Saya tahu apa yang di benak para pengunggah makanan yang
mereka santap bersama teman, orang tercinta atau pun sekadar sendiri. Mereka sedang
berbahagia dan sebagaimana perasaan lainnya, ingin diungkapkan dan dibagikan. Karena
seperti kutipan dalam film “Into The Wild” kebahagiaan hanya nyata bila
dibagikan.
Saya mungkin sakit hati. Setidaknya itu yang saya rasakan
dan tidak dapat saya sembunyikan. Sakit hati memang tidak rasional. Entah karena
iri atau karena memang sedang tak bisa seperti mereka yang membagikan foto-foto
kelezatan makanan di media sosial. Pastinya, saat ini, saya sedang tidak bisa
seperti mereka. Saya sedang lapar dan kelaparan. Melihat foto-foto makanan,
sekalipun itu hidangan sederhana, rasanya seperti tambah mengaduk-aduk dan
mengiris-iris isi perut.
Seperti mereka yang ingin membagikan perasaan bahagia atas
hidangan dari Tuhan, saya juga tak tahan untuk membagikan perasaan kepedihan
yang terus menggumpal dalam perut, hati dan pikiran.
Saya ingin memanipulasi perasaan setidaknya memolesnya dalam
bentuk cerita fiksi, esai, atau semacamnya. Tapi mungkin terlalu perih ya isi
perut. Terlalu asam mulut karena hanya diisi oleh asap tembakau dan secangkir
kopi.
Apapun yang terjadi, saya mesti bersyukur karena masih bisa
menyeruput kopi dan menghisap nikotin sebagai penahan lilitan perut ini.
Ini merupakan kemarahan, yang sebenarnya saya tujukan untuk
diri sendiri. Saya tak sedang ingin dikasihani atau mengutuki diri sendiri dan orang lain. Tidak. Karena
semua itu jelas percuma. Saya juga tidak berharap ada yang membaca tulisan ini.
Tapi tetap saja ada orang yang tersesat membuka, membaca, dan bahkan ikut merasakan derita gara-gara membaca
tulisan ini. silakan saja. Nikmati saja. Semoga kau tak mengutuki nasibmu.
0 komentar:
Posting Komentar