Sejak senja kemarin, aku kedatangan nuansa dan suasana hati
dari masa lalu. Mereka kelabu, sendu, dan selalu memelihara kesan asingnya. Meski
begitu aku seperti telah akrab.
Mereka mengantarku ke titik waktu yang belum amat lama aku
lewati. Kurang lebih satu tahun dari sekarang. Kurang lebih juga di bulan yang
sama, yakni Maret 2012.
Kala itu, aku kehilangan harapan. Aku sama sekali tak
menemukan alas an dan keyakinan kuat untuk apa dan kenapa aku harus
mempertahankan hidup. Kuputuskan bunuh diri. Telah aku pesan dan kubeli racun
tikus tanpa merek tapi cukup ampuh membunuh tanpa rasa pahit. Ternyata takdir
masih memberiku kesempatan hidup. Ada secercah jalan keluar dari kebuntuan. Ada
peristiwa-peristiwa janggal yang intinya masih mengikat nyawaku pada raga ini.
Mungkin aku putus asa saat itu. Aku berusaha melarikan diri.
Aku merasa gagal dan tak tahu harus berbuat apa, kemana, atau bagaimana. Hidup tanpa
tujuan, tanpa kegiatan dan rutinitas. Bisa kau bayangkan, bukankah itu sangat
membosankan. Tiap hari hanya berada di kamar kost, mendengar musik, bermain di
media sosial, atau sekadar ngopi dengan teman-teman yang bukan seangkatan.
Dapat kau dengarkan, betapa teriakan, cibiran, tertawaan,
cercaan, dan sebagainya mengarah padaku. Aku seperti pecundang. Kuliah gagal,
tak punya pacar dan pekerjaan. Aku hanya mengaku sebagai penulis. Aku memang
berusaha untuk itu. Tapi aku mengulang berkali-kali, menulis cerpen, novel,
atau semacamnya. Hasilnya, taka da yang sempurna. Berantakan dan tak memuaskan.
Menurutku sendiri, aku punya karisma. Tapi skill menulisku
sangat kurang. Aku bahkan kesusahan membuat deskripsi. Menjelaskan detail ruang
berukuran 4x5 pun kesulitan. Bisa kau bayangkan betapa aku ini penulis sialan.
Aku punya seorang yang aku anggap sebagai salah satu guru
menulis. Tapi dia sendiri menyebutku tak punya bakat menjadi novelis, cerpenis,
atau sajakis. Ya, aku sadar itu. Aku memang lemah. Otak kanan dan kiriku kurang
baik berfungsi. Aku bahkan tak tahu apa bakatku.
Ah, sudahlah, aku telah memilih jadi penulis. Siapa yang
mengakuiku sebagai penulis? Kupaksa diriku sendiri mengakui itu. Semoga
merembet ke orang lain. Tapi yang kusedihkan, aku sudah amat tua. Orang seumuranku
telah umum berkeluarga. Aku juga mestinya telah mampu membayar cicilan haji
orangtua. Aku masih menyusahkan ibunda.
Entah mengapa dan bagaimana aku bisa sampai di sini. Tiba dan
tinggal di sebuah pengalaman, perasaan, dan pemikiran yang menyatakan bahwa tak
ada satupun yang lepas dari kemunafikan. Tengoklah karya-karya seni dan sastra.
Tema-tema dalam novel, cerpen, film, lagu-lagu dan sebagainya. Semua mengagung-agungkan
kejujuran, ketulusan, kebenaran, bukan kemunafikan, kebohongan dan kecurangan. Dalam
kenyataannya semua itu terbalik. Bahkan semacam ada pengaminan bersama dengan
adanya ruang privat dan ruang publik.
Secara pribadi atau di kelompok-kelompok atau organisasi
khusus, orang boleh saja dan sah mengatakan bahwa tidak ada tuhan. Tuhan telah
mati. Tapi di ruang publik mesti sebaliknya.
Secara pribadi, individu atau kelompok, korupsi, trik,
tipuan, muslihat, dan segala akal-akalan boleh saja dilakukan. Tapi di depan public,
apapun yang terjadi semua itu harus ditentang, dilawan, dibasmi, meski sekadar
dalam bentuk kata-kata kosong.
Dan aku orang yang kecele. Orang yang ketipu. Aku tak bisa
dan sangat tidak bisa basa-basi atau berpura-pura. Aku terlalu polos menapaki
kehidupan. Kukira semua akan mudah dengan kejujuran. Tidak juga. Kepura-puraan
sangat dibutuhkan untuk bertahan di kota hayat. Sedangkan untuk di kota,
fisikku tidak terlalu kuat.
Lihatlah, apa yang aku tulis ini? Ketidakjelasan. Ketanpaarahan.
Menyebalkan bukan? Sialan!!!