“Sejauh-jauh perjalanan hanya untuk kembali.”
Entah sejak kapan kalimat itu sering terngiang di kepala. Namun
aku terus mengayunkan kaki. Melangkah menuju entah. Menyusuri jalan yang kapan
aku tak tahu akan berujung.
Hawa siang kian hari kian terasa panas. Debu-debu menyesak
hidung, melekat menutup lobang-lobang pori. Burung, cicak, tokek, dan
binatang-binatang hinggap di satu dua pohon yang kulewati. Mereka makin asing. Orang-orang
yang kujumpai di jalan ini juga tambah ke sini tambah tak kukenal. Semua seakan
menatapku penuh tanya, curiga. Mungkin mengira aku adalah agen intelijen dari
suatu masa yang dikirim untuk melakukan tindakan mata-mata terhadap zaman
mereka.
Aku lupa menghitung malam. Berapa sudah yang kulalui hingga
sudah pagi lagi. Dan di sore senja. Saat remang-remang cahaya surya mulai
memoles awan, aku memutuskan untuk berhenti di sebuah simpang jalan. Seorang penjual
arah tengah bersiap pulang. Barang-barang dagangannya telah dikemas.
“Permisi.”
“Iya. Maaf, saya sudah tutup. Besok pagi saat mentari
setinggi galah, kembalilah,” ujarnya.
“Tapi Bapak, saya seorang pejalan. Apa jadinya kalau saya
berhenti di sini hanya menunggu Bapak sampai besok pagi?”
“Tidak jadi apa. Sekarang sangat susah menemukan penjual
arah yang benar dan ikhlas. Terserah kalau Nak ingin tetap berjalan. Saya tidak
bisa melarang.”
“Tapi bagaimana saya tahu tentang penjual yang ikhlas atau
tidak, Pak?”
“Ya, memang susah. Tapi saya tetap tidak bisa melayanimu
sekarang. Saya harus pulang. Anak istriku menunggu untuk buka puasa bersama.”
“Baik Pak. Kalau begitu selamat berbuka bersama keluarga.”
“Iya, Nak. Hati-hati di jalan. Saya pulang duluan.”
Bapak tua dengan pakaian kusam itu bergegas menghilang
ditelan kejauhan. Aku masih terpaku di simpang jalan. Malam bertambah gelap.
***
Mentari sudah setinggi galah. Aktivitas bapak tua penjual
arah membuka barang dagangannya membangunkanku dari lelap.
“Tidak jadi jalan Nak tadi malam?” tanyanya.
“Tidak Pak.”
“Baik, apa yang bisa saya bantu?”
“Ini Pak, saya mau tanya, tapi saya tidak punya uang untuk
beli peta.”
“Iya, tidak apa.”
“Saya mau tanya, di mana posisi saya sekarang dan seberapa
jauh dari tujuan asal?”
Bapak tua penjual arah itu membuka segulung lembaran. Dengan
telunjuk yang ujung kukunya kehitaman ia menunjuk satu titik koordinat dari
sebuah peta.
“Di sini,” ucapnya.
“Tapi Bapak, itu adalah titik yang sudah saya capai dan saya
tinggalkan dalam perjalanan selama 15 tahun silam?” heranku.
“Apakah Nak pernah menghitung berapa malam yang telah Nak
tempuh?”
“Tidak. Tapi sudah sekian malam dan siang saya berjalan?”
Bapak tua itu tersenyum teduh, membuatku kebingungan.
“Nak tidak pernah kemana-mana. Nak di sini saja. Di depan
tempat Bapak berjualan,” katanya kembali tersenyum.
Kepalaku kemudian seperti diputar-putar. Tersibak apa saja
yang kulakukan selama bertahun-tahun di simpang jalan ini. Aku hanya duduk,
berdiri, berjalan di tempat memutari garis lingkaran di tanah yang kubuat
dengan sebatang tongkat dari potongan ranting guna menegaskan batas wilayah
kekuasaanku. Lalu duduk, berbaring, dan tidur. Begitu seterusnya.
“Nak tidak pernah berjalan. Nak hanya berputar-putar dan berdiam.
Yang berjalan adalah yang ada di sekitar Nak. Mereka itu,” Bapak tua menunjuk
orang-orang yang berjalan datang dan hilang pergi entah kemana.
Aku tak mau dikuasai kebingungan yang terus menjadi. “Lalu,
seberapa jauh saat ini saya dari tujuan?”
“Sangat dekat, tapi juga sangat jauh,” si Bapak lagi-lagi
hanya senyum-senyum aneh.
“Maksudnya?” tanyaku.
“Sejauh-jauh perjalanan hanya untuk kembali,” ujar bapak itu
mengejutkanku. Kali ini ia tidak senyum.
“Berarti saya harus balik arah?”
“Tidak.”
Aku lebih tak paham.
“Nak tidak perlu meneruskan langkah ke depan atau balik
kanan.”
“Lalu?”
“Nak hanya perlu melangkah ke ...,”
“Manapun saya mau,” terusku melanjutkan perjalanan di dalam
lingkaran garis lingkaran di tanah yang kubuat dengan sebatang tongkat dari
potongan ranting.
Legoso, 21 Juni 2016, 03.31 WIB