Tak sebatas itu, ketika itu juga Nova langsung merampas semua rokok yang Adi beli.
"Mana rokoknya?" tanya Nova.
"Mang kenapa sih? Aku kan sudah bilang, aku memang perokok? Ini tak bisa diganggu gugat," balas Adi.
Tanpa berkata lagi, tangan Nova langsung merogoh lima batang rokok Adi dalam bungkus yang terselip di kantong baju. Nova melangkah pergi meninggalkan Adi sendiri. Adi tak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya menerka-nerka eksekusi macam apa yang akan dilakukan Nova terhadap rokok-rokoknya. Tapi tak diduga, Nova ternyata menghampiri kios tempat Adi membeli rokok tadi. Adi segera menghampiri Nova. Namun ia terlambat. Yang membuat Adi kaget setengah mati sebab tak pernah terbayang diotaknya adalah ternyata Nova mengembalikan semua rokoknya kepada penjaga kios.
Sesaat, sampailah berdua mereka tiba di ruang kesunyian. Jalan yang bising dengan suara kendaraan menjadi sepi. Deru debu dan raungan motor lenyap sudah. Dunia seperti tak berisi. Nyaris seperti bayangan zaman dulu, duluuu sekali. Saat belum ada TV, listrik, radio, rumah pohon, batu dan semuanya. Dunia serasa hanya diisi Adi dan Nova.
Keduanya bertatap muka tanpa suara. Dengan penuh keheningan Nova menyambar tangan Adi dan menariknya menuju motor bebek yang terparkir di sebelah warung bakso. Di perjalanan pulang, tak sepatah kata memecah suasana itu. Dalam benak Adi bergelayut perasaan kesal, marah, cinta bahagia dan sebagainya. Perasaan yang campur aduk itu membuatnya hanya terpaku. Setelah sampai di tempat tinggal Nova, Adi segera pamit. Diciumlah tangan Adi oleh Nova. Adi pulang ke rumah.
Sampai di rumah Adi tak habis pikir atas sikap Nova yang baru terjadi. Ia berfikir tak mungkin meninggalkan Nova. Sebab selain cantik rupawan, Nova merupakan wanita yang sesuai dengan salah satu keinginan Adi. Yaa, karena setelah merasa bukan ABG lagi, Adi selalu mematok syarat untuk wanita yang menjadi kekasihnya, yakni tak suka ditraktir. Itulah yang ada pada diri Nova. hampir setiap ngedate, Adi tak keluar uang sepeser pun. Dan Nova pun bisa menerima itu. Segala bentuk akomodasi perjalanan pacaran ditanggungnya. Bagi nova, asal bisa bersama Adi serta tak menjadi beban bagi Arjunanya itu, ia sangat bangga plus bahagia. Nova justru tak suka bila Adi tampak memaksakan diri dalam cerita cinta mereka berdua. Walau kadang apa yang dilakukan nova terlihat lebay. Sebagai contoh, suatu hari Adi datang menjemput Nova dengan motor ayahnya. Karena merasa ada yang aneh, Nova menanyakan perihal motor tersebut. Adi pun menjawab bahwa motornya telah dijual untuk mencukupi biaya buka usaha abang iparnya.
Mengetahui Adi tak membawa motor miliknya sendiri, spontan Nova langsung menyuruhnya mengembalikan kendaraan itu ke kerumah. Adi pun serba salah. Namun Nova tak peduli. Padahal Adi sudah berusaha keras meyakinkan bahwa motor itu sedang tak dipakai. Dan bila harus memulangkan dulu ke rumah, lalu pergi naik angkot berdua, pasti malah tambah ribet dan boros waktu. Tapi Nova tetap tak mau peduli. Dia bilang tetap nunggu Adi balik ke rumahnya dengan naik angkot sebelum jalan berdua. maksain ya.
Dalam perjalanan yang menguapkan waktu super banyak itulah terjadi peristiwa yang tak terlupakan. Wabilkhusus buat Nova. Di tengah jalan waktu asyik-asyiknya jalan HP Nova mengalami lowbat hingga tak bernyawa. Padahal semalam sudah dicas. Telusur punya selidik, memang baterainya sudah soak. Nova pun pengen beli baterai. tapi uang di dompetnya telah habis. Dengan nada terpaksa dan terlihat sangat tak nyaman dan tak mau memaksa Adi ia minta untuk dibelikan baterai HP. Adi tak keberatan. Tapi ia hanya mampu membelikan yang non-original. Kata Nova tak apa-apa. Setelah itu mereka pulang.
Tiga bulan berikutnya, Ada hal aneh dirasakan Adi terhadap Nova. Walau itu sudah diketahuinya lama, namun baru memuncak rasa gerahnya saat itu juga. Menurut Adi, ini mungkin karena sebelum-sebelumnya ia pacaran selalu dengan anak SMA, yang motivasinya hanya cari seneng belaka. Tapi tak dapat dinafikan, itu merupakan sifat manusiawinya. Adi sering sebal karena Nova tak pernah mau pacaran layaknya muda-mudi jaman ini. Jangankan untuk kissing, penggangan tangan saja ia tak mau. Pernah Adi sedikit membentak Nova. "Memang kenapa sih, kan cuma pegangan tangan doang, wajarlah, namanya juga pacaran." tapi Nova jawab, "Tar aja kalau kita sudah nikah, soalnya pegangan tangan dengan yang bukan muhrim itu termasuk zina dan dosa. Lagian kita lulusan pesantren. Maka kita harus menjaga nama baik pesantren kita. Sabar ya kalau nanti kita sudah nikah, semua ini buat Aa Adi."
Adi merasa tak puas dengan jawaban itu. Bahkan semakin jengkel tiap kali Nova membicarakan soal pernikahan. Tak jarang Nova bertanya kepada Adi, "Aa, tar kalau kita sudah nikah mau punya anak berapa?'' Kalau Nova sudah tanya demikian, Adi langsung menjawab, kamu ngomong apa sih, nikah nikah nikah. Itu mah nanti. Jodoh itu ditangan Tuhan.
Cerita ini merupakan modivikasi dari kisah nyata romantika cinta yang dialami Adi, mahasiswa FSH UIN Jakarta. Nama dan semua identitas yang ada dalam kisah ini sengaja kami kaburkan. Segalanya demi menjaga privasi sang pelaku cerita.
Mafhum bagi umat manusia, telah banyak cap-cap yang menempel pada kata yang berkaitan dengan cinta. Namun baterai, rasanya cukup tepat menjadi judul kisah yang terjadi pada tahun 2003-2008 lalu.
Berawal saat Adi baru merampungkan studinya di salah-satu pesantren besar di Indonesia. Kelulusannya dari pesantren ini juga dibarengi dengan didapatnya ijazah SMA atau Madrasah Aliyah.
Tapi Adi tak langsung meneruskan keperguruan tinggi. Ia mengabdi sebagai pengajar selama kurang lebih satu tahun di sebuah sekolah yang kebetulan tak begitu jauh dengan rumahnya. Dalam masa pengabdian itu, Adi memiliki teman karib bernama Syaikhu yang selanjutnya memperkenalkannya dengan seorang wanita bernama Nova. Mereka bertiga akhirnya menjalin persahabatan yang begitu erat. Ketiganya memiliki beberapa kesamaan. Di antaranya, rumah orang tua yang berada di Provonsi Lampung, meski beda suku. Selain itu, mereka berasal dari satu almamater, hanya beda wilayah saja. Masa pendidikan Adi dilewati di lembaga pusat, sementara Nova dan Syaikhu di cabang yang berbeda.
Keakraban ketiga sahabat ini terus berlanjut dan semakin erat. Terlebih bagi Nova dan Adi. Bahkan persahabatan mereka mulai menjurus pada pacaran. Syaikhu pun tak keberatan jika persahabatan itu berbuah cinta salah-satu pihak. Keseriusan Adi menjalin hubungan pacaran dengan Nova diwujudkan melalui ungkapan hati yang diutarakan di ruang kantor guru di sela-sela waktu istirahat jam pelajaran. Meski status Novi lebih senior, tapi dari segi usia Adi lebih tua. Hal ini tak terlampau menjadi problema.
Cerita cinta Adi tak mulus begitu saja. Rintangan awal datang seorang guru senior yang telah lama menaruh harapan pada Nova. Saat tahu Nova diikat Adi dengan tali asmara, guru senior yang bernama Beni itu seperti kebakaran kumis. Ia tidak terima. Dengan alasan membincang silabus ia meminta Adi menjauh dari Nova. Karena keduanya bersikeras pada keinginannya, ruang guru yang ber-ac itu dalam sesaat menjadi sepanas mentari siang. Perkelahian tak terelakkan. Beruntung Syaikhu tiba tepat waktu. Ia pun segera melerai kedua orang yang berseteru itu. Setelah dingin ac kembali pada perasaan normal, jelas sudah di mata Syaikhu bahwa pemicu pertikaian dua ustadz ini adalah seorang wanita bernama Nova.
Syaikhu kemudian berinesiatif memanggil Nova saat itu juga. Akan tetapi, entah karena rasa segan atau apa, Nova tak mau memberi keputusan kepada dua lelaki yang didera asmara itu. Baru sekitar tiga hari kemudian, melalui sebuah surat (jaman dulu di sana HP belum banyak, wakakaka), Nova menyatakan sikapnya untuk lanjut dengan cinta Adi. Dalam secarik kertas itu juga Nova mengatakan telah mengirim surat penolakan cinta Beni.
Adi pun lega. Tapi Nova masih memunyai satu syarat untuk Adi, mereka tak boleh ketemu di pesantren/sekolah, kecuali membincang masalah kegiatan belajar mengajar. Menurut alasan Nova, hal ini agar tidak mengakibatkan radang perasaan Beni.
Hari-hari berlalu penuh dengan kebahagiaan. Berdua Nova dan Adi sering bepergian bersama. Mulai hanya sekedar ngopi, makan di cafe hingga nonton bioskop. Tapi berbarengan dengan semakin dekatnya hubungan itu, makin terbukalah keburukan masing-masing. Ternyata Nova tak menyukai kebiasaan Adi yang menjadi pecandu rokok. Beberapa kali Nova bilang ke Adi agar tidak merokok lagi, terlebih di hadapan Nova. Suatu ketika, di penghujung senja, Adi dan Nova berniat berbelanja baju di salah-satu departement store. Bermodal motor bebeknya, Adi membonceng Nova dengan segala hikmat dan bersahaja. Setelah selesai mencaplok baju yang Nova butuhkan, mereka melepas lelah di salah-satu kafe. Seperti biasa Adi memeasan kopi. Setelah itu mereka pulang sebelum makan.
