Hari masih terang. Mentari yang condong ke barat menurunkan
derajat panasnya. Aku memandangi kegiatan bapak tua penjual arah melayani
pembeli atau pengunjungnya. Mereka berasal dari suatu tempat yang entah dan
hendak bergegas menuju entah. Di tempat ini mereka butuh arah. Karena salah
satu langkah bisa berarti seribu tahun di belahan dunia lainya.
Bapak tua penjual arah itu amat bersemangat ketika ada
pembeli. Tak sekalipun matanya mengarahku ketika asyik melayani. Ia hanya
menyambangi tempatku, yang hanya berjarak lima langkah dari lapaknya, ketika
sedang sela atau sepi sekadar untuk menikmati secangkir kopi.
Ia tak pernah menanyakan personalku, keberadaanku, tujuanku,
asalku dan sebagainya. Kita hanya
mengobrolkan seputar orang-orang yang lewat di depan mata. Mereka tingkahnya
aneh-aneh. Juga penampilannya. Juga jalannya. Ada yang sendiri, ada yang berdua,
ada juga yang bergerombol. Ada yang saling bercanda tertawa terbahak-bahak, ada
yang saling caci, berdebat, bahkan berkelahi. Ada yang mesra, ada yang mesum,
ada yang datar-datar saja. Tentu ada yang kelelahan seperti kehilangan harapan.
Tak jarang di antara mereka mampir memohon atau menawari
minum. Lalu saling berbincang tetang apa saja. Tentang rindu dan air mata atau tentang
diri kita masing-masing. Pastinya aku berpikir dan berperasaan bahwa mereka
kian hari kian asing. Bukan karena mereka belum pernah kujumpai, tapi tiap
orang yang kemudian menetap di simpang jalan ini selama beberapa hari, tambah
waktu pun tambah tak kukanal. Jiwa dan tubuh mereka seperti disepuh angin. Berubah
per detiknya. Dari yang mulanya tampak akrab dekat dan seakan kerabat karena
teman senasib seperjalananan, berubah menjadi orang yang sama sekali lain tak
kutahu.
Aku tak tahu bahwa apa dan siapa aku di benak mereka. Tapi aku
masih ingat pertama kali kami jumpa, menikmati kopi dan menghisap satu batang
rokok untuk ramai-ramai, pernah ada juga yang berdua.
Sudahlah. Bisa jadi bukan mereka yang berubah, tapi aku. Hanya
saja aku tak tahu berubah bagian mananya hingga mereka tak mengenalku lagi.
Tapi bukan saja mereka, bapak tua penjual arah juga begitu. Ia
menjadi sangat cuek sudah lama ini terhadapku. Seolah kita tak pernah saling
seduh kopi. Baiklah kalau begitu.
Maka, di suatu senja, ketika Bapak Tua hendak menggulung
lapaknya, aku mengendap-endap di antara pejalan yang lewat, lalu menyelinap,
menggerakkan kilat tangan kiriku mengambil selembar peta. Sukses.
***
Malam kian hitam. Aku pandang perhatikan pelajari penuh
teliti dan seksama kode-kode peta curian itu dengan penerang lilin hadiah seorang
pejalan yang sekarang ada di entah.
Setelah pusat gelap berada di atas kepala, kuputarkan cahaya
lilin menerangi batas lingkaran di tanah yang aku buat dengan ranting untuk
membatasi wilayah kekuasaanku. Aku hapus dengan telanjang telapak kaki. Aneh,
setiap kali kugesek, gurat lingkaran di tanah itu muncul lagi. Kuhapus lagi,
muncul lagi.
Akhirnya aku bosan dan begitu saja melangkahi lingkaran. Aku
tinggalkan dengan perasaan hilang. Sedih sekaligus lega meninggalkan kalangan
yang aku diami selama sejak bertahun-tahun silam. Aku berjalan mengikuti jejak
peta. Hingga lelah dan tiba di suatu tempat yang sama sekali baru ketika
matahari telah setinggi galah.
Sebelum benar-benar lunglai tak sadar, kupastikan aku telah
keluar dari garis lingkaran di tanah yang kubuat dengan ranting untuk membatasi
wilayah kedaulatanku. Kupandangi sekitar semuanya memang betul sudah baru. Tidak
ada lagi pepohonan yang dihuni oleh cicak, tokek, dan burung-burung liar. Hanya
gedung-gedung tinggi menjulang tanpa jiwa. Beratus atau beribu tahun lagi
mereka pasti juga akan tiada.
“Baiklah. Aku sudah jauh dari tempat semula,” benakku
sebelum terlelap kelelahan di pinggir jalan.
“Peta, peta, arah, arah...! Peta, peta, arah, arah...!!!”
pekik suara mengejutkanku. Matahari hampir terbenam. Sekerumunan orang dengan
pakaian jaket, sweater, flanel warna-warni berkumpul mengerubuti suara itu.
“Sial. Bapak penjual arah?! Aku belum beranjak dari tempat
semula! Ngepet!”
Tiba-tiba gaduh serine membuyarkan kerumunan. Mereka tunggang
langgang, namun begitu 100 meter kemudian berjalan melangkah biasa saja. Seolah
tak pernah berniat membeli peta. Tiga orang petugas berlari beringas
menghampiriku. Tapi bukan untuk menangkapku. Ia mengincar bocah kecil yang
mendekap bergulung-gulung peta di dadanya dan bersembunyi di belakangku.
“Kamu orang asing?” tanya salah satu petugas itu. Anak
penjual peta menggigil ketakutan di kakiku.
“Iya pak. Saya baru datang di kota ini semalam.”
“Kamu kenal anak itu?”
“Iya pak. Dia penjual ...,” belum selesai kalimatku, anak
tersebut mencengkeram betisku.
“Kopi,” lanjut mulutku tanpa kusadari sebelumnya.
“Lalu apa itu ditangannya?”
“Teremos isi air panas untuk menyeduh kopi, pak.”
Tiga petugas itu tanpa memeriksa lalu bergegas menuju mobil
patroli. Membunyikan sirene memekakkan telinga. Lalu hilang.
“Mana si bapak tua penjual arah?” tanyaku. Bocah itu
mengernyitkan dahi tanda tak tahu apa yang kutanyakan.
“Baiklah. Kamu penjual peta yang jujur?” tanyaku pada bocah
kecil yang masih menggigil ketakutan.
0 komentar:
Posting Komentar