Dia sangat berobsesi menjadi tuhan. Terus mempertanyakan. Berawal kegemarannya menatap bintang-bintang. Takjub pada luasnya jagad. Akalnya selalu gelisah. Kepercayaan warisan memaksa pada suatu kepastian untuk berhenti. Ia tak puas hati. Terus mencari. Terus berlari.
Tiba di sebuah gang. Pertiggaan. Angkuh seluas terminal. Ia mendapatkan banyak teman. Yang sepakat siap membunuh tuhan. Bersama mereka niat itu dilaksanakan. Tanpa menghiraukan segala akibat di hari depan. Untuk menjadi tuhan, ia harus membunuh tuhan.
Rencana yang telah matang, segera dijalankan. Parang-parang yang tajam. Bara obor siap membakar. Puluhan pamphlet penghujatan dan pemberontakan terpajang di tiap sudut dan pinggir jalan.
Tuhan yang duduk angkuh di arsy, tak siap menghadapi para pemberontaknya yang tiba-tiba. Tertusuklah ia dan terbakar. Bersamanya, redup pula semua cahaya. Satu pelita, yang menerangi kegelisahan karena ketidakpastian hidup manusia.
Dengan penuh galau dan keraguan, jasad tuhan dimakamkan. Di dekat trotoar. Tampak kucing hitam berkabung duka.
Segerombol pemuda tadi telah pulang ke terminal. Gelap tetaplah gelap. Tanpa tuhan mereka hidup. Tanpa cahaya sudah pasti redup. Kini langkah mereka tak panjang. Bolak-balik ke seberang jalan. Mengisi kebosanan. Tanpa tuhan, tanpa pengekang, semuanya sia-sia. Semuanya hampa. Dalam ketakpastian, mereka coba melangkah tanpa keraguan. Tapi hanya dia yang bertahan. Selebihnya bergelimpang. Memilih duduk karena pasti. Daripada berjalan tanpa henti. Menjadi tuhan ternyata tak gampang. Perlu perjuangan dan penuh penderitaan.
0 komentar:
Posting Komentar