Di jalan, dua sejoli ini mampir di warung bakso. Setelah makan, mulut Adi serasa ditampolin orang utan, sebab tak sebatang pun rokok terselip di kantong. Tanpa basa-basi ia langsung bergegas menuju kios pinggir jalan. Dibelinya setengah bungkus rokok merek Amerika. Sesaat kemudian, Nova mengetahui bahwa kekasih sejatinya sedang bercumbu mesra dengan kepulan asap. Dengan cekatan, secepat kucing menyergap tikus, Nova mencabut rokok yang tengah melekat di bibir manis Adi. Tak sebatas itu, Nova ketika itu juga ....
Oleh MS WIBOWO Pembaca yang budiman dan budiwati, ternyata cerita tentang UAS-ku belum selesai. Kemarin ini, merupakan hari kegagalanku. Padahal, tinggal dua langkah lagi aku bisa mengalahkan rahwana dalam diri ini. Ceritanya begini, ini terjadi pada matakuliah Metodelogi Penelitian Filsafat. Sejak awal tahun ajaran semester ini hingga empat sampai lima pertemuan, Prof Dr Mulyadi Kartanegara yang membidani matakuliah ini tak kunjung masuk. Menurut kabar, ia tengah sibuk mempersiapkan suatu proyek besar tentang pemikiran. Karenanya, masuklah dosen pengganti bernama Pak Khalik. Kepada mahasiswa di kelas, ia mengatakan sebenarnya tak mau mengajar di kelasku. Tapi karena merasa tak enak dengan Pak Mulyadi, ia akhirnya menerima permintaan untuk mengganti menjadi pengajar. Proses kegiatan belajar mengajar yang dilakukan pak Khalik tak seperti lazimnya dosen lainnya. Jam pelajaran di laksanakan pada hari Rabu pukul 07.00-08.00. Oleh sebab itu, banyak mahasiswa yang tak masuk dalam matakuliah yang melakukan pertemuan tiga-empat kali itu. Alasan pak Khalik membuat jam kerja sendiri karena ia tak terlalu berniat mengajar di sini dan terlebih karena ia memunyai kesibukan lain. Baru-baru ini saya tahu ia juga seorang pengajara di ICAS. Seingatku, aku baru masuk mengikuti matakuliah ini tak lebih dari dua kali. Dan itu juga bukan aku saja. Banyak yang lainnya. Menjelang Ujian Akhir Semester (UAS) tersiar kabar dari temanku bahwa untuk nilai UAS diambil dari tugas yang akan diberikan oleh pak Khalik. Masing-masing mahasiswa dikasih tugas yang berbeda. Untuk mengetahui tugasnya, sang mahasiswa harus menelepon pak Khalik. Pengumpulannya pada hari Selasa (27/1) lalu. Makalah/tugas yang dikumpulkan harus disertai foto mahasiswa bersangkutan. pak Khalik mengatakan, ia tak mengenali nama-nama tiap mahasiswa, tapi kalau wajah dia hapal. Karena itu wajah juga menentukan penilaian. Tapi jangan salah sangka, mungkin itu untuk mempertimbangkan absensi dan keaktivan mahasiswa di kelas. Mungkin. Di kelas jarang di absen. Masuk kelas pun, seperti dijelaskan di atas tak lebih dari sejam perminggu dan tak lebih dari empat pertemuan, bahkan tiga kalau nggak salah. Aku telah mendapat kabar dari temanku, tugas makalahku ialah seputar metodelogi tasawuf sekitar lima hari dari pengumpulan. Seperti kebiasaan mahasiswa, aku mengerjakan makalah pada malam sebelum pengumpulan. Dari jam dua malam aku start mengetik, sambil nyantai tentunya tak terlalu terburu-buru. Pukul empat aku selesai membuat makalah. Aku tak terus tidur, karena takut kesiangan. Dana temanku, menelponku. Ia care padaku dan bertanya dah bikin makalah lom? jangan lupa photonya ya. Kemudian aku bertanya padanya jam berapa kita mengumpulkan tugas? dia menjawab tidak tahu. nanti harus menghubungi pak Khalik dulu. Sembari menunggu waktu, aku habiskan waktu dengan nonton film. Biar otot yang tegang sehabis memutar otak menjadi lemas. Aku bersiap mandi pada pukul jam 08.00 kurang. Tiba-tiba HP-ku berdering. Dana memberitahuku untuk segera mengumpul makalah, jika tidak maka tak lulus matakuliah ini. Dana juga ketemu pak Khalik dan menyerahkan tugas di depan gerbang kampus. Buset kata gue, enak aja gue capek-capek bikin tugas semaleman kok. Aku pun segera siap-siap ke kampus dengan buru-buru. Mengingat rumah kostku lumayan jauh dari kampus. kira-kira 10 menit perjalanan kaki buru-buru. Tak lama kemudian Dana meneleponku dan memberitahukan pak Khalik tak bisa menunggu lagi. Ia harus pergi ke kantornya di ICAS. Aku di tuggu di sana. tapi egoku keburu muncul. Dia kan dosen, pasti dapet bayaran dong, dan ada locker untuk menyerahkan tugas yang tak sempat ketemu dia. Kenapa dia seenak dia. Mana ngajarnya juga kurang bagus. Apa bukti bahwa pengajaran metodelogi penelitian filsafatnya berhasil? gak ada, ya kan yakan? ah gak adil. tapi ya sudahlah. aku harus menerima nasib terainkarnasi ke semester VII lagi di kehidupan selanjutnya untuk mengulang matakuliah ini tahun ajaran depan. semoga aku ketemu dengan dik Cang E, itu loh Dewi bulan yang dihukum karena ulah Jendral Panglima Tian Feng yang memimpin sepuluh ribu pasukan langit, he hhe.[]
Minggu ini, secara resmi berdasarkan Surat Keputusan Rektor, Ujian Akhir Semester (UAS) di UIN Jakarta telah selesai. Tentu Anda tahu itu untuk mahasiswa reguler seluruhnya. Sedangkan untuk non-reguler atau ekstensi, mereka masih menjalani perkuliahan normal. Di sini, aku akan berbagi masih seputar UAS. Kita tahu, pena memainkan peranan penting dalam mengerjakan soal ujian. Bahkan di beberapa daerah, pena yang akan dipakai saat ujian harus diruwat dulu alias dibawa ke dukun dan dibacakan mantra. Tujuannya, supaya jawaban yang tergores dari pena itu selalu benar. Walau kapasitas memori otak tak menampung jawaban soal ujian, tapi diharapakan pena mantra itu ada jin atau uka-uka atau apalah yang menggerakkan. Jadi yaqin benar. Kan jin, setan, uka-uka dan genderuwo nggak keliatan, jadi dia bebas nyari contekan. Selasa (20/1) lalu ialah hari pertama UAS-ku semester ini. Seperti UAS-UAS sebelumnya aku tidak mengambil nomor ujian, yang setahu saya ada di UIN Jakarta kira-kira mulai tahun 2007. Bagiku kartu ujian nggak terlalu penting. Karena aku punya bukti lain seperti daftar absen, slip pembayaran dan sebagainya. Tapi selasa itu beda. Aku datang telat. Meskipun nggak telat-telat amat, kan masih ada beberapa teman yang lebih telat dariku. Pas masuk langsung disuruh absen dan memperlihatkan kartu ujian. Aku bilang saja seperti sebelum-sebelumnya, 'ketinggalan pak'. Eh, si pengawas bilang, kalau ketinggalan kamu ke posko ujian dulu di lantai 4, minta surat keterangan. Kupret, kata gua. Tanpa banyak cing-cong aku ke lantai 4, tapi bukan minta surat keterangan, melainkan tanya di mana tempat ngambil kartu ujian. Oleh seorang pegawai perempuan aku disuruh menemui pak Muslim. Wah, pegawai baru ni. Denger-denger pak muslim tu orangnya reseh, suka bikin gara-gara, maksudnya suka bikin mahasiswa ribet. Aku masuk ke ruang Kajur dan staf-stafnya. Aku bertanya pada salah-seorang Kajur Jurusan Tafsir Hadits (bukan jurusanku). "Meja Pak Muslim di mana pak?" Setelah ditunjukkan, aku langsung mengutarakan maksud dan tujuanku. Pak Muslim menanyaiku slip pembayaran, aku tunjukan. Akhirnya ia suruh aku tanda-tangan. Disodorkannya padaku sebilah pulpen dan daftar peserta ujian yang sudah mengambil kartu. Setelah tanda tangan tanpa basa-basi ngopi atau minta rokok, aku langsung cabut dan menuju ke kelas. Pas setelah lembar soal dan jawaban berada di tanganku, aku baru ingat bahwa sejak seminggu yang lalu tanganku tak menyentuh pulpen atau pena sama sajalah. Tapi tiba-tiba aku raba kantong depan bajuku, di situ telah terselip sebuah pena yang masih fresh, baru dan mereknya bagus. wow, ajaib. Itu adalah penanya Pak Muslim. Aku bercerita atas kejadian itu ke teman-teman. Ada yang senyum, ada yang tertawa, ada yang merana, ada pula yang kejam menyiksa dirinya. Ku ucapkan terima kasih pada pak Muslim dan pulpennya. Jangan marah ya. aku yakin itu pulpen jatah dari fakultas. Ya Kan? Yoi
