Kamis, 05 September 2013

Membunuh Tiga Perempuan?




Waktu itu sih, gue lagi rebahan. Semalam cuma dapet tidur sejam. Eh, cuaca panas banget. Mana kamar nggak ada kipas angin, apalagi AC. Tapi tetep, gue maksain untuk mejemin mata.
Selang beberapa menit, karena nggak tahan gerah, gue nyerah. Padahal sudah lepas baju pakai kaos doang sama celana boxer tanpa celana dalam.
Akhirnya gue buka mata. Tangan gue sudah menggenggam sebilah pedang! Pedang panjang sekali. Seperti yang dipakai oleh Tipu Sultan. Gagangnya dari perak.
Gue heran.
Lalu pedang itu gue angkat, sembari bangun untuk duduk. Winamp di komputer masih nyala tapi monitor padam. Lagu yang terputar judulnya Anjeun milik Karimata. Tak tahu kenapa, entah sejak kapan lampu kamar gue mati. Gelap sekali. Padahal seingiat gue, sebelum rebahan tadi nggak matiin lampu.
Tangan kiri gue coba meraba-raba mouse. Saat monitor nyala, gue tambah kaget, ada tiga cewek tergelimpangan di samping gue. Dua berambut panjang, satu bondol. Di dada mereka membekas luka masih baru. Darahnya mengalir.
Mata gue langsung tertuju ke pedang di tangan. Ada darahnya juga. Menetes-netes membasahi tangan kanan. Gue bingung, langsung pingsan.
Nggak terasa lama, gue bangun lagi dengan pedang masih di tangan. Bersih mengkilap. Tiga cewek tadi sudah bangun juga. Seger malah, tanpa luka. Yang bondol sok cool menatap gue sekilas. Ditentengnya sebuah laptop. Dengan acuh dia duduk bersila. Pahanya tampak putih mulus, karena hanya mengenakan celana pendek.
Pelan-pelan ia membuka laptop. Cemarinya lentik menulis sesuatu. Saat gue mendekat dan membaca, ternyata ia menulis tentang berbagai kebencian tentang gue. Katanya, gue orang nggak tahu diri, nggak dewasa, gila, konyol, tolol, dan segala sesuatu yang membuatnya ill feel.

“Eh, elo nggak usah ke-GR-an. Gue memang pernah suka sama elo. Tapi mesti elo tahu, suka gue itu tanpa alasan. Nggak logis. Dan gue nggak pernah kan langsung ke elo bahwa gue suka, gue cinta? Kecuali saat gue nggak sadar. Dan elo percaya itu? Percaya pada ketidaksadaran? Gue cerita ke temen-temen bahwa elo cakep, elo cantik. Ya sekadar itu. Padahal gue nggak merasa begitu. Elo tahu gue suka bohong. Tapi kenapa elo percaya bahwa yang gue omongin ke temen-temen itu adalah benar?!” bentak gue padanya.

Dia nyinyir. Nyengir. Mukanya nggak enak. Terkesan makin memandang gue hina. Ia menulis di halaman word di laptopnya. “Terus mau elo apa? Ngancurin hidup gue?”

“Gue juga nggak tahu! Gue melakukan semua ini mengalir. Mengikuti arah angin. Gua adalah perahu layar bajak laut. Yang selalu terpesona oleh keindahan kemilau harta karun. Sepertimu.”

“Elo, kira gue harta buat elo? Elo kira gue santapan, hidangan, persembahan buat elo?”

“Bukan. Gue anggep elo sebagai ciptaan Tuhan yang maha indah. Dan gue mengagumi elo.”

“Pergi elo dari hidup gue. Jangan ganggu gue lagi. Apes buat gue ketemu elo. Gue kira dulu elo keren. Bisa jadi panutan. Ternyata cuma nambah kepenatan di otak gue!”

“Gue mengagumi elo.”

“Gue nggak butuh dikagumi. Gue nggak butuh kagum!”

“Gue cinta…”

“Setop. Gue nggak butuh cinta elo. Gue emang pernah terpesona sama elo. Tapi sekadarnya. Dan sekarang gue jijik sama elo!”

Gua nggak kuat menahan kesedihan akibat kata-kata itu. Gue benci kejijikan seseorang. Maka gue tusukkan pedang di tangan ke dadanya. Biar dia mati selamanya. Enyah dari otak gue.

Musik di playlist winamp memutar gesekan kesedihan karya Bach. Menyayat-nyayat. Mata gue beralih ke satu cewek berambut panjang. Berulang-ulang coba gue palingkan, tapi tetep balik lagi.

“Elo dulu juga pernah kagum sama gue. Lalu meludahi gue. Bermain di belakang gue.”
Langsung gue tusuk juga jantungnya dengan pedang tajam itu.

Masih ada satu cewek lagi. Ingat. Ya masih ada satu lagi. Gue tahu dia juga pernah kagum sama gue.
Dia menggeser langkah perlahan ingin pergi. Antara takut juga jengah akibat hilangnya rasa kagum terhadap gue.
Apa yang mereka kagumi pada diriku? Gue juga nggak tahu pasti. Maka, ketika mereka tak lagi kagum, gue nggak terima. Mereka telah merenggut milik gue, yakni rasa dikagumi.
Cewek rambut panjang yang sisa satu ini mau menghindar. Pergi. Ia takut dan mungkin mulai muak.
Gue ingin mengalihkan mata dari memandangnya. Tapi tak bisa. Gue selalu ingin melihatnya. Dan gue benci dia ketakutan. Gue benci dia perlahan pergi. Rencana gue bulat ingin membunuhnya. Gue angkat pedang. Dia merunduk tak sanggup menghindar. Lalu gue tancapkan dengan sisa kekuatan, kekesalan, kedukaan, kesepian, kesendirian, keterbuangan, rasa ketakmampuan, dan dimarjinalkan oleh semua orang. Gue hunuskan pedang itu.
Sebelum semua ini berakhir, ingin gue jelaskan bahwa gue nggak tega membunuh cewek rambut panjang yang ketakutan pada gue itu. Sekarang dia entah lari kemana. Biarlah, walau gue sedih. Karena kalau pun dia menangis, bukan menangisi gue, tapi lantaran takut akut melihat pedang yang masih tertancap di dada kiri gue.
Winamp kembali memutar sayatan biola Bach. Lampu kamar pecah dengan sendiri. Mati. Di lantai tergeletak tiga sosok dengan luka di dada, jasad gue, satu cewek rambut bondol, dan satu lagi cewek berambut panjang.
Panas suhu udara tak lagi membuat gerah. Tak juga membangunkan gue dari tidur yang panjang.

Kamar Instalasi 3 September 2013  

Gambar: Titanic (1997) - id.wikipedia.org

0 komentar:

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html