Selasa, 24 September 2013

Sidang

Aku datang ke ruang yang dianggap pendopo itu lewat nganga mulut perempuan. Lidahnya menari-nari usai kusampaikan kerinduan terhadap seorang teman lama.
Mengendap-endap gaya maling. Sedikit tanya banyak mendengar. Aku menyelinap di balik daun bibir bawahnya. Meluncur pada liuk-liuk lidahnya yang licin.
Tibalah dalam shaf setengah lingkaran. Satu dua partisipan datang terlambat celingukan. Entah datang lewat mulut siapa. Mukanya penasaran.
Dalam shaf setengah lingkaran ini, ekspresi muka terbagi dua secara garis besarnya. Yang membenci dan yang simpati. Yang abu-abu dianggap masih kurang antipati.
Setengah lingkaran shaf tersebut menyudut sosok lelaki. Mimiknya datar. Tak ada ekspersi salah atau menyesal. Hanya pasrah.
Duabelas jam lalu, ia dipergoki mengintip perempuan mandi. Aksinya dilengkapi kegiatan merekam dengan ponsel.
Alhasil, yang diintip marah, lalu membawanya ke sidang besar dengan tuduhan berlapis. Melakukan perbuatan tidak menyenangkan, asusila, dan amoral.
Para teman baik terdakwa hanya geleng kepala, agak tak percaya. Sebagian mereka berharap agar forum memaafkannya, atas alasan yang bersangkutan telah banyak berjasa. Disamping itu, bakat miliknya luarbiasa. Tak hanya potensial, tapi juga telah aktual. Ia adalah mutiara yang kini tercebur di tengah kubangan lumpur. Tapi demikian, mutiara tetaplah mutiara.
Sebagian lainnya tak bisa selain pasrah. Menunggu hasil ketetapan sidang yang akan dijatuhkan.
Beda halnya mereka yang sejak lama memiliki rasa ketidaksukaan pada Terdakwa. Kebencian dengan macam-macam motif, latarbelakang, dan alasan. Mereka kukuh menuntut Terdakwa dihukum berat, dikeluarkan dari lingkungan kekerabatan untuk selama-lamanya.
Musyawarah tak menemu titik cerah. Voting diambil sebagai langkah akhir menyudahi segala kemelut di ruang yang dianggap pendopo itu.
Hasil voting, draw. Membuat ketegangan menjadi-jadi. Umpama dag-dig-dug jantung menyaksikan drama adu penalti dalam final Piala AFF U-19 2013.
Tetua sidang mengusulkan voting ulang. Berharap suara abstain berubah pikiran. Tentu saja pihak penuntut menolak. Argument-argumen diperkuat pakai kutipan pasal-pasal dari buku pedoman.
Terbentuklah kemelut debat yang makin kacau antar kedua pihak.
Menyadari parahnya situasi, Terdakwa mulai membuka mulutnya. Ia akan segera menentukan sikapnya.
Semua mata terpana. Hening muncul akibat lidah-lidah kram kaku terbujur.
Dari mulut pintu masuklah seorang, telat datang. Diberi penjelasan sebentar tentang tragedi yang ada. Diminta menentukan pilihan sekarang juga.
Sang Terdakwa resmi terusir dari kalangan. Ia terbuang dan melanglang. Kabarnya sekarang ada di seberang. Entah seberang yang mana.
Aku duduk di bangku paksa. Bangku yang bukan bangku. Menjadi bangku karena selalu digunakan sebagai tempat duduk.
Di situ aku mencoba membuka pintu lewat kail kata di kolam telinga. Melongok mulut lainnya. Berasa kembali ke waktu sidang itu dilaksanakan. Mencari beda gatra.       Tapi yang tampak hanya bayang titik kecil dikejauhan. Entah itu dimana. Dialah orang yang divonis itu.
Selamat jalan sobat. Aku tak berhak menentukan sikap. Tak guna juga sikapku bila berhak. Mungkin malah negatif efeknya. Kau dan kerabatamu punya hukum dan aturan sendiri. Tatanan, sistem, harmonisasi, body dan anti body.
Tak niat pula aku mengabadikanmu. Karena kau bukan Tuhan. Bukan lantaran aku liyan, tempayan atau kemenyan. Aku cuma ingin menulis. Menulis apa saja saat ngising di kamar boker. Ternyata kisah ini yang terbaca. Mungkin mirip kisahmu, tapi jelas tak sama. Bisa malah melenceng 180 derajat.
Ini hanya tulisan fiktif. Normal aku mengharap kau dan orang-orang yang membaca tidak berpikiran naïf.
Selesai di sini. Selesai begini.
Bersihkan segala kebrutalan pikiran. Aku tidak bertanggungjawab atas tindakan, tuntutan, juga pertanyaan yang tiba-tiba hidup dipikiranmu. Bangkit bagai zombi di otakmu yang malam. Tanpa bulan. Berubah hakim yang menyidangku.
Sekarang, aku yang dipikiranmu tunduk. Dia bukan aku. Dialah satu, untukmu, dari 1000 bayangan yang kusulap.
Sebagai Tuhan pencipta tulisan ini, aku telah mati di sini. Inilah jagat yang kubuat dan kuhancurkan sesukaku.
Di titik akhir paragraf ini, berakhirlah status ketuhananku terhadap alam cerita yang baru kau baca. Tak terkait lagi akuku dengan pikiran prasangka yang muncul di kemudian, di kepalanmu, kepalanku, dan kepalan mereka.

0 komentar:

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html