Oleh MS Wibowo Kamis (22/1) lalu adalah hari terakhirku mengikuti Ujian Akhir Semester VII ini. Tapi malam dini harinya aku belum bisa tidur. Untuk memanfaatkan waktu, aku pergi ke warnet temanku dan berenang di dunia maya. Diteruskan dengan obrolan seputar kondisi kampus kekinian dan membicarakan lagu Bagdat to Night. Karena sudah jam 03.00 aku memutuskan untuk tidak tidur. Tapi rasa lemas tubuh ini memaksa aku untuk segera undur diri merebahkan badan. Aku memilih singgah di rental play station dengan harapan pagi dibangunkannya. Sebab aku yaqin kalau di kamar kostku aku tak akan terbangun. Temanku tak tidur demi membangunkan aku pukul 06.00. Tapi aku berhasil dibangunkanya hingga sejam kemudian. Setelah nyawa betul-betul terkumpul, aku menuju rumah kostku untuk mandi dan siap-siap. Saat segalanya beres ternyata jam menunjukan pukul 08.00. Itu berarti aku sudah telat setengah jam. Aku segera cabut dari kosan dengan bekal pena sebatang saja. Di jalan aku menelepon Dana teman sekelasku. Dua kali menelepon baru ia menjawab. “Opo dus?” jawabnya dengan bahasa Jawa. Dus itu panjangnya wedus artinya kambing. Kami memang biasa menyebut kata wedus, bedes=monyet dan lain sebagainya. Kata-kata macam itu memang kasar dalam masyarakat Jawa. Tapi karena sudah akrab dan keluar dari konteks, kata-kata itu jadi terasa biasa saja. “Kamu dah masuk?” Tanyaku. “Lah, memang sekarang? Ia menjawab dengan Tanya pula. “Iyalah, mang jam ke berapa?” “Jam kedua, aku masih di kosan.” Kata Dana yang tampak masih bau jigong karena bangun tidur. Aku kurang begitu percaya dengan validitas info yang Dana sampaikan. Sampai di fakultas, aku berniat mengecek ruang kelasku. Tapi aku lupa ruang berapa. Sebelum masuk ke dalam fakultas, aku bertemu Aan, mahasiswa jurusan Pemikiran Politik yang akrab disapa Big Dady karena badannya yang gemuk. Dia mengajakku ngopi di kantin. Entah mengapa tiba-tiba aku yaqin dengan informasi Dana. Karena hanya membawa uang Rp.1.500, Big Dady meneraktir aku segelas kopi untuk minum bersama dan beberapa gorangan. Sambil menyantap hidangan pagi itu, kita membincang masalah kacaunya kuliah kami. Saat gorengan habis dan kopi masih tersisa, terbersit dalam otakku untuk membeli rokok, uangku cukup untuk membeli dua batang rokok. Sampai di mulut pintu kantin, aku bertemu dengan Ali mahasiswa juniorku yang menabung SKS di kelasku. “Wo, nggak ikut UAS Filsafat Ilmu?” tanyanya. “Lah! Memang sekarang? Bukannya jam ke dua?” “Sekarang.” “Yang bener? Kata Dana jam ke dua? Lo nggak ikut?” “Udah keluar, tapi aku ngawur jawabnya.” “Beneraran? Soalnya apa saja?” Setelah Ali sedikit memberi gambaran soal, aku langsung pamit pada Big Dady. Oya aku lupa lantai berapa. Setelah diberitahu Ali lantai V aku segera naik lift. Sesampainya di kelas, jam sembilan kurang seperempat. Sebagaian temanku sudah kelar menghajar soal. Aku baru mulai. Aku lihat kesekeliling ruang tak ada Dana. Aku kabari dia melalui SMS bahwa UAS dilaksanakan sekarang juga. Dia menjawab dengan meneleponku. Aku terpaksa keluar untuk menjawabnya. Dia pun gusar. Kusuruh dia segera ke kampus tanpa mandi. Sebab rumah kostnya lumayan jauh. Aku tutup telepon dan masuk ke kelas serta bersiap menjawab soal. Tapi Dana meneleponku lagi. Dia menyuruhku protes pada dosen bahwa UAS harusnya dilaksanakan jam kedua. Aku pun bilang tak bisa. Karena setahuku jam kuliah matakuliah ini memang sekarang. Setelah aku tutup kembali HPku, ia mengirim SMS meminta soal-soal apa yang diujikan, aku balas soalnya susah, panjang. Dia balas lagi pokok-pokoknya saja. Aku tak membalas. Dia meminta lagi lewat panggilan telepon. Aku jawab di dalam ruangan saja dengan bahasa Jawa. Kebetulan pengawas sedang keluar. Tapi suaraku cukup menggema sehingga seluruh ruangan menoleh padaku dengan sedikit tawa. Sebagian ada yang menggodaku dengan meniru iklan salah-satu provider di TV, Agos! Agos, Agos!. Akhirnya aku jawab tegas, dah lah, kamu ke sini saja buruan. Aku juga kiri pokok-pokok yang tak menyerempet inti soal lewat sms. Tapi aku yaqin dia tak paham. Tujuh menit sebelum bubaran, Dana datang ke kelas dengan terengah-engah. Terdengar deru sepatunya sebelum masuk kelas, seolah ia berlari dan bersungguh-sungguh ikut ujian ini. Pas di kelas, dia dan satu teman lagi meminta maaf pada pengawas. “Maaf pak telat, saya kira Bowo bercanda, saya kira jam pertama ujiannya pak,” kata Dana dengan nada memelas. “Ini kan jam pertama?” kata pengawas. “Oh ya, maksud saya, saya kira jam kedua pak. Tolong kebijaksanaannya pak, kasih dispensasi setengah jam pak,” harap Dana dan temannya. Sang pengawas tak menggubrisnya. Ia malah mengatakan pada seluruh peserta bahwa waktu sudah habis. Semua peserta pun keluar, kecuali aku. Tapi tiba-tiba bapak pengawas berada di depanku. Aku bilang dikit lagi pak. Satu kalimat lagi. Bapak pengawa menjawab, sudah, waktu sudah habis. Terpaksa aku menawar lagi, satu kata lagi ya pak. Dan akhirnya pun aku keluar. Tapi kertas soal yang harusnya dikumpul karena akan diujikan lagi di kelas jurusan lain tak diminta olehnya. Dana dan teman-teman beroleh ketengan. Sebab pengawas mengizinkannya mengikuti UAS di jurusan Tafsir yang kebetulan matakuliahnya sama pada jam kedua. Setelah mengerjakan semua soal dengan jawaban banyak ngawurnya, aku turun ke lantai dasar menuju kantin. Di sana ada Dana dan kawan-kawan. Sedang membincang masalah barusan. Sedetik pasca tibaku di sana, obrolan langsung mengacu pada soal-soal yang tadi diujikan. Aku bilang pada Dana, “Lo beruntung bisa Tanya-tanya soal yang diujikan. Apalagi ada soalnya. Lo harusnya bayar nih ke gua.” “Emang enak,” kata Dana. Ia menambahkan, tapi meskipun ada soalnya, jawabannya susah. Open book pun nggak bakalan bisa. “Ya setidaknya lo kan bisa taya-tanya dulu, kalau gue, dah buru-buru lo gangguin lagi. Awas kalau kamu dapat A gue hajar lo.” “Ni uang seribu buat beli roti, bayar info dari lo,” kata Dana sambil berjalan sedikit lari mengajak dua teman yang belum ikut ujian jam pertama. “Ayo Uf, biar keliatan serius kita datang lebih awal,” kata Dana Pada Uuf. Ketika jarak antara aku dan Dana mulai kurang lebih lima meter, aku berteriak padanya diiringi pertanyaan, “Sial lo, sebenarnya kemarin lo dapat info dari siapa sih Don kok bisa bilang ke gue UAS jam kedua?” Sambil berlari dan tersenyum ia menjawab, “Feeling, he hehe.” Sial yuu.[]
Pendahuluan; Sekilas Rentetan Aksi Demonstrasi
Tahun 1998 hingga 2000-an awal, kata demontrasi seperti tak pernah pergi menghiasi media cetak maupun elektronik. Sebab di tahun-tahun ini, aksi unjuk rasa atau demontrasi seperti tengah menjadi trend. Terlebih di kalangan mahasiswa.
Bermula dari tidak stabilnya perekonomian Indonesia tahun 1997, yang merupakan dampak dari krisis ekonomi di kawasan asia pasifik. Akibatnya, harga sembilan bahan pokok terus melambung. Rupiah pada masa itu sempat betengger dikisaran Rp.17000 per $.1 Amerika.
Krisis tersebut banyak menimbulkan kerugiaan besar di perusahaan-perusahan nasional. Bahkan banyak di antara mereka yang gulung tikar. Buntutnya, jumlah pengangguran semakin meningkat, yang berasal dari karyawan-karyawan yang bekerja sebelumnya.
Kondisi demikian, menyulut berbagai aksi protes masyarakat, yang dimotori oleh mahasiswa. Mereka menuntut pemerintah segera mengatasi krisis itu. Tapi pada saat itu, pemerintah Orde Baru sangat represif terhadap aksi-aksi massa. Bahkan pada masa sebelumnya, para aktivis yang menggelar aksi unjuk rasa, kerap diidentikan dengan gerakan pengacau keamanan (GPK). Banyak para aktivis mengalami penganiayaan bahkan penculikan dan pemenjaraan dengan dalih menjaga stabilitas nasional.
Finalnya, sebagai puncak dari kegeraman mahasiswa terjadi pada 12 mei 1998, setelah empat mahasiswa Trisakti tewas tertembak peluru aparat saat berdemonstrasi menuntut Soehaarto turun dari jabatan presidennya.
Seiring dengan itu bemacam kerusuhan, penjarahan, dan pembakaran merebak di berbagai tempat. Hal ini juga menimbulkan banyak korban jiwa serta kerugian materi yang tak terhitung jumlahnya. Etnis Tionghoa adalah yang banyak menjadi korban dari peristiwa itu.
Demonstrasi dan kerusuhan tak hanya melanda ibukota. Di daerah-daerah seperti Lampung, Yogyakarta, dan lain-lain terjadi kondisi serupa. Krisis ekonomi pun berkembang menjadi krisis kepercayaan. Masyarakat menganggap terpuruknya perekonomian Indonesia yang berkepanjangan disebabkan oleh korupsi, kolusi, dan nepotisme. Indikasi ini tampak dari diangkatnya beberapa kerabat presiden menjadi mentri. Di sisi lain, bisnis keluarga Pimpinan Negara makin merajalela, sementara hutang negara kian tak terbayar.
Melihat negara yang tengah carut marut diiringi ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah, Harmoko selaku ketu DPR/MPR meminta Soeharto untuk turun dari jabatannya. Keputusan itu kemudian diikuti mundurnya sebagiaan besar mentri yang duduk di kabinet pembangunan VII.
Akhirnya, setelah melakukan silaturahmi ke beberapa tokoh nasional di antaranya, Cak Nur dan Yusril Ihza Mahendra, Soeharto yang telah merasa tak didukung berbagai pihak mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan pada wakil Presiden B. J. Habibie.
Tapi bukan berarti aksi-aksi demonstrasi surut. Gelombang massa masih kerap memadati jalan-jalan protocol hingga masa kepemimpinan Habibi berakhir. Kemudian demonstrasi pun masih sering terjadi di tahun-tahun berikutnya, baik pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati hingga saat ini SBY. Tapi kekuatan dan volume massa kian lama kian berkurang.
Berdasarkan penuturan para aktivis ’98, sejak turunnya Soeharto dan diangkatnya Habibie, kekuatan mahasiswa telah terpecah. Sebagian mereka mendukung Habibie dengan alasan perjuangan mereka menurunkan Soeharto telah berhasil. Namun bagi sebagian yang lain, Habibie masih bagian dari rezim Soeharto. Karena itu, reformasi yang mereka inginkan belum berhasil.
Pudarnya Pamor Demonstrasi Sebagai Wujud Arbiter Bahasa.
