Akhirnya sampai juga di Lampung. Di kampung halaman, aku tak segera menuju rumah. Capai dan panasnya pantat memaksaku berdiam lebih lama di rumah Vian (Sepupuku yang mudik semotor denganku). Empat kali bocor ban dalam perjalanan malam dari Bekasi – Lampung membuat lelah tak karuan. Kenapa ban sampai bocor empat kali? Mungkin aku dan Vian terlalu berat karena banyak dosa dari Jakarta.
Ayah Vian, Pakde Muridan, adalah orang pertama yang menyambutku dengan sebuah tanya, “Kamu di Jakarta kok malah tambah item dan berantakan? Biasanya kan orang dari kota bersih-bersih dan putih?” Aku hanya menjawab, “masa sih Pakde?”
Sampai di rumah, bersalaman dengan mama. Beliau mencium pipi kanan kiriku. Usai itu aku menjadi orang paling menyesal dan sedih tiap kali hendak mencuci muka. Aku sedih ketika harus membasuh bekas ciuaman ibu di wajahku. Alhamdulillah Ibu tak menyuruhku potong rambut. Ia pun sama sekali tak mengomentari kondisi dan penampilanku.
Hari-hari berikutnya aku bertemu satu persatu teman, tetangga dan sanak saudara. Pamanku Zaini datang saat aku tidur siang di depan pesawat TV. Aku terkejut. Ia menarik gelang di tangan kiriku. “Wiiieeetsss...,,, jadi preman di Jakarta. Coba lihat rambutnya, wiiiiihhhhh gondrong... mau niru siapa ini...,” kata Paman Zaini dengan senyuman.
Aku juga menyambutnya dengan senyum ramah. Aku tahu dia hanya bercanda. Dia tak tahu betul filosofi gelang dan rambut gondrongku.
Disuruh Jadi Bintang Film
Di hari lebaran, aku semakin banyak mendapat komentar dan tanya. Tentang rambut, kurusnya badanku, gelang, muka yang kurang bersih dan hitam, serta keberadaanku di Jakarta.
“Pacarnya mana? Kok nggak dibawa pulang?” tanya nenek dan beberapa tetanggaku. “Kuliahnya belum selesai? Sudah punya cewek belum? Buruan nikah, biar ada yang nempatin rumah dan mengurus masjidnya.”
Seputar itulah tanya mereka. Tapi ada satu komentar yang beda. Itu keluar dari mulut suami budeku. Pakde Marzuki namanya. “Udah kadung (terlanjur) di Jakarta, sekalian cari-cari celah agar bisa main sinetron atau main film.”
Kalimat itu ia ulang tiga kali dalam waktu dan tempat bertemu yang berbeda. Di rumahku, di rumah nenek dan di rumahnya.
Maafkan Aa Honey...
H+7 aku berangkat kembali ke Jakarta. Ciuman Ibu kembali mendarat di kanan kiri wajahku. Pukul 09.30 aku dan Vian kembali menarik gas motor. Sebuah rasa sesal tiba-tiba singgah di hati. Sesal karena tak sempat mampir ke Teluk Betung untuk beli dodol duren, Lempok, kripik pisang coklat, kemplang dan oleh-oleh khas Lampung lainnya. Maafkan aku wahai perempuan yang kupuja siang malam. Hingga kini ku belum memberi yang terindah, terbaik dan terenak untukmu. Kebahagiaan kita pasti nyata.
Sakit Hati Yang Nggak Pas
Di tepi lain, sesal melanda karena tak sempat bertemu kawan-kawan Pers Mahasiswa di UNILA. Ada kenangan dan harapan tertinggal di sana. Ya sudahlah mungkin lain kali, pikirku.
Tapi takdir menjawab. Di Bandar Sribawono, di sebuah Pom Bensin Pertamina, aku melihat sosok yang tak asing. Tapi tubuh dan wajah serta penampilannya agak beda dengan yang kukenal dulu. Benarkah dia Hendi, yang dulu sempat mencomblangiku dengan Dui Setiani tapi malah akhirnya mereka berdua yang jadi pacaran?
Aku tak yakin mau menyapanya. Kuamati terus pria itu. Siapa tahu benar Hendi. Siapa tahu dia melihatku dan ingat pada orang ganteng ini. Ujung helm sampai sepatu hitamnya telah lengkap kupandangi. Tapi ia tetap tak merasa kuperhatikan. Ingin kupanggil, tapi masih ragu. Hingga ia membuka dompet hendak membayar bensin, aku baru yakin bahwa dia Hendi. Pasalnya, di dompetnya melekat sebuah foto cewek cantik, tomboy dan manis. Tipe gue banget. Ya itu gambar Dui Setiani.
Seketika sakit hatikuv menyeruak. Entah kenapa aku juga tak tahu. Benarkah aku masih cinta pada Dui? Padahal aku dan dia cuma beberapa menit sempat bertatap muka. Itupun tiga tahun lalu. Kita juga belum sempat jadian. Dulu kubiarkan Hendi mendapatkan Dui karena aku teleh punya perempuan di Jakarta. Tapi semua sudah berlalu. Biar kusapa Hendi.
“Hen..!!! Hendi kan? Gue Wibowo, Pagar Dewo...”
Mendengarku ia menoleh. Diam menatapku sesaat dan mengucap istighfar. Kami betukar kabar. Tak kuduga, dia jago nebak. Melihat rambut gondrong dan sandal jepitku, ia tahu aku belum lulus. Sementara dia sudah kerja di sebuah kantor di Bandar Lampung. Pagi itu ia tengah ingin berangkat kerja. Kebetulan Hpku mati, tak sempat mencatat nomornya. Tapi dia mencatat nomorku. Akhirnya kami berpisah. Dia berangkat kerja, aku berangkat kuliah ke Jakarta.
Di jok motor yang membuat pantat teposku panas, akalku terus bekerja menenangkan jiwa. Berusaha ikhlas menerima masa lalu yang belum kutemukan benang merahnya dengan masa kini. Baru di atas kapal, kubisa menerima dan menghilangkan sakit hati. Ya memang tak tepat kalau harus sakit hati pada masa lalu. Semestinya aku tersenyum menatap masa depan. Hendi, Dui, semoga bahagia iringi langkah kalian berdua. Percayalah, aku ikhlas kok. Jadi jangan ada rasa tak enak denganku. Kita tetap kawan, kita tetap sahabat dan saudara. Oke...
Cewek Idaman Masa Kecil.
Di perjalanan balik ini, Dua orang teman sekampung Vian turut serta. Di atas kapal, ketiganya menghiburku dengan cerita masa kecil. Cerita yang menghibur? Tentang apa? Tentu saja tentang perempuan. Kami kan lelaki.
Kampung Vian berjarak 1km dari desaku. Zaman mereka kecil, ada perempuan yang menjadi bunga desa. Namanya Peni. Sekarang sudah menikah. Vian dan kedua temannya termasuk ABG yang dulu tergila-gila pada Peni. Vian menuturkan, Peni adalah cewek idaman masa kecil. Kalimat yang sering terlempar dari pemuda untuk Peni waktu itu adalah, “Beeehh mbak Peni, kamu kok cantik banget. Aku rela kalau harus minum (maaf) air senimu.”
Bersih Dari Dosa
Aku tertawa mendengar itu. Hahahahahahahahahahahaha. Dan alhamdulillah, pukul 21.00 aku tiba di Tangerang. Sowan di rumah saudara. Di jalan balik ini, motor yang kukendarai bersama Vian tak mengalami bocor ban atau hambatan lain, seperti saat pulang mudak sebelumnya. Mungkin karena habis lebaran, idul fitri jadi kami kembali suci seperti terlahir kembali. Makanya, ban motor membawa kami tanpa beban.
** Di FB Gue Juga Ada...
0 komentar:
Posting Komentar