa yang diminta teman jiwanya adalah benar adanya, yakni cinta. Jiwaku memberikan cintanya sepenuh mungkin untuk teman jiwa itu.
Dan ternyata, bukan itu yang diinginkan oleh teman jiwa. Ternyata ia tak butuh cinta dan kesetiaan, melainkan nafsu. Ya, nafsu yang selama ini dikhawatirkan teman jiwa. Sebab dahulu, teman jiwa pernah betanya, “sebenarnya kamu menjalin hubungan denganku ini karena nafsu atau karena cinta? Aku takut nafsumu lebih besar daripada cintamu.”
Jiwaku mengira kalimat itu ungkapan teman jiwa meminta cinta. Dan setelah jiwaku menumpahkan cintanya, teman jiwa pun mundur teratur. Karena yang teman jiwa mau hanyalah nafsu, bukan cinta. Cinta itu membosankan. Selalu ingin memiliki dan mengikat. Berbeda dengan nafsu yang selalu membalut jiwa dengan kesenangan. Sedangkan cinta membalut jiwa dengan kekhawatiran dan ketakutan.
Akhirnya jiwaku kembali sendiri. Ia tertipu. Cinta yang diminta teman jiwanya adalah nafsu. Nafsu birahi sebagaimana dilatih oleh paman teman jiwa itu selama tiga tahun. Tiga tahun diperkosa oleh pamanya sendiri. Ia bilang itu menyakitkan. Padahal nikmat tiada tara.

0 komentar:

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html