Sebuah lagu adalah mantra. Mesin
waktu yang tiap saat siap menyedot sukma kesadaran pada nuansa yang pernah lalu.
Sejak dentam bass dan gesekan ritme gitar itu berbunyi, aku hilang dari
kekinian.
Masih di kamar yang sama, kepalaku
penuh dengan pikiran dan rasa ketika putus asa menjerat harapan.
“… When you give me love, when
you give me love, I have no fear ….”
Begitu diantara kalimat lagu yang didendangkan Katie Melua berjudul No
Fear of Heights. Tembang ini kukenal pertama kali sebagai salah satu soundtrack
film The Tourist.
When you give me love, I have no
fear merupakan kalimat yang langsung masuk pemahamanku. Menyentuh titik
sensitif jiwa. Mengarahkan langkah untuk terhubung internet, melakukan
pengunduhan.
Kenikmatan mendengarkan lagu
tersebut boleh dilukiskan bagai aku berada di pengapungan. Kesedihan dan nikmat
yang terkatung-katung diantara keputusasaan, kepasrahan, dan hasrat untuk menghadapi
apapun selama deras waktu kehidupan mengalir.
Semomen, karakter melankolisku
mendapat pembela. Penguat bahwa jalinan asmaraku dengan seorang perempuan di
seberang maya yang kian berkabut, semu, dan terkira buntu, akan tetap
berlangsung.
Sebelum ini, keyakinan kami berdua
mulai tanggal. Seiring makin menipisnya kenyamanan akibat kian layunya bahagia
bunga jumpa pertama. Dia lelah menanti. Aku bingung mencari. Pasti.
Membabat semak belukar, coba
mencari jalan lempang ke masa depan yang aman. Sayang, pandang mata kami
tidaklah panjang. Pelita di tangan hanya lilin kecil. Cukup saja menerangi diameter
tiga jangka. Terbuka satu sisi terang, berarti gelap di sisi lainnya. Dia lelah
menanti. Aku bingung mencari. Pasti.
Seandainya bukan lantaran takut
akan sakit tak tertahan, mati menjadi satu pilihan. Aku terlalu pengecut untuk
berjudi mengambil tindakan. Dia pun mulai bosan. Lampu mercusuar penarik
gerakku segera dipadamkan.
“Jangan dulu. Aku segera datang.
Gelap ini membuatku ngeri. Tapi itu bukan apa-apa. Karena ketika kau memberikan
cinta, aku tak takut lagi.”
Melalui jagat virtual, kusampaikan
lagu itu untuk dia dengarkan. Ia pun tersenyum kembali. Kobar mercusuar kembali
terang. Tapi apa daya. Bunga terlalu layu. Tak tersisa lagi harumnya.
Kelelahanmu telah kronis,
pencarianku makin kritis. Tak dapat lagi kutahan pemadaman abadi sorot
mercusuar yang merangsang gerakku.
Sudahlah, aku juga kepalang bingung
mengurai pekat untuk meniti arah ke dermaga kehidupan bersamamu.
Padam. Hitam. Senyap. Aku terapung
sendiri di tengah samudera, tanpa tahu sebenarnya dimana kau berada. Aku tetap
berlayar di samudera keputusasaan. Beragam percobaan untuk menenggelamkan diri
hingga mati, aku lakukan. Tapi sedikit kesadaran yang masih kupunya mengatakan,
aku tak mungkin tenggelam. Sebab telah berada di perut samudera. Karena
kesemuan, segalanya bisa tampak seperti daratan. Layak kampungnya Spongebob,
Bikini Bottom.
Meski tak bisa, aku tetap mencoba.
Berusaha mengakhiri diri. Hingga kuinsyafi, aku tak bisa mati. Hidup adalah
kenyataan yang mau tak mau harus dijalani.
Sampai kini, setelah melewati,
merasakan, serta menciptakan berbagai nuansa, rasa itu kembali manakala No Fear
of Hights diputar kembali. Nuansa hilangnya cinta. Nuansa putus asa. Nuansa
yang tak sanggup berbuat apa-apa. Aku benci itu. Namun dengan hanya
mendengarkan lagu ini, aku bisa menghadirkan dia lagi. Hadir yang untuk
melukai, lalu pergi. Luka yang nikmat. Menusuk hati, mengalirkan darah untuk
membasuh kesedihan. Melapas dahaga kerinduan.
Tak ada cinta yang sia-sia. Cinta
hanya berkata dengan bahasa yang tak dapat diterjemahkan ke seluruh tata kata
ciptaan manusia. Bahasa cinta adalah bahasa tanpa bahasa.
Gambar: wakpaper.com
Kamar Instalasi -
Legoso, 26 September 2013