Waktu itu sih, gue lagi rebahan. Semalam cuma
dapet tidur sejam. Eh, cuaca panas banget. Mana kamar nggak ada kipas angin, apalagi
AC. Tapi tetep, gue maksain untuk mejemin mata.
Selang beberapa menit, karena nggak tahan gerah,
gue nyerah. Padahal sudah lepas baju pakai kaos doang sama celana boxer
tanpa celana dalam.
Akhirnya gue buka mata. Tangan gue sudah
menggenggam sebilah pedang! Pedang panjang sekali. Seperti yang dipakai oleh
Tipu Sultan. Gagangnya dari perak.
Gue heran.
Lalu pedang itu gue angkat, sembari bangun untuk
duduk. Winamp di komputer masih nyala tapi monitor padam.
Lagu yang terputar judulnya Anjeun milik Karimata. Tak tahu kenapa, entah sejak
kapan lampu kamar gue mati. Gelap sekali. Padahal seingiat gue, sebelum rebahan
tadi nggak matiin lampu.
Tangan kiri gue coba meraba-raba mouse.
Saat monitor nyala, gue tambah kaget, ada tiga cewek tergelimpangan di samping
gue. Dua berambut panjang, satu bondol. Di dada mereka membekas luka masih baru.
Darahnya mengalir.
Mata gue langsung tertuju ke pedang di tangan. Ada
darahnya juga. Menetes-netes membasahi tangan kanan. Gue bingung, langsung
pingsan.
Nggak terasa lama, gue bangun lagi dengan pedang
masih di tangan. Bersih mengkilap. Tiga cewek tadi sudah bangun juga. Seger
malah, tanpa luka. Yang bondol sok cool menatap gue sekilas. Ditentengnya sebuah
laptop. Dengan acuh dia duduk bersila. Pahanya tampak putih mulus, karena hanya
mengenakan celana pendek.
Pelan-pelan ia membuka laptop. Cemarinya lentik
menulis sesuatu. Saat gue mendekat dan membaca, ternyata ia menulis tentang
berbagai kebencian tentang gue. Katanya, gue orang nggak tahu diri, nggak
dewasa, gila, konyol, tolol, dan segala sesuatu yang membuatnya ill feel.
“Eh, elo nggak usah ke-GR-an. Gue memang pernah suka
sama elo. Tapi mesti elo tahu, suka gue itu tanpa alasan. Nggak logis. Dan gue
nggak pernah kan langsung ke elo bahwa gue suka, gue cinta? Kecuali saat gue
nggak sadar. Dan elo percaya itu? Percaya pada ketidaksadaran? Gue cerita ke
temen-temen bahwa elo cakep, elo cantik. Ya sekadar itu. Padahal gue nggak
merasa begitu. Elo tahu gue suka bohong. Tapi kenapa elo percaya bahwa yang gue
omongin ke temen-temen itu adalah benar?!” bentak gue padanya.
Dia nyinyir. Nyengir. Mukanya nggak enak. Terkesan
makin memandang gue hina. Ia menulis di halaman word di laptopnya. “Terus mau elo
apa? Ngancurin hidup gue?”
“Gue juga nggak tahu! Gue melakukan semua ini
mengalir. Mengikuti arah angin. Gua adalah perahu layar bajak laut. Yang selalu
terpesona oleh keindahan kemilau harta karun. Sepertimu.”
“Elo, kira gue harta buat elo? Elo kira gue
santapan, hidangan, persembahan buat elo?”
“Bukan. Gue anggep elo sebagai ciptaan Tuhan yang
maha indah. Dan gue mengagumi elo.”
“Pergi elo dari hidup gue. Jangan ganggu gue lagi.
Apes buat gue ketemu elo. Gue kira dulu elo keren. Bisa jadi panutan. Ternyata cuma
nambah kepenatan di otak gue!”
“Gue mengagumi elo.”
“Gue nggak butuh dikagumi. Gue nggak butuh kagum!”
“Gue cinta…”
“Setop. Gue nggak butuh cinta elo. Gue emang
pernah terpesona sama elo. Tapi sekadarnya. Dan sekarang gue jijik sama elo!”
Gua nggak kuat menahan kesedihan akibat kata-kata
itu. Gue benci kejijikan seseorang. Maka gue tusukkan pedang di tangan ke dadanya.
Biar dia mati selamanya. Enyah dari otak gue.
Musik di playlist winamp memutar gesekan kesedihan karya Bach. Menyayat-nyayat. Mata gue beralih ke satu cewek berambut panjang. Berulang-ulang coba gue palingkan, tapi tetep balik lagi.
Musik di playlist winamp memutar gesekan kesedihan karya Bach. Menyayat-nyayat. Mata gue beralih ke satu cewek berambut panjang. Berulang-ulang coba gue palingkan, tapi tetep balik lagi.
“Elo dulu juga pernah kagum sama gue. Lalu meludahi
gue. Bermain di belakang gue.”
Langsung gue tusuk juga jantungnya dengan pedang
tajam itu.
Masih ada satu cewek lagi. Ingat. Ya masih ada
satu lagi. Gue tahu dia juga pernah kagum sama gue.
Dia menggeser langkah perlahan ingin pergi. Antara
takut juga jengah akibat hilangnya rasa kagum terhadap gue.
Apa yang mereka kagumi pada diriku? Gue juga nggak
tahu pasti. Maka, ketika mereka tak lagi kagum, gue nggak terima. Mereka telah
merenggut milik gue, yakni rasa dikagumi.
Cewek rambut panjang yang sisa satu ini mau
menghindar. Pergi. Ia takut dan mungkin mulai muak.
Gue ingin mengalihkan mata dari memandangnya. Tapi
tak bisa. Gue selalu ingin melihatnya. Dan gue benci dia ketakutan. Gue benci
dia perlahan pergi. Rencana gue bulat ingin membunuhnya. Gue angkat pedang. Dia merunduk
tak sanggup menghindar. Lalu gue tancapkan dengan sisa kekuatan, kekesalan,
kedukaan, kesepian, kesendirian, keterbuangan, rasa ketakmampuan, dan
dimarjinalkan oleh semua orang. Gue hunuskan pedang itu.
Sebelum semua ini berakhir, ingin gue jelaskan
bahwa gue nggak tega membunuh cewek rambut panjang yang ketakutan pada gue itu.
Sekarang dia entah lari kemana. Biarlah, walau gue sedih. Karena kalau pun dia
menangis, bukan menangisi gue, tapi lantaran takut akut melihat pedang yang masih tertancap di dada kiri gue.
Winamp kembali memutar sayatan biola Bach. Lampu kamar
pecah dengan sendiri. Mati. Di lantai tergeletak tiga sosok dengan luka di
dada, jasad gue, satu cewek rambut bondol, dan satu lagi cewek berambut
panjang.
Panas suhu udara tak lagi membuat gerah. Tak juga
membangunkan gue dari tidur yang panjang.
Kamar Instalasi 3 September 2013
Gambar: Titanic (1997) - id.wikipedia.org
0 komentar:
Posting Komentar