Mengendap-endap gaya maling. Sedikit tanya banyak mendengar.
Aku menyelinap di balik daun bibir bawahnya. Meluncur pada liuk-liuk lidahnya
yang licin.
Tibalah dalam shaf setengah lingkaran. Satu dua
partisipan datang terlambat celingukan. Entah datang lewat mulut siapa. Mukanya
penasaran.
Dalam shaf setengah lingkaran ini, ekspresi muka
terbagi dua secara garis besarnya. Yang membenci dan yang simpati. Yang abu-abu
dianggap masih kurang antipati.
Setengah lingkaran shaf tersebut menyudut sosok
lelaki. Mimiknya datar. Tak ada ekspersi salah atau menyesal. Hanya pasrah.
Duabelas jam lalu, ia dipergoki mengintip perempuan
mandi. Aksinya dilengkapi kegiatan merekam dengan ponsel.
Alhasil, yang diintip marah, lalu membawanya ke
sidang besar dengan tuduhan berlapis. Melakukan perbuatan tidak menyenangkan,
asusila, dan amoral.
Para teman baik
terdakwa hanya geleng kepala, agak tak percaya. Sebagian mereka berharap agar
forum memaafkannya, atas alasan yang bersangkutan telah banyak berjasa.
Disamping itu, bakat miliknya luarbiasa. Tak hanya potensial, tapi juga telah
aktual. Ia adalah mutiara yang kini tercebur di tengah kubangan lumpur.
Tapi demikian, mutiara tetaplah mutiara.
Sebagian lainnya tak bisa selain pasrah. Menunggu
hasil ketetapan sidang yang akan dijatuhkan.
Beda halnya mereka yang sejak lama memiliki rasa
ketidaksukaan pada Terdakwa. Kebencian dengan macam-macam motif, latarbelakang,
dan alasan. Mereka kukuh menuntut Terdakwa dihukum berat, dikeluarkan dari
lingkungan kekerabatan untuk selama-lamanya.
Musyawarah tak menemu titik cerah. Voting diambil
sebagai langkah akhir menyudahi segala kemelut di ruang yang dianggap pendopo
itu.
Hasil voting, draw. Membuat ketegangan
menjadi-jadi. Umpama dag-dig-dug jantung menyaksikan drama adu penalti dalam
final Piala AFF U-19 2013.
Tetua sidang mengusulkan voting ulang. Berharap
suara abstain berubah pikiran. Tentu saja pihak penuntut menolak.
Argument-argumen diperkuat pakai kutipan pasal-pasal dari buku pedoman.
Terbentuklah kemelut debat yang makin kacau antar
kedua pihak.
Menyadari parahnya situasi, Terdakwa mulai membuka
mulutnya. Ia akan segera menentukan sikapnya.
Semua mata terpana. Hening muncul akibat
lidah-lidah kram kaku terbujur.
Dari mulut pintu masuklah seorang, telat datang. Diberi penjelasan sebentar
tentang tragedi yang ada. Diminta menentukan pilihan sekarang juga.
Sang Terdakwa resmi terusir dari kalangan. Ia
terbuang dan melanglang. Kabarnya sekarang ada di seberang. Entah seberang yang
mana.
Aku duduk di bangku paksa. Bangku yang bukan
bangku. Menjadi bangku karena selalu digunakan sebagai tempat duduk.
Di situ aku mencoba membuka pintu lewat kail kata
di kolam telinga. Melongok mulut lainnya. Berasa kembali ke waktu sidang itu
dilaksanakan. Mencari beda gatra. Tapi yang
tampak hanya bayang titik kecil dikejauhan. Entah itu dimana. Dialah orang yang
divonis itu.
Selamat jalan sobat. Aku tak berhak menentukan
sikap. Tak guna juga sikapku bila berhak. Mungkin malah negatif efeknya. Kau
dan kerabatamu punya hukum dan aturan sendiri. Tatanan, sistem, harmonisasi,
body dan anti body.
Tak niat pula aku mengabadikanmu. Karena kau bukan
Tuhan. Bukan lantaran aku liyan, tempayan atau kemenyan. Aku cuma ingin
menulis. Menulis apa saja saat ngising
di kamar boker. Ternyata kisah ini
yang terbaca. Mungkin mirip kisahmu, tapi jelas tak sama. Bisa malah melenceng
180 derajat.
Ini hanya tulisan fiktif. Normal aku mengharap kau
dan orang-orang yang membaca tidak berpikiran naïf.
Selesai di sini. Selesai begini.
Bersihkan segala kebrutalan pikiran. Aku tidak
bertanggungjawab atas tindakan, tuntutan, juga pertanyaan yang tiba-tiba hidup
dipikiranmu. Bangkit bagai zombi di otakmu yang malam. Tanpa bulan. Berubah
hakim yang menyidangku.
Sekarang, aku yang dipikiranmu tunduk. Dia bukan
aku. Dialah satu, untukmu, dari 1000 bayangan yang kusulap.
Sebagai Tuhan pencipta tulisan ini, aku telah mati
di sini. Inilah jagat yang kubuat dan kuhancurkan sesukaku.
Di titik akhir paragraf ini, berakhirlah status
ketuhananku terhadap alam cerita yang baru kau baca. Tak terkait lagi akuku
dengan pikiran prasangka yang muncul di kemudian, di kepalanmu, kepalanku, dan
kepalan mereka.
0 komentar:
Posting Komentar