Setelah Presiden Abdurrahman Wahid diturunkan MPR di tengah masa jabatanya, dan digantikan oleh Megawati, aksi-aksi pun surut drastis. Apalagi pada masa sekarang, demonstrasi di jalan menuntut pemerintah seperti barang usang. Image sebagai aktivis dan orator yang dahulu begitu dikagumi, kini telah berubah. Perubahan makna demonstrasi ini setidaknya terjadi tiga kali. Terhitung sejak masa jaya Orde Baru, menjelang dan awal Orde Reformasi, dan sekarang.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, para aktivis yang sering menggelar aksi unjuk rasa mengkritik pemerintah selalu diidentikan dengan usaha sekelompok oknum yang berusaha mengacaukan keamanan dan stabilisasi nasional. Berbeda dengan masa reformasi (menjelang dan pasca peristiwa 1998 hingga awal 2000an), para demonstran dianggap sebagai pahlawan yang memerjuangkan hak-hak rakyat kecil.
Makna demonstrasi pun segera berubah pada sekitar tahun 2003/2004 hingga sekarang. Di zaman ini, sebuah aksi demonstrasi yang terjadi, sering dipandang dengan multi interpretasi. Dengan enteng masyarakat akan mempertanyakan aksi sekelompok aktivis dengan sedikit cibiran. Misalnya, apa yang disuarakan atau diperjuangkan oleh sekelompok demonstran? Apakah mereka benar-benar memperjuangkan dan merepresentasikan kepentingan rakyat? Rakyat yang mana? Dan lain-lain.
Pertanyaan pun berkembang, diantaranya, dari organisasi atau kelompok mana para pengunjuk rasa berasal, juga menentukan interpretasi seseorang. Munculah pertanyaan-pertanyaan, apakah massa aksi murni atau orang yang dibayar? Sebab sudah menjadi rahasia umum, banyak aksi-aksi bayaran yang ditunggangi oleh oknum tertentu. Terkadang pula ada anggapan, aksi yang dilakukan suatu kelompok tertentu merupakan pesanan dari para senior mereka yang duduk di kursi legeslatif dan mempunyai kepentingan tertentu. Sudah menjadi rahasia umum pula terdapat banyak kelompok atau oraganisasi mahasiswa yang merupakan underbow dari partai tertentu.
Sebagai misal, aksi yang menuntut pengadilan mantan Presiden Soeharto dianggap sebagai kepentingan partai oposisi dari partai yang menjadi kendaraan Soeharto. Begitu pula dengan aksi menolak kenaikan BBM dan sebagainya, bisa diinterpretasikan sebagai moment untuk menggoyang citra partai atau orang tertentu. Apalagi aksi-aksi semacam itu, saat ini bisa dibilang terjadi musiman. Dan tak ada kontinuitas perjuangan yang jelas. Sering pula kita dapati, masing-masing organisasi atau kelompok, hanya mau melakukan aksi jika orang yang dituntut bukan dari partai yang dekat dengan kelompok tersebut dan sebagainya.
Dapat kita simpulkan, di sinilah sifat arbiter dari sebuah makna terjadi. Kata demonstrasi dan demonstran sebagai pelakunya, mengalami berbagai penafsiran. Tiga Makna Demokrasi Di Mata Masyarakat
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata demonstrasi dapat diartikan sebagai pernyataan protes yangg dikemukakan secara massal. Protes bisa diartikan sebagai ungkapan ketidaksetujuan terhadap orang atau kelompok tertentu. Namun yang menjadi masalah bagi masyarakat awam zaman sekarang, siapa yang menunggangi aksi tersebut dan sebagainya.
Demonstrasi dalam arti yang lebih praktis telah mengalami perkembangan dan penyempitan makna dari masa ke masa. Pada zaman Soeharto, hampir setiap aksi massa dianggap sebagai upaya mengacaukan stabilitas negara. Karenanya wajib ditumpas dan ditekan sedemikian rupa. Soeharto pun di mitoskan sebagai penjaga kesetabilan bangsa Indonesia. Mitos ini memasyarakat karena Soeharto mengusai semua lini, termasuk media. Waktu itu, media berada satu komando di bawah pemerintah Soeharto. Berbagai kekejaman Soeharto dalam merepresi orang yang mengkritiknya tak pernah terdengar oleh masyarakat. Masyarakat hanya disuguhkan keberhasilan-keberhasilan Soeharto. Sehingga sekelompok orang yang berunjuk rasa mengkritik pemerintah di mata masyarakat dianggap sebagai gerombolang pengacau.
Represifitas ini juga diberlakukan pada media, terutama media massa cetak. Banyak koran dan majalah yang dibredel pemerintah karena dianggap membahayakan citra baik Soeharto. Demi keberlangsungan medianya, para pengelola media pun harus menerima satu dari dua pilihan, pro pemerintah dan langgeng atau kritis kemudian mati.
Kemudian pada massa 1997 hingga awal 2000an, sebagaimana dijelaskan di atas, para demonstran dianggap sebagai pahlawan. Mereka adalah pejuang hak-hak rakyat. Gelar ini mulai bergeser kurang lebih pada 2003/2004, di mana citra aktivis unjuk rasa mulai tercoreng karena aksi-aksi yang mereka gelar tak lebih dari pesanan kelompok elit tertentu demi memuluskan kepentingannya.
Demonstrasi; Dari Pengacau, Pahlawan Hingga Pencari Uang Rokok.
Jika mengacu pada disiplin semiotik, fenomena demonstrasi dapat dipahami berdasarkan model bahasa. Karena bagaimana pun juga, demonstrasi juga merupakan salah-satu bentuk dari kebudayaan manusia.
Dalam semiotika, apabila seluruh praktek sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, maka semua bisa dianggap sebagai tanda-tanda. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Umberto Eco bahwa, di dalam kebudayaan setiap entitas menjadi fenomena semiotis. Kebudayaan dapat dikaji secara lengkap di bawah profil semiotik. Semiotik merupakan sebuah disiplin yang mesti berurusan dengan seluruh kehidupan sosial.
Fenomena kultural tersebut (dalam hal ini demonstrasi) bukan semata-mata objek atau peristiwa material, melainkan objek atau peristiwa yang bermakna. Merunut apa yang ditulis Kris Budiman, fenomena kebudayaan (demonstrasi) dapat dipandang dari dua sisi yang komplementer.
Pertama, sebagai sistem tanda-tanda dan kedua sebagai praktik-praktik penandaan. Sebagai sistem tanda-tanda, kebudayaan dapat dipandang sebagai teks, yakni struktur abstrak yang berada dibalik gejala yang tampak dipermukaan. Sementara sebagai praktik ataun penggunaan tanda-tanda.
Dalam semiotika Saussurian, 'tanda' merupakan dua bidang yang tak dapat dipisahkan, yakni penanda (signifier) dan petanda (signified). Menurut semiotika Saussurian, tanda harus mengikuti model kaitan struktural antara penanda dan petanda yang bersifat stabil dan pasti.
Sedangkan C. S. Pierce membedakan tiga kelas tanda, yang didefinisikan dalam konteks jenis hubungan antara item yang menandakan dan yang ditandakan. Pertama IKON, berfungsi sebagai tanda melalui persamaan inheren, atau unsur-unsur yang dimiliki bersama, dengan apa yang ditandakan. Kedua, INDEKS adalah sebuah tanda yang memiliki hubungan kausal dengan apa yang ditandakan. Dan ketiga, SIMBOL (atau dengan istilah yang kurang ambiguitas, “tanda sebenarnya”) hubungan antara item penanda dan apa yang ditandakan bukanlah sebuah hubungan yang alami, tapi merupakan sebuah konvensi sosial. Di sini, demonstrasi merupakan sebagai simbol hubungan antara penanda dan petanda yang merupakan sebuah konvensi sosial.
Mengacu pada semiotika Saussurian, di era Orde Baru dan 1998an, demonstrasi memiliki arti dalam kaitan struktur antara penanda dan petanda yang stabil. Penandanya (aspek materialnya) adalah sekelompok orang yang berkumpul di jalanan atau di depan sebuah instansi dengan berbagai atribut seperti poster, spanduk serta berorasi dengan menggunakan toa. Sementara petandanya (gambaran mentalnya) adalah pada masa jaya Orde Baru berarti para pengacau atau sekelompok orang yang mengancam stabilitas nasional.
Sedangkan pada masa 1998an, petanda tersebut berarti aktivis-aktivis demonstran adalah para pahlawan dan pemberani yang membela hak-hak rakyat. Di kedua masa ini, makna demonstrasi memiliki ikatan-ikatan ideologis. Meskipun berlainan bahkan berlawanan makna, namun keduanya merupakan petanda yang menjadi representasi dari penanda demonstrasi itu sendiri. Di sini, hubungan arbiter dari kaitan penanda dan petanda telah tampak.
Begitu halnya pada era 2004an hingga sekarang, para demonstrasi bisa tetap diartikan sebagaimana apa yang melekat pada para aktivis 1998an. Tapi mereka juga bisa diartikan sebagai kelompok tertentu dibawah pesanan kelompok elit yang mempunyai kepentingan. Mereka juga bisa diartikan sebagai kelompok bayaran, yang melakukan aksi untuk memperburuk citra pemerintah di mata media dan masyarakat luas. Bahkan mereka juga bisa diartikan sebagai orang yang mencari sensasi. Dan bisa juga, demonstrasi dimaknai sebagai upacara seremonial tahunan seperti pada tanggal-tanggal diperingatinya Hari Buruh, Hari Pendidikan dan lain-lain.
Jika demonstrasi dikatakan sebagai sebuah teks, pada makna terahir ini demonstrasi diartikan dengan model semiotika postmodern. Tanda-tanda diguanakan secara ironis dan cendrung anarkis. Sebagaimana menurut Roland Barthes, Bahwa sebuah teks (di sini demonstrasi) bukanlah sebuah produk yang dihasilkan melalui aturan atau kode-kode yang kaku. Melainkan sebuah perspektif dari fragmen-fragmen, dari suara-suara dari teks-teks lain. Menurut Barthes, teks postmodern bukanlah sebuah produk yang menghasilkan makna tunggal, melainkan sebuah ruang makna yang multidemensional.
Perlu dicatat, dalam masa Orde Baru, sebenarnya makna demonstrasi sudah bisa dikatakan mempunyai multiarti. Tapi di sini kita melihat makna demonstrsi tersebut dari penafsiran khalayak umum. Hal ini juga dilihat dari perbandingan respon mahasiswa zaman dahulu hingga sekarang. Dan saat ini, demonstrasi telah memiliki banyak makna mulai dari yang paling mulia hingga yang paling hina. Dari makna ironi sampai anarkis.
Sebagai contoh makna ironi, para demonstran yang melakukan aksi menolak kenaikan BBM, pada dasarnya adalah orang yang hanya mencari uang sebesar Rp.25.000 sebagai bayaran dari aksi yang mereka lakukan. Tujuan utamanya bila ditarik ke atas, adalah upaya pencitraan buruk pemerintah atau pengangkatan nama seorang tokoh elit yang mereka dukung. Sebagai contoh bahwa demonstrasi diartikan secara anarkis, seperti telah disebut di atas, demonstrasi dimaknai sebagai kegiatan mencari sensasi, mencari uang rokok, atau upacara seremonial belaka dan sebagainya.
