Sejak memutuskan untuk mengakhiri
semua, ini adalah pagi kesekian kalinya yang ku jumpa. Pagi yang dulu teramat
sulit aku temui. Apakah berarti semua setan dan iblis telah pergi? Cuma
lantaran aku memutuskan tujuan akhir hidupku dengan bunuh diri?
Entahlah. Tujuh tahun lalu, ketika
sedang getol-gotolnya mengejar fajar, demi duduk di bangku kuliah tepat waktu,
aku kesulitan tidur malam. Seperti ada yang menarik-narik pikiran. Melayang,
mengawang, penuh dengan keresahan. Akibatnya mataku tak bisa terpejam hingga
lantang suara adzan berdatangan dari segala penjuru. Dan aku kelabakan.
Kuliahku berantakan. Terus menerus berulang.
Kalau tidak begitu, kesehatanku
rentan terganggu. Entah perut, entah kepala, entah paru-paru, demam berdarah,
liver, typus, dan segala macam penyakit menghadang siang. Tubuhku penuh
kelemasan. Semua itu memaksaku untuk berikhtiar ketat menjaga pola makan,
berjuang keras menghindari hal-hal yang membahayakan kesehatan. Caranya
macam-macam. Sesempatnya aku joging, olahraga, minum vitamin, pakai lotion anti
nyamuk DBD, banyak minum air putih, memaskeri hidung dari asap-asap komplek
kehidupan, dan sebagainya.
Ah, tapi musibah datang dari mana
saja. Selalu ku syukuri masa sembuh dari penyakit yang beberapa kali nyaris
membunuhku. Hingga saat ini, ku sesali semua usaha penyembuhan itu. Menyesal
karena tak memanfaatkan penyakit-penyakit ganas menjemput ajalku. Dengan begitu
aku bisa mati normal, bukan bunuh diri.
Sekarang, aku tak tahu kemana
perginya semua penyakit yang mengelukan itu. Setelah banyak cita dan harapan ku
tanggalkan, mengabaikan segala prosedur hidup sehat, berharap sekarat datang,
tapi malah sebaliknya yang ku dapat. Aku baik-baik saja. Tak ada lemas, tak ada
nyeri di perut, kepala, dada, dan seluruh anggota badan. Kepala yang selalu
berkeringat pertanda gejala sakit jantung, kini kerontang. Racun yang ku minum
dan ku makan berubah kecing dan berak belaka. Di mana perahu-perahu yang bisa
mengantarku ke pulau baka itu?
Malah pagi yang ku jumpa. Pagi yang
bising. Klakson di jalan memekikkan kebenaran masing-masing. Mereka bilang
pergi karena uang, pulang karena cinta. Ah bullshit…!!! Kalau ku tanya, untuk
apa mereka bergelut dan memutari semua? Untuk apa mereka hidup dan memabrikkan
manusia? Tak ada jawabannya.
Lalu mereka balik tanya, mengapa
aku tak ingin hidup? Membuang asa? Mengharap-harap alam baka segera menyapa?
Jawabku, mengapa tidak? Dan mereka pun menilai dan memandangku sebagai
penyakit. Padahal mata mereka sakit. Hidup untuk pengulangan, sok tahu perihal
kematian.
Atau aku yang memang tak tahu apa
itu tujuan? Mungkin tak tahu bagaimana cara berjalan? Kaki-kaki jiwaku lumpuh,
sebab tiada dataran keras pijakan. Hanya orang tolol yang mau menolongku.
Mengangkatku dari lumpur dengan resiko tenggelam bersama.
Kalau sekadar kata-kata mutiara,
seperti super mario bross itu aku pun punya. Tak ingatkah kau, berapa orang
yang meminta saranku, dan mereka menjalankannya, mengamininya, dan hidup lebih
berharga, setidakknya menurut masyarakat yang gila dan kaku. Yang dengan
struktur, aturan, dan kotak-kotaknya melelehkan Sang Aku. Fuck, soceity, crazy
ending.
Apa? Kau mau tanya, kenapa aku tidak menjalankan
kata-kataku? Lihat, kakiku! Kaki jiwaku! Mana?! Dan kau hanya mengumpatku. Apa
yang bisa kau tawarkan agar aku tetap memilih hidup dan membuang jauh-jauh asa
akan kematian? Kau ingin menjadikanku tuan? Atau menawariku jadi budakmu? Jadi
kawanmu? Itu saja? Aah, aku juga punya. Aku punya tuan, aku juga punya budak.
Kawan? Apalagi..
Nah, sekarang kau mencoba
membohongiku. Kau bilang, aku, kau, dan mereka, kita semua pernah punya
perjanjian dengan tuhan untuk tunduk dan menjadikan ia sebagai tujuan?
Perjanjian yang mana? Kapan? Aku benar-benar tak ingat. Sama-sekali. Aku yakin
kau juga. Cuma karena ketakutan pada bayangan neraka dan mengharap bayangan
surga itu kau paksa akal dan hatimu untuk percaya. Ah, seperti anak kecil saja
kau, mengharap hadiah dan takut siksa.
Eh, tapi sebentar. Perjanjian itu
adalah hukum. Ada aturannya. Aku benar-benar tak ingat kapan, dimana, bagaimana
kondisinya, siapa saksinya, dan segala macam yang terkait dengan perjanjian
itu. Apakah aku berdosa dan bodoh? Aku benar-benar tak ingat. Lalu tiba-tiba
saja kau menyodorkan sebuah kisah, yang asing bagiku. Mana tanda tanganku di
situ? Mana bukti kesepakatan antara aku dan tuhan?
Oke, kalau memang hidup ini
tujuannya untuk tuhan, mengapa aku tak boleh segara mengakhiri kefanaan ini?
Hidup kan fana? Dan hidup itu bukan tuhan? Iya toh? Kalau hidup itu bagian dari
tuhan, maka orang-orang yang mengakhiri hidupnya itu berarti mengakhiri tuhan?
Bukan?
Aku tahu, kau sedang ketakutan. Takut
siksa neraka. Dan benakmu, memohon ampun tuhan berulang-ulang. Hanya lantaran
membaca tulisan ini sampai di sini. Baiklah aku maafkan. Nah, mau lanjut?
Sudahlah, banyak cara menggapai
kebenaran. Ada yang berjalan, berlari, atau melompat. Biarkan aku melompat.
Kalau tak sampai ya nggak apa-apa. Toh, di manapun aku berada nggak akan lepas
dari tuhan. Begitu kan keyakinanmu?
Oke, kembali ke kamarku. Kenapa aku
malah sering bangun bagi akhir-akhir ini? Di kala fajar tak lagi menarik
minatku. Di kala mataku begadang sampai tarkhim berteriakan. Di kala badan ku
buat capai tak ketulungan, kenapa tetap saja di pagi harinya aku bangun? Kenapa
nggak tidur selamanya?
Tapi ya sudahlah. Jalani saja.
Nanti juga tiba saatnya minum baygon. Dan beberapa kali ku baca di beberapa
media, itu berhasil. Oke bradah… sampai jumpa, entah di mana… bye…
1 komentar:
Seperti sedang membaca getir yang teramat sangat, di sini.
Shalom. Semangatlah Bung! :)
Posting Komentar