Bau segar tanah dan rerumputan
bercampur angin menghembus kesunyian.
Di sebuah jurang yang melembah,
seorang bocah jongkok memeluk lutut.
Air matanya membasahi dua siku.
Tangis yang melolong
mirip jerit kesakitan seekor kambing kurban
digorok batang lehernya
di hari besar.
Perlahan waktu menjadi teman.
Pagi dan siang sama saja.
Si bocah pun tak segera tua.
Rumput dan tanah tetap segar.
Kicau burung berpacaran
berpencar mencari makan membangun sarang
pamerkan telornya.
Si bocah makin pilu
karena waktu nyata berlalu.
Tiap coba ia mendaki
akar muda yang meretel getas pangkalnya.
Ingat aneh sampai dulu
serombongan tiba menyerta
berjanji senyum dan angsuran.
Tiba gelap semua tiada.
Tinggal bocah di jurang sunyi.
Sewaktu-waktu macan menerkam.
Bukan mati kelaparan yang menyiksa
bukan pula ketakutan
tapi rindu.
Kenapa harus bisa kubayangkan hiruk-pikuk keramaian dan tawa
dan aku sendiri di lembah tanpa siapa? tanya bocah menangis di lututnya.
Ah, cengeng! Cengeng kamu! Ini tak seberapa dibanding penipuan. Mereka yang memikat. Aku kan membalas.
Tapi di mana mereka? Bagaimana aku membalasnya?
Lututnya basah kembali
0 komentar:
Posting Komentar