Panoptikon Ala Orde Baru
Adalah Michel Foucault, salah seorang pemikir pascastrukturalis yang menyelediki bagaimana makna, melalui beroperasinya kekuasaan dalam praktik sosial. Menurutnya, wacana menyatukan bahasa dan praktik. Istilah wacana mengacu pada benda-benda dan praktik-praktik sosial. Meski ber‘ada’ di luar bahasa, dunia benda material dan praktik-praktik sosial diberi makna oleh bahasa. Dengan begitu, dunia benda material dan praktik-praktik sosial itu dibentuk secara diskursif.
Wacana menyediakan bagi kita cara-cara membincangkan topik tertentu secara sama, dengan motif-motif atau bongkahan-bongkahan ide, praktik-praktik dan bentuk-bentuk pengetahuan yang diulang-ulang di beberapa wilayah aktivitas. Di sinilah muncul formasi diskursif, yang merupakan peta-peta makna yang sudah diregulasi, atau cara-cara berbicara yang menjadi jalan bagi objek-objek dan praktik-praktik memperoleh makna.
Relasi wacana dan kekuasaan dalam makna demonstrasi sangat jelas. Di mana pada masa Orde Baru makna demonstrasi dipelintirkan menjadi sebuah gerakan atau usaha mengacaukan keamanan dan stabilitas negara. Zaman itu, ketika melihat polisi membubarkan para demonstran dengan pentungan dan tembakan bahkan pemenjaraan, mayoritas masyarakat akan berkata, “untung ada polisi yang mengamankan ini semua”.
Begitu pula dengan pemenjaraan para aktivis serta pembasmian para mantan-mantan kader dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Perbuatan pemerintah tak terlalu dirisaukan, oleh masyarakat, sebagai tindakan yang bertentangan dengan demokrasi yang dianut negara ini. Hal ini karena pemerintah dengan kekuasaannya telah berhasil menguasai wacana lewat sentralisasi berbagai media, dengan politik pencitraannya bahwa mereka adalah pengacau, PKI harus dibasmi karena atheis dan merupakan partai pemberontak.
Di sini, cukup pas kiranya untuk menerapakan studi Foucault tentang kegilaan, dengan menggantinya dengan demokrasi.
•Pernyataan-pernyataan tentang kegilaan yang memberikan pengetahuan mengenainya;
•Aturan-aturan yang apa yang “bisa diucapkan” atau “dapat dipikirkan” tentang demonstrasi.
•Subjek-subjek yang merupakan personifikasi demonstrasi, yakni demonstran (pengacau keamanan).
•Proses bagaimana wacana tentang demonstrasi memperoleh kewenangan dan status kewenangan dan status kebenaran pada suatu kurun sejarah tertentu. (Pada zaman Soeharto=selama ia berkuasa, menjelang dan sesudah reformasi hingga 2003/2004 kekuasaan wacana berpindah pada mahasiswa dan para demonstran, dan masa 2004 ke atas terdapat multi wacana. (Mungkin pada masa ini sedikit mirip dengan apa yang disebut Foucault sebagai seseorang menyadari dirinya sebagai subjek bagi dirinya dalam keterlibatan tehadap praktik-praktik pembentukan, pengenalan dan refleksi diri).
•Praktik-praktik institusi yang menangani demonstrasi, (misalnya, aparat dan pemberitaan dengan pencitraan negatif tentang para demonstran dsb).
Dalam studi tentang kegilaan ini, Foucault juga membahas hubungan antara wacana dengan disiplin. Jika diterapkan pada saat rezim Soeharto berkuasa, terlihat sekali hubungan erat antara wacana dan disiplin ini. Foucault berpendapat, wacana meregulasi bukan hanya apa yang bisa diucapkan, tapi juga di mana, kapan dan siapa yang boleh mengucapkan.
Seperti yang terungkap dari puisi Widji Tukul, yang termuat dalam ‘Film Dokumenter Gerakan Mahasiswa 1998’, “... buruh-buruh senangnya di televisi, petani-petani makmurnya di televisi”. Di sini Widji Tukul, salah-seorang aktivis yang hilang dan diduga menjadi korban penculikan Orde Baru, ingin mengungkapkan bahwa para buruh dan petani hanya terlihat senang dan makmur di televisi. Padahal kenyataannya tidak demikian.
Soeharto dan Orde Baru memang menerapkan disiplin yang ketat demi menancapkan wacananya di benak masyarakat. Mulai dari sentralisasi dan pengawasan yang ketat terhadap media nasional. Hingga dalam pengajaran di sekolah-sekolah, yang mendoktrin bahwa Orde Baru adalah penjaga setabilitas nasional, pemegang teguh ajaran Pancasila dengan penataran-penataran P4-nya. Siswa-siswi di sekolah pun selalu diinformasikan bahwa Indonesia adalah negara yang kaya, subur, makmur, sentosa, gemah ripah loh jinawi. Dan dengan sering menyeru sila ke V Pancasila ‘Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’, seolah-olah pemerintah telah berbuat adil terhadap seluruh rakyatnya. Kekokohan disiplin ini juga diperkuat dengan ancaman pembredelan media, yang dianggap membahayakan kedudukan dan kekuasaan Orde Baru.
Foucault juga menggunakan istilah normalisasi untuk praktik semisal Orde Baru tersebut. Normalisasi ini menghasilkan klasifikasi, yang dalam studi Foucault, Gila dan Waras. Namun dalam konteks Indonesia, Orde Baru khususnya, klasifikasi ini bisa juga diarahkan pada para pengacau=para demonstran, dan orang taat hukum=orang yang mendukung kekuasaan Orde Baru, meski tanpa ia sadari.
Demi memperjelas perbedaan antara si gila dan si waras, menurut Foucoult kekuasaan disipliner membangun panoptikon, yakni sebuah desain sebuah penjara yang menempatkan sebuah menara di posisi tengah agar semua sel tersebut bisa terlihat semua sel dan bangunan lain. Setiap penghuni sel bisa dilihat bisa dilihat oleh pengawas yang berada di menara, dan tidak sebaliknya. Sel-sel itu lantas menjadi “teater-teater kecil di mana sang aktor berada sendirian, yang sepenuhnya terindividuasi dan terus-menerus diawasi.
Meski ide tentang panoptikon ini masih diragukan pernah ada tidaknya, tapi sangat tepat kiranya bila menjadi metafora pemenjaraan para aktivis pengkritik pemerintah Orde Baru.[MS Wibowo]
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang berarti sesuai atau wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, sosial dan agama.
Perkembangan yang terjadi dalam pengetahuan ternyata melahirkan sebuah polemik baru karena kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa kita sebut sebagai netralitas pengetahuan (value free). Sebaliknya ada jenis pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai atau yang lebih dikenal sebagai value baound. Sekarang mana yang lebih unggul antara netralitas pengetahuan dan pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai
Bagi ilmuwan yang menganut faham bebas nilai kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan akan lebih cepat terjadi. Karena ketiadaan hambatan dalam melakukan penelitian. Baik dalam memilih objek penelitian, cara yang digunakan maupun penggunaan produk penelitian.
Sedangkan bagi ilmuwan penganut faham nilai terikat, perkembangan pengetahuan akan terjadi sebaliknya. karena dibatasinya objek penelitian, cara, dan penggunaan oleh nilai.
Kendati demikian paham pengetahuan yang disandarkan pada teori bebas nilai ternyata melahirkan sebuah permasalahan baru. Dari yang tadinya menciptakan pengetahuan sebagai sarana membantu manusia, ternyata kemudian penemuannya tersebut justru menambah masalah bagi manusia. Meminjam istilah carl Gustav Jung “bukan lagi Goethe yang melahirkan Faust melainkan Faust-lah yang melahirkan Goethe”.
Dalam aksiologi, ada dua penilain yang umum digunakan, yaitu etika dan estetika. Etika adalah cabang filsafat yang membahas secara kritis dan sistematis masalah-masalah moral. Kajian etika lebih fokus pada prilaku, norma dan adat istiadat manusia.
Etika merupakan salah-satu cabang filsafat tertua. Setidaknya ia telah menjadi pembahasan menarik sejak masa Sokrates dan para kaum shopis. Di situ dipersoalkan mengenai masalah kebaikan, keutamaan, keadilan dan sebagianya. Etika sendiri dalam buku Etika Dasar yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno diartikan sebagai pemikiran kritis, sistematis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Isi dari pandangan-pandangan moral ini sebagaimana telah dijelaskan di atas adalah norma-norma, adat, wejangan dan adat istiadat manusia. Berbeda dengan norma itu sendiri, etika tidak menghasilkan suatu kebaikan atau perintah dan larangan, melainkan sebuah pemikiran yang kritis dan mendasar. Tujuan dari etika adalah agar manusia mengetahi dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan.
Dalam perkembangan sejarar etika ada empat teori etika sebagai sistem filsafat moral yaitu, hedonisme, eudemonisme, utiliterisme dan deontologi. Hedoisme adalah padangan moral yang menyamakan baik menurut pandangan moral dengan kesenangan. Eudemonisme menegaskan setiap kegiatan manusia mengejar tujuan. Dan tujuan manusia adalah kebahagiaan.
Selanjutnya utilitarisme, yang berpendapat bahwa tujuan hukum adalah memajukan kepentingan para warga negara dan bukan memaksakan perintah-perintah ilahi atau melindungi apa yang disebut hak-hak kodrati. Selanjutnya deontologi, adala h pemikiran tentang moral yang diciptakan oleh Immanuel Kant. Menurut Kant, yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak baik. Semua hal lain disebut baik secara terbatas atau dengan syarat. Misalnya kekayaan manusia apabila digunakan dengan baik oleh kehendak manusia. Sementara itu, cabang lain dari aksiologi, yakni estetika dibahas dalam sesi lain. yang jelas, estetika membicarakan tentang indah dan tidak indah.[MS Wibowo]
Manusia, baik sebagai individu atau masyarakat, menyimpan segudang dilema yang sangat menarik jika diperbincangkan. Banyak dimensi yang cukup sulit untuk dipecahkan dalam misteri dari individu bernama manusia. Dilema-dilema itu antara lain terkait masalah ketuhanan, jiwa/roh, kebebasan, dan lain sebagainnya.
Sedangkkan dalam lingkup yang lebih besar, yakni masyarakat, persoalan yang timbul lebih kompleks lagi. Sebagai makhluk yang dikaruniai akal, manusia selalu berfikir dan mempunyai keinginan/tujuan. Dalam upaya meraih tujuan yang diharapkan tersebut, kerap terjadi gesekan-gesekan kepentingan antara individu.
Kemudian dalam kehidupan bermasyarakat, biasanya ada adat atau warna-warna tertentu yang saling berbeda antara masyarakat yangsatu dengan yang lain. Hal ini bisa memicu perselisihan yang lebih besar. Bukan hanya antar individu tapi antar masyarakat. Oleh karenanya perlu adanya semacam peraturan yang disepakati umum, agar dalam merajut kepentingan pribadi manusia tidak mengganggu kepentingan orang lain.
Dalam masyarakat, ada norma-normatertentu yang berisi perintah dan larangan. Norma-norma ini juga dimaksudkan agar keseimbangan dan harmonisasi kehidupan masyarakaattetap terjaga. Norma adalah aturan-aturan yang bersifat memerintah dan melarang. Tanggung jawab sebagai konsekwensi pelanggaran tersebut berbentuk tanggung jawab moral.
Norma terbagi menjadi dua, yaitu Norma khusus dan Norma umum. Norma khusus adalah aturan-aturan yang berlaku dalam suatu masyarakat atau kelompok tertentu. Norma semacam ini belum tentu terdapat dalam kelomppok lain di luarnya. Misalnya dalam agama Hinddu terdapat larangan menyembelih sapi, tapi sebagaimana kita tahu, aturan ini tidak berlaku bagi agama lainnya. Begitu pula dalam kelompok atau misalnya geng-geng motor, masing-masing memunyai aturan khussus yang berbeda-beda.
Sementara norma umum berisiaturan-aturan yang bersifat lebih universal. Sebagian masyarakat dunia akan mengakui norma ini. Misalnya, larangan mencuri, membunuh, menghormati orang tua dan sebagainya. Norma umum ini terbagi lagi menjadi tiga macam, yakni norma sopan santun yang menyangkut sikap lahiriah manusia.
Kedua norma hukum, adalah norma-norma yang dituntut tegas oleh masyarakat karena dianggap perlu demi terciptanya keselamatan dan kesejahtraan umum. Norma hukum ini tidak sama dengan norma moral. Norma ini tak dipakai untuk mengukur baik buruknya seseorang manusia, melainkan untuk menjamin ketertiban umum.
Dan ketiga norma moral, yang merupakan tolak ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang. Di sini, bobot kebaikan seseorang tidak diukur dari satu segi saja, melainkan sebagai manusia.
Termasuk dalam ajaran moral adalah ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, kumpulan peraturan atau ketetapan entah lisan maupun tertulis, tentang bagaimana manusia harus bertindak agar menjadi manusia yang baik. Dalam hal ini, moral bisa diartikan sebagai kumpulan dari norma-norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat.
Kemudian sampai pada pembahasan selanjutnya yakni etika. Etika adalah kajian atau pemikiran sistematis, kritis dan mendasar tentang moralitas. Berbeda dengan moral, yang dihasilkan etika bukanlah kebaikan, melainkan suatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis. Salah-satu tujuan etika adalah membantu kita mencari orientasi, agar kita tidak hanya ikut-ikutan saja terhadap berbagai pihak yang mau menetapkan bagaimana kita harus hidup. Karenanya, dengan etika diharapkan kita dengan sadar melakukan segala hal perbuatan dan tatacara hidup. Sehingga kita lebih mampu mempertanggungjawabkan kehidupan kita.
Saat ini, keberadaan etika sangat diperlukan. Bahkan dinyatakan oleh K. Bartens dalam bukunya yang berjudul ’Etika’, saat ini etika sedang naik daun. Masyarakat yang semakin plural, meliputi berbagai suku, bangsa, bahasa, ideologi dan sebagainya. Mereka masing-masing membawa norma-norma moral yang berlainan satu sama lain. Kesatuan tatanan moral hampir tak ada lagi.
Kondisi ini diperparah dengan gelombang globalisasi dan modernisasi yang tiada henti. Gelombang modernisasi telah merasuk ke segala penjuru dan pelosok tanah air. Berbagai perubahan dalam masyarakat pun terjadi. Baik dalam penggunaan teknologi yang semakin canggih, maupun cara berfikir masyarakat pun berubah secara radikal. Rasionalisme, individualisme, sekularisme, kepercayaan akan kemajuan, konsumereisme, pluralisme religius serta sistem pendidikan secara hakiki mengubah budaya dan rohani di Indonesia.
Perubahan demi perubahan tersebut pun banyak dimanfaatkan oleh orang lain yang ingin memancing diair keruh. Mereka menawarkan ideologi-ideologi mereka sebagai obat penyelamat.
Melihat kondisi tersebut, etika akan membantu kita agar tak kehilangan orientasi dan mengambil sikap yang dapat kita pertanggungjawabkan. Etika juga membantu kita menghadapi ideologi-ideologi, yang mengaku sebagai penyelamat itu, secara kritis dan objektif.
Etika dan Agama
Selama ini agama sering dianggap sebagai sebuah institusi moral. Para agamawan, dengan pengusaan terhadap wahyu Tuhan, menjadi legalisator hukum moral. Umumnya para agamawan itupun mendapat kepercayaan dari umatnya. Para agamawan tersebut selalu mampu menjelaskan moral versi mereka dihadapan umatnya. Bagi umat yang taat, setiap kata agamawan itu adalah firman Tuhan yang harus dipatuhi.
Tapi bukan berarti moral agama tanpa masalah. Interpretasi terhadap wahyu Tuhan menjadi masalah yang selalu dihadapi para ulama atau semacamnya. Hingga kini, telah terbit puluhan tafsir dari kitab suci, misalnya Al-Quran. Dan terkadang masing-masing madzhab memiliki tafsir yang berbeda terhadap kitab suci. Maka tak jarang apa yang menurut kita adalah tafsir atau maksud dari kitab suci, ternyata hanya penafsiran satu madzhab belaka.
Disamping itu, dalam pluralnya masyarakat saat ini, moral agama hanya bersifat ekslusif. Ia tak mampu menjelaskan moral terhadap orang diluarnya. Dan walaupun mampu mendoktrin pengikutnya tentang moral, tapi mereka tak punya dasar yang kuat sebagai pertanggungjawaban di hadapan publik umum. Ketika ditanya mengapa mereka melakukan perbuatan ini itu dan melarang yang lainnya, mereka hanya mengutarakan jawaban bahwa ini yang diperintahkan Tuhan dalam kitab suci. Karena itu, penting kiranya etika untuk mempertanggungjawabkan itu semua secara universal dan inklusif.
Etika Merupakan Bagian Filsafat
Etika merupakan salah-satu cabang tertua dari filsafat. Hal itu bisa dinyatakan setidaknya melalui tiga sudut pandang. Tiga sudut pandang tersebut adalah sejarah, tema-tema yang dikaji dan definisi. Dari sudut pandang sejarah telah dimulai dari zaman klasik sejarah filsafat, yang selalu dipenuhi dengan pembahasan tentang etika. Setidaknya terhitung sejak masa hidup Sokrates.
Sokrates dan para Kaum Shopis adalah orang-orang yang memindahkan filsafat dari kosmosentris ke antroposentris. Dan di antara tema-tema yang menjadi objek kajian adalah etika, misalnya nilai, kebebasan, suara hati, jiwa, ego, super ego dan sebagainya.
Filsafat membahas berbagai persoalan yang pernah terjadi pada setiap masa. Seperti Sokrates membahasa masalah moral, karena ketika itu moral mulai dipersoalkan seiring dengan berkambangnya filsafat yang selalu mengkritisi segalanya. Sokrates tampil dimuka umum untuk memperoleh jawaban yang memuaskan tentang keutamaan, keadilan, dan kebajikan. Di zaman modern, tampil Immanuel Kant sebagai tokoh yang membahas moralitas dengan menulis Critique of Practical Reason.
Filsafat pada umumnya didefinisikan sebagai suatu tindak pemikiran yang logis, kritis, mendasar hingga ke akar-akar permasalahan. Dalam buku Persoalan-Persoalan Filsafat yang diterjemahkan oleh H. M. Rasjidi, salah-satu definisi filsafat yang diajukan adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan yang sangat kita junjung tinggi.
Dalam hal ini, norma dan moral secara tak langsung menjadi objek yang harus dikaji oleh filsafat. Sebab sebagai mahluk sosial, manusia tak habis-habisnya menghadapi bermacam problema. Dalam hubungan antar manusia, moralitas menjadi persoalan pokok yang amat mengusik. Masalah ini tak habis-habisnya untuk dibahas dari zaman dahulu hingga sekarang. Sebagaiman telah dijelaskan dalam pendahuluan makalah ini. Dan etika adalah cabang yang mengkaji moral secara kritis, sistematis dan mendasar. Oleh karena itu, layak disebut sebagai cabang dari filsafat.
Di sini tak akan dibahas cabang dan pemabagian-pembagian etika. Namun, sebagaimana telah disinggung, bahwa etika adalah bagian dan sangat penting menjadi kajian filsafat.
Etika sebagai ilmu melanjutkan kecendrungan kita dalam hidup sehari-hari. Etika mulai, jika kita merefleksikan unsur-unsur etis dari pendapat-pendapat yang spontan. Kebutuhan refleksi ini dirasakan manakala pendapat kita berbeda dengan orang lain. Maka timbulah pertanyaan, siapa yang paling benar? Apa dasar objektifitas dari argumen kita? Dan lain sebagainya. Tugas etika adalah menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Dengan demikian, filsafat merupakan sebuah refleksi kritis, metodis, dan sistematis tentang tingkah laku manusia, sejauh berkaitan dengan norma atau dari sudut baik dan buruk.
Dalam konteks Yunani kuno, etika telah berbentuk dengan kematangan. Etika adalah ilmu yang tidak merupakan suatu ilmu empiris. Filsafat tidak membatasi diri pada gejala-gejala kongkret belaka sebagaimana sains. Filsafat memberanikan diri juga untuk melampau taraf kongkret dengan seolah-olah menanyakan dibalik gejala-gejala konkret.
Ciri khas filsafat juga tampak dalam etika yang juga tak terhenti pada hal-hal konkret, pada yang secara faktual dilakukan. Tapi ia bertanya tentang yang harus atau tidak boleh dilakukan, tentang baik atau buruk dilakukan.
Dalam contoh kasus korupsi misalnya. Etika tidak akan menanyakan, bagaimana fungsinya dalam masyarakat, apakah banyak dilakukan, golongan mana yang terlibat, alasan apa saja yang menyebabkan mereka melakukan korupsi. Ini semua merupakan pertanyaan sosiologi.
Dalam kasus ini, etika akan menyibukan diri dengan segi normatif dan evaluatif. Misalnya, apakah korupsi dapat dibenarkan atau tidak? Bagaimana argumen mereka yang menolak dan mendukung korupsi? Apakah argumen mereka dapat dipertanggungjawabkan? Dan tentu saja etika terlebih dulu harus menyelidiki apa yang persisnya disebut dengan korupsi.
Etika bisa disebut juga sebagai filsafat praktis, karena ia membahas ”yang harus dilakukan”. Selain itu, etika juga langsung berhubungan dengan prilaku manusia. Tetapi etika tidak merupakan filsafat praktis dalam arti menyajikan resep-resep yang siap pakai. Bidangnya tidak teknis melainkan reflektif. Etika merefleksi tema-tema yang menyangkut prilaku manusia. Tema-tema yang dianalisis seperti yang disebut di atas antara lain, hati nurani, kebebasan, tanggung jawab, nilai, norma, hak, kewajiban dan keutamaan. Pendek kata, etika bergerak dibidang intelektual yang objeknya langung berkaitan dengan praktek kehidupan kita. Nilai dan norma etis dalam moralitas yang terdapat dalam agama, kebudayaan, nasionalisme, pergaulan anak muda dan lain-lain, menjadi objek kajian intelektual etika yang langsung dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara itu, M. T. Misbah Yazdi dalam bukunya ’Falsafeh ye Akhlak’, yang diterjemahkan Amar Fauzi H. dan diterbitkan Al-Huda dengan judul ’Meniru Tuhan’, menjelaskan bahwa salah-satu faktor terpenting dalam pencapaian kebahagiaan dunia ahirat adalah akhlak mulia. Yang dimaksud dengan akhlak di sini tak lain adalah moral. Mengingat dalam definisi akhlak dalam buku ini mengacu pada arti etika pada umumnya. Disebutkannya bahwa ilmu akhlak (filsafat etika) adalah pengetahuan tentang tradisi, adat istiadat, dan sifat-sifat manusia. Selain itu, pembagian-pembagian akhlak juga sama dengan pembagian etika pada umumnya, seperti akhlak deskriptif dan normatif.
Misbah Yazdi menjelaskan bahwa menurut Islam, akhlak adalah satu ajaran fundamental di samping akidah dan syariat. Ia adalah jalan hidup dan arah gerak lurus menuju kesempurnaan sejati. Bagi Misbah Yazdi, ahklak (moral) adalah satu-satunya jalan menuju kebahagian dunia akhirat.
Sains dan Filsafat
Pembahasan kedua dalam makalah ini adalah tentang hubungan sains dengan filsafat. Sains atau ilmu pengetahuan pada zaman klasik tak terpisah dengan filsafat. Para filsuf terdahulu seperti Aristoteles dan Plato selalu mendasarkan penyelidikannya pada metafisika. Plato misalnya, menyatakan bahwa pengetahuan yang kita punya saat ini adalah bawaan dari alam idea. Proses berfikir ia samakan dengan proses mengingat apa-apa yang pernah dilihat oleh manusia di alam idea dahulu. Baginya, pengetahuan manusia bersifat apriori (mendahului pengalaman). Begitu pula dengan para filsuf-filsuf sebelumnya. Sejak Thales dan para pemikir sebelum Sokrates dan Kaum Shopis, mereka menumpahkan perhatian filsafatnya pada proses kejadian alam semesta, yang berarti objek fisik.
Tapi seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern, yang diawali oleh renaisans yang kemudian disambut hangat oleh kaum empirisme, peta sains mulai bergeser. Namun metodelogi rasionalisme yang dimotori Descrates sebagai penggerak renaisans berbeda dengan empirisme. Jika rasionalisme beranggapan bahwa pengetahuan yang sahih hanya diperoleh melalui rasio, empirisme mengatakan bahwa pengetahuan yang sahih bersumber dari pengalaman. Menurut empirisme, pengetahuan tidak diperoleh secara apriori melainkan aposteriori (melalui pengalaman).
Gejolak renaisains itu pun terus bergulir ke Jerman dengan zaman pencerahannya. Kemudian sampailah kita pada aliran positivisme yang dibangun oleh Agust Comte. Melalui positivismenya, Comte menegaskan pengetahuan tidak melampaui fakta-fakta. Ia kemudian menolak metafisika. Dan pada akhirnya, ia menolak, etika, teologi dan seni, yang dianggap melampaui fenomena-fenomena yang teramati. Menurut Comte, sejarah pengetahuan berkembang melalui tiga tahap. Dari tahap teologis, metafisis dan terahir positifis. Baginya perkembangan ini layaknya perkembangan kehidupan manusia, mulai dari anak-anak, remaja, kemudian dewasa.
Pada tahap dewasa ini, manusia tidak lagi mengamati objek-objek yang tak teramati, melainkan semua objek yang dapat diindra. Akhirnya, pada tahap positifis ini, organisasi masyarakat industri menjadi pusat perhatian. Ekonomi menjadi primadona dan kekuasaan elit intelektual muncul. Bagi Comte, sosiologi merupakan ilmu baru untuk mengorganisasikan masyarakat industri.
Seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat, doktrin positifisme yang hanya memusatkan diri pada hal yang faktual pun mulai merajarela. Ia semakin perkasa dan seakan-akan membenarkan bahwa teologis, metafisis adalah masa kanak-kanak pertumbuhan masyarakat dunia. Apalagi teknologi yang semakin membantu manusia dalam berbagai aktivitasnya, misalnya mobil, telepon, internet dan sebagainya, memberantas penghalang hubungan manusia modern. Sehingga jarak dan waktu bukan jadi masalah lagi.
Tetapi di tengah kemajuan teknologi tersebut, ada masalah yang mulai menyelimuti manusia. Teknologi yang awalnya diciptakan untuk melayani dan mempermudah manusia pada perjalanannya lain. Kini teknologi mulai berbalik menyerang manusia. Manusia mulai kehilangan nilai-nilai kemanusiaannya. Banyak kemajuan teknologi yang justru merusak lingkungan dan nilai kemanusiaan.
Jika menilik pada sejarah sebelumnya, sains atau ilmu pengetahuan, selalu berhubung erat dengan filsafat dan cabang-cabang lain seperti metafisika, etika dan sebagainya. Terlebih dalam tradisi filsafat Islam. Sains masih terkait erat dengan filsafat bahkan theologi. Dalam karya Mulyadi Kartanegara yang berjudul ’Gerbang Kearifan’ dijelaskan, tak ada objek ilmu satu pun yang tak berhubungan dengan dunia metafisik. Para filsuf muslim memandang bahwa terdapat sumber abadi dan sejati bagi apapun yang terjadi di jagad raya ini, yang pada gilirannya akan dijadikan objek penelitian.
Selain itu, tujuan dari semua ilmu dari sudut aksiologis adalah memperoleh kebahagiaan. Menurut para filsuf muslim, kebahagiaan dalam menuntut ilmu dengan objek keilmuannya. Karena meteafisika adalah ilmu yang mempelajari Sebab Pertama atau Tuhan, yang menempati objek tertinggi ilmu, maka filsafat (metafisika) patut dijadikan basis etis penelitian ilmiah. Kebahagiaan yang dituntut di sini bukan hanya kebahagian fisik yang bersifat sementara. Tapi kebahagiaan hakiki yang bersifat abadi dengan ketenangan jiwa.
Menilik sejarah peradaban keilmuan Islam, sains memang tak bisa dilepaskan dari filsafat. Dari masa ke masa, baik pemerintahan Bani Umayyah dan Abasiyah, tak ada beda antara sains dan filsafat. Bahkan dalam tradisi Islam, filsafat disebut sebagai induk dari ilmu aqliah. Pada tahun 700 dalam pemerintahan Dinasti Umayyah, terbangun observatorium astronomi di Damaskus. Begitu pula pada Dinasti Abasiyah, Khalifah Al-Mansyur diriwayatkan pernah mengumpulkan ilmuan, termasuk dokter-dokter dari Persia sampai India. Ini membuktikan, bahwa dalam Islam, sains dan filsafat tetap berdampingan. Dan hingga kini, hal itu tetap terjaga.
Di akhir makalah ini, saya ingin menyimpulkan bahwa Etika dan Sains merupakan filsafat praktis. Karena keduanya, dalam penerapannya, langsung berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Keduanya sama-sama bertujuan memberi solusi atas kesulitan dan masalah yang dihadapi manusia. Misalnya ilmu kedokteran, teknologi telepon / media komunikasi. Semua beri’tikad memperlancar dan memberi solusi dari kesulitan yang dihadapi manusia. Usaha pemikiran, penelitian yang dilakukan secara kritis dan sistematis merupakan cara kerja filsafat. Karena itu, keduanya merupakan cabang dari filsafat.
Daftar Pustaka
-Bakar, Osman, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Mizan Jakarta,
-Bertens, K. Etika, Gremedia, Jakarta, Cet. Ke 9 2007
-Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern, Gramedia, Jakarta, 2004
-Kartanegara, Mulyadi, Gerbang Kearifan, Lentera Hati, Jakarta 2006
-Suseno, Fran Magnis, Etika Dasar, Kanisius, Yogyakarta, 1987
-Titus, Harold H., Marilyn S. Smith, Ricard T. Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat, Bintang Terang, Jakarta, 1984
-Yazdi, M. T. Misbah, Meniru Tuhan, Al-Huda, Jakarta, 2006
Wawancara Ekslusif Dengan Syafiq Hasyim Oleh : MS Wibowo
Syafiq Hasyim: Di kelas, kita tak bisa bebas berekspresi, kita tak bisa bebas bertanya tentang sesuatu yang secara konfensional tak boleh ditanyakan. Kalau dengan teman sendiri dalam klompok studi, tidak ada batas larangan mana yang boleh dan yang tidak. Kamu bebas bertanya apa saja. UIN Jakarta yang sejak zaman Rektor Harun Nasution diakui sebagai pusat pemikiran Islam. Gerakan pembaruan Islam it terus bergulir dari masa ke masa. Kegemilangan tradisi pemikiran tersebut menjadikan Ciputat memiliki ciri khas pemikiran tersendiri. Tak heran jika tren intelektual itu melahirkan sebuah corak pemikiran yang disebut –adzhab Ciputat.
Tetapi menginjak tahun 2000an hingga kini, pamor tersebut semakin lama kian pudar. Beberapa kalangan saling tuding penyebab hal tersebut. Ada yang berpendapat bahwa perubahan tersebut akibat konversi IAIN ke UIN, ada juga karena kentalnya iklim politik mahasiswa di UIN Jakarta, ada juga yang beranggapan budaya pop masa kinilah yang paling bertanggungjawab atas semuanya dan lain-lain.
Terlepas dari itu semua, berikut akan saya posting kembali wawancara dengan Syafiq Hasyim, mahasiswa AF/FUF/IAIN angkatan 90an, yang merupakan pelaku sajarah zaman emas pemikiran Islam ketika itu. Wawancara ini saya lakukan pada November 2007 lalu dan pernah dimuat di Tabloid Institut edisi V serta telah dipost di www.lpminstitut.com pada (9/11/2007).
Pada masanya, Syafiq merupakan salah-seorang pendiri PIRAMIDA CIRCLE, Forum Studi anak-anak NU yang ingin eksis di dunia tulis menulis dan diskusi serta tidak/ kurang terlibat di organisasi formal. Piramida Circle sendiri hingga kini masih kokoh bercokol di Ciputat sebagai forum kajian bersaing dengan Formaci dan forum-forum studi lainnya, yang sama-sama mulai digerus oleh budaya pragmatis mahasiswa. Berikut petikan wawancara tersebut.
1. Ciputat dinilai masyarakat telah menghasilkan banyak tokoh intelektual pembaharu Islam, mereka membawa gerbong pemikiran Islam tersendiri yang disebut Madzhab Ciputat. Sebetulnya apa yang khas dari mereka sehingga disebut madzhab Ciputat?
Satu sisi saya tidak antusias menggunakan istilah itu, Ciputat dijuluki seperti itu karena Ciputat mempunyai sejarah yang berbeda dari tempat lain. Ini tak lepas dari peran Negara menempatkan intitusi pendidikan yang mampu menelurkan sarjana muslim yang dipandang memiliki peranan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
2. Pemikiran seperti apa yang dikembangkan para intelektual generasi madzhab Ciputat?
Sekali lagi saya tidak sepakat dan tidak paham siapa yang menggunakan istilah ini, dikembangkan oleh siapa, tahun berapa. Jangan terjebak pada lokalitas yang sebetulnya tidak perlu di tonjol-tonjolkan. Yang saya tahu Harun Nasution dikenal rasionalitasnya. Karena pada masa itu Harun sedang menghadapi problem konservatisme agama. Kemudian diteruskan Cak Nur dengan Insiklufitas agama yang belum tersentuh oleh Harun Nasution. Dan mereka tak terlalu menonjolkan ke-Ciputatan-nya. Ciputat adalah bagian kecil dari hidup mereka. Kemudian muncul pula tokoh-tokoh seperti Kautsar, Fakhri Ali, Azyumardi Azra dan lain-lain yang masing-masing punya ciri khas berbeda. Tidak ada yang bisa di konklud menjadi pemikiran sendiri kecuali pemikiran keislaman pembaharuannya. Ciputat hanyalah bagian kecil dari islam.
3. Bagaimana kondisi intelektual mahasiswa IAIN pada masa anda?
Zaman saya membaca dan memiliki banyak buku merupakan kebanggaan tersendiri. Kemudian aktif di kelompok studi, menulis di koran dulu menjadi ukuran intelektual. Tapi kita tidak fair kalau memaksakan ukuran kita pada mereka. Kan harus partisipatoris.
4. Kalau mencermati kondisi kekinian mahasiswa, bagaimana Anda menilai gairah intelektual mahasiswa UIN?
Saya melihat mahasiswa saat ini masih ada yang menulis di media, kalau toh itu jadi ukurannya. Karena sekarang spektrum-nya mungkin lebih luas. Medan untuk mereka beraktivitas mungkin lebih luas. Dan itu merupakan konsekwensi logis dari perluasan IAIN menjadin UIN. Saya percaya setiap generasi itu pasti akan ada yang baik, yang jadi pemimpin. Kalau tidak, hadits Nabi yang mengatakan bahwa setiap generasi itu pasti akan ada seorang mujadid itu salah. Saya percaya itu, Cuma ukurannya berbeda-beda. Mahasiswa UIN sekarang kan puluhan ribu. Sedangkan zaman dulu hanya tiga ribuan. Kemudian disiplin keilmuan saat ini semakin beragam. Tak usah pesimistis dan terlalu menyalahkan keadaan saat ini.
5. Menurut Anda tradisi intelektual seperti apa yang cocok dikembangkan mahasiswa UIN saat ini?
Bayangan saya, mereka bisa mengembangkan apa yang didapat dari fakultas masing masing. Menyelesikan studi dengan baik, beraktivitas sosial di luar kampus, menghidupkan kelompok-kelompok studi yang ada. Dan beradaptasi dengan lingkungan UIN serta responsif dengan perkembangan zaman.
7. Banyak kalangan menilai gairah intelektual mahasiswa Ciputat semakin menurun. Menurut Anda apa faktor apa saja yang menyebabkan penurunan gairah intelektual tersebut?
Itu hanya asumsi, apakah benar sekarang menurun? Benarkah keadaan intelektual zaman dulu lebih bagus. Variabel dan indikator yang dipakai seperti apa? Sebab tantangan yang dihadapi mahasiswa sekarang dan dulu berbeda. Ukuran keberhasilan juga berbeda. Saya mungkin termasuk orang yang coba memahami keadaan mahasiswa sekarang
8. Apa saja ukuran intelektualitas mahasiswa menurut pendapat Anda?
Harus lengkap dan memperhatikan variable perkembangan zaman yang memang berubah. Selain itu harus diperhatikan perubahan-perubahan di dalam IAIN itu sendiri. Jadi tidak sesederhana yang kita bayangkan. Misalnya karena mahasiswa tidak ada yang menulis di koran, kelompok studi sepi, mahasiswa sekarang orientasinya lebih pada dunia non-akademis, kemudian dijadikan tolak ukur.
9. Menurut Anda pemikiran Islam seperti apa yang cocok dikembangkan di UIN Jakarta khususnya dan Indonesia pada umumnya?
Mengimajinasikan sebuah Islam yang pantas di IAIN/UIN, apalagi sebuah Negara, bagi saya itu terlalu besar. Tapi yang paling penting, menurut saya, bagaimana UIN mampu menjawab dan merespon kegelisahan masyarakat disekitar UIN. Kegelisahan yang saya maksud adalah kalau ada kritik dari orang seperti Adian Husaini atau Hartono AJ. harus ditanggapi secara gentleman. Dalam arti diklarifikasi, kalau mereka tidak benar secara hukum, maka tuntut saja. Disomasi atau apalah bahasanya. Itu juga akan berpengaruh terhadap citra IAIN.
10. Terkait dengan image UIN di masyarakat yang dianggap liberal , dimana mereka melihat dari kiprah dosen dan alumninya, bagaimana anda menilainya?
Kita tidak bisa menjadikan hanya Ciputat sebagai faktor determinal. Ciputat itu bagian kecil saja. Sedangkan promotor JIL saja, Ulil Abshar Abdalla, sama sekali tidak ada hubunganya dengan Ciputat. Kalau ditanya satu-persatu mungkin lebih banyak yang tidak setuju dengan JIL. Saya sendiri pengurus JIL. Cuma kalau ditanya seperti itu, pasti di UIN lebih banyak yang tidak setuju dengan JIL. Dan kalau itu (Islam Liberal) menjadi ukuran kemajuan, UIN Jakarta ini konservatif sekali. Karena misalnya keluhan Zainun kamal yang tak mendapatkan tempat selayaknya di UIN, dan orang yang mencaci dia. Dan sekali lagi kalau kita bicara UIN Jakarta, Fakultas Syariah itu gudangnya konservativisme. Dan mungkin hanya FUF yang mau beradaptasi dengan keragaman dan progresif Islam.
11.Pendapat Anda tentang buku Ada Pemurtadan di IAIN?
Itu hak Hartono. Ya boleh-boleh saja. Tapi menurut saya seharusnya diproses secara hukum saja. Karena dia sudah menjelek-jelekan orang lain. Somasi saja. Seperti gayanya SBY atau Gus dur, yang kalau dia merasa disinggung atau dituduh bersalah. Sedangkan dirinya tidak melakukan apa yang dituduhkan. Kenapa tidak kita jerat saja itu dengan pasal memicu permusuhan?
10. Di UIN sekarang berkembang gerakan Islam yang banyak kalangan menyebut gerakan fundamental. Apakah menurut Anda mereka akan mengancam punahnya tradisi intelektual UIN?
Bisa saja hal itu terjadi, hal ini mungkin karana saat ini fakultas umum terlalu banyak di UIN. Biasanya mereka berlatar belakang seperti itu hard saintis. Jadi mereka memandang agama seperti matematika saja. 1+1=2 3-1=2, jadi agama dipandang sebagai sesuatu yang bersifat pasti. Karena itu yang penting bagi mereka adalah mengamalkan agama bukan memikirkan agama. Itu kalau mau kita mau berfikir melihat keluar, tapi kalau berfikir kedalam, saya kira ini pertarungan antara teman-teman aktivis yang katakanlah pro kepada progresifisme dan yang tidak. Itu adalah kompetisi. Ketika baru masuk, mahasiswa blank kan. Tergatung bagaimana kita menggambil hati mereka. Saya kira itu dikembalikan kepada kemampuan kita untuk mereorganisir, merevitalisasi dan mengatur strategi bagaimana supaya UIN ini masih menjadi pusat pengembangan intelektual dan juga pusat pengembangan islam yang bukan konservatif tapi yang progresif dan moderat.
11. Ada yang mengatakan mahasiswa UIN Jakarta saat ini banyak yang mengalami disorientasi bagaimana pendapat anda?
Universitas harus mengambil peranan. Tidak semua mahasiswa punya pemikiran kedepan. Kalau saya dulu masuk Aqidah Filsafat sudah tahu mau kemana, mau jadi apa. Kadang mereka hanya memilih yang gampang-gampang saja, atau hanya sekedar milih. Maka Universitas harus memperkenalkan isu-isu penting mengenai Universitas itu sendiri. Karena itu menurut saya, Penjurusan itu harus fleksible. Tahun pertama mahasiswa dibebaskan memilih jurusan apa saja. Karena belum tentu semua tahu dunia baru mahasiwa. Harus ada Oreintasi yang kuat tentang Universitas itu sendiri. Sehingga perbedaaan yang kecil itu bisa membuat orang memilih. Misalnya kalau saya milih TH, nanti saya seperti Quraishihab atau siapa. Kalau saya pilih Aqidah Filsafat, nanti saya begini, seperti ini seperti Kautsar atau siapa, harus tahu sendiri. Dan ini harus dikembangkan secara serius sekaligus sebagai pengenalan dan promosi.
12. Semasa kuliah di UIN Jakarta, Anda adalah salah-seorangi aktivis Kelompok Studi Piramida Circle, salah-satu kelompok studi yang kini masih eksis. Menurut anda apa manfaat aktif di forum diskusi? Dan mengapa Anda memilih aktif di Kelompok Studi”
Sangat besar. Buat saya kelompok-kelompok studi itu adalah the real university. Karena dengan kelompok itu kita akan berinteraksi dengan buku dan pