Mendengar hal tersebut, Hanafi, seorang peserta dialog, mengajukan keberatan. Menurut mahasiswa Perbandingan Madzhab dan Hukum UIN Jakarta ini, pernyataan Asvi Warman melecehkan Tan Malaka, sebagai pahlawan yang dicoret Orde Baru dari sejarah selama tiga dekade.
Atas keberatan ini Asvi menjelaskan, pertanyaan itu manusiawi. “Lepas dari masalah pemikiran dan gerakan politiknya, Tan Malaka adalah manusia biasa. Wajar jika kita memertanyakan hal demikian,” jelas Asvi.
Ia menambahkan, kadang pertanyaan sederhana macam itu diperlukan untuk mengungkap fakta dibaliknya. Misalnya peristiwa pidato Tan Malaka di Semarang. Ada yang mengatakan, pada kesempatan itu Tan Malaka berpidato dengan logat melayunya. Ada pula yang yakin mendengar logat melayu Tan Malaka sudah tak kentara. Hal terakhir karena kehidupan Tan Malaka yang sering hijrah ke berbagai tempat dan negara.
“Sekilas, ini sepele. Tapi perdebatan tentang ini akan memacu kita untuk menemukan kebenaran dari pidato tersebut. Kapan, di mana atau dalam peristiwa apa Tan Malaka berpidato, serta apa isinya,” papar Asvi.
Terkait masalah seksual Tan Malaka, lanjut Asvi, penelitian Harry A Pose menungkapkan Tan Malaka pernah menaksir dua gadis yakni, Syarifah Nawawi dan Paramita Abdurrahman. Tapi keduanya adalah cinta tak sampai. Dalam sebuah riwayat, Tan Malaka juga sempat mengatakan pernah jatuh cinta tiga kali. Masing-masing di Belanda, Filipina dan Indonesia. Tetapi cintanya terhadap Indonesia lebih besar. Sehingga masalah asmara dan seksualitasnya terkesampingkan. Kondisi ini sepertinya terjadi pula pada Mohammad Hatta, yang mengakhir masa lajangnya di usia 43 tahun.
Di samping Asvi, hadir sebagai pembicara Adnan Buyung Nasution. Dalam pemaparannya, Buyung mengungkapkan, Tan Malaka adalah orang yang bercita-cita, jika merdeka, Indonesia harus berbentuk republik. “Bentuk pemerintahan republik memungkinkan warga untuk mengembangkan diri. Bangsa kita adalah bangsa feodal. Hal ini membuat rakyat Indonesia bermental kawula, abdi. Karenanya yang pertama dilakukan Tan Malaka saat di Semarang adalah mendirikan Sekolah Rakyat.
Di kesempatan ini, Buyung juga menyinggung kasus Century yang kini tengah menjadi sorotan. “Saya adalah orang pertama yang bilang pada presiden, terbukalah! Sebab, semua yang dilakukan Menteri Keuangan, Gubernur BI adalah tanggung jawab Presiden. Setelah hasil rapat paripurna kemarin, Century akan menjadi bukti apakah penegakan hukum di Indonesia berjalan benar atau tidak. Mari kita saksikan,” kata Buyung berapi-api.[MS Wibowo]
0 komentar:
Posting Komentar