“Sok filosofis!” ucapmu membuatku tercengang.
Kukira kau akan suka saat kuputar tembang-tembang dengan lirik
mendalam penuh perenungan kehidupan dan sangat reflektif, disertai aransemen
musik yang tak bisa dimainkan oleh sembarang orang dengan penguasaan
kunci-kunci dasar.
Hening ruangan. Kau diam. Aku beku.
“Hm, mau dengar Sia? John Legend? Meghan Trainor?” tawarku mencairkan keadaan.
Hening lagi jadi jeda antara kita.
“Apa aja, jangan lagu yang tadi.”
Aku mencari folder-folder lagu-lagu Barat rock dan metal.
“Yang kekinian aja,” ujarmu memotong cemariku yang menggerakan tetikus komputer jinjing.
“Cari di Youtube aja berarti.”
“Nah, iya.”
“Lu jadi anak youtube sekarang?”
Kau hanya menatapku tanda iya tanpa menggeser posisi dan sudut wajah. Maka kupilihkan lagu-lagu yang katanya disebut sebagai electronic dance music (EDM). Tentu yang kekinian.
Tanganmu lalu menggapai gitar yang bersandar di sudut ruangan. Lalu kau pasang pendengaran baik-baik sambil memiringkan kepala. Cemarimu meraba kunci nada yang terpancar dari pengeras suara.
Aneh bagiku orang sepertimu menyukai musik anak-anak ABG jaman sekarang. Aku heran. Kita seumuran. Seharusnya memiliki selera musik yang sama. Kita tumbuh dari zaman dan tren musik yang berbeda dengan anak-anak tanggung masa kini. Lagu-lagu yang kita nyanyikan dan dengarkan mestinya adalah lagu-lagu cerdas, yang bukan sekadar mengaduk-aduk emosi, mengumbar dan membangkitkan kesenangan.
Lagu-lagu kita adalah lagu yang peduli sosial, politik, kemasyarakatan, kehidupan dan kebenaran. Setidaknya membuat sisi kemanusiaan masyarakat bangkit atau memicu untuk berkembang. Di mana kepekaan dan kepedulian nuranimu? Ingatkah bahwa gitar diharamkan bukan karena gitarnya itu sendiri. Bukan lantaran ia adalah alat musik. Karena jika sekadar alat musik, kotak bungkus hp juga bisa jadi. Apakah kotak itu juga harus masuk neraka? Tidak. Musik diharamkan karena dapat menghilangkan akal sehat kita. Bisa membuat kita lupa diri dan terjerembab dalam perihal dunia semata. Tahukah apa jadinya jika demikian? Seperti para koruptor. Mereka tak peduli tentang uang yang mereka dapatkan dengan cara apa, asal kenyang, bisa membuat keluarga senang, tak peduli lain-lain hal.
Atau kalau pun harus tentang percintaan dan romantisme ya jangan lagu-lagu jaman sekarang lah, jaman kita dulu kan banyak band dan musisi handal dengan permainan musik yang mumpuni. Kenapa harus musik anak-anak yang masih alay?
“Penghianat!” kataku. Bercanda tapi serius dari hati, dan kita tertawa bersama. Karena kau senang, akupun ikut senang. Aku tak suka menangis di kala teman tertawa.
***
Seminggu kemudian kau singgah lagi ke rumahku. Aku tengah memutar lagu-lagu blues. Dari raut mukamu, kau tampak tersiksa. Aku tak mau semena-mena membuatmu pergi atau tetap tinggal dengan kuping menderita. Maka kupersembahkan 100 hits lagu-lagu kekinian.
“Kenapa lu suka lagu beginian sekarang?” tanyaku serius.
“Nggak apa-apa,” jawabmu. Aku diam tak puas. Mukamu menyiratkan rasa bersalah padaku.
Aku masih ingat, jaman kuliah dulu, kau adalah orang yang
paling pedas mengkritik jika ada teman menyukai atau memutar musik-musik
kekinian yang gampang dimainkan oleh siapa saja. Atau musik-musik dance,
trance, house, DJ dan sejenisnya karena bagimu memabukan.
“Gua males dengerin musik yang mikir. Gua pengen menikmati musik. Gua nggak mau dengerin musik tapi masih mikir. Capai. Gua sekarang pengen enjoy,” katamu.
“Oh, lu sudah berubah. Oke, lanjut...,” pikirku. “Tapi kalau melihat lu dengerin dan nyanyiin lagu-lagu kayak gini, gua kebayang Syifa adiknya temen gua yang masih kelas 3 SMP, yang juga anak youtube, yang kerjaannya terus memantau perkembangan musik di Youtube, lalu jingkrak-jingkrak joged di kamar. Ya ampun, lu joged jingkrak-jingkrak sama anak kelas 3 SMP” ucapku tertawa geli.
“Iya,” ujarmu mesem sok cool.
“Mungkin dulu lu terlalu keras kepada diri sendiri,” ujarku selintas tanpa ke mukamu yang sudah kubebaskan kubiarkan.
Kamu hanya mesem.
“Penghianat!” ujarku pada setiap teman yang berubah pikiran, tindakan, pandangan, atau yang dulu pernah sama-sama menolak atau memperjuangkan sesuatu namun kini berbalik arah, termasuk musik. Meski
aku sadar bahwa tak ada yang tak berubah kecuali perubahan itu sendiri. Jadi, semuanya penghianat, kecuali perubahan.
0 komentar:
Posting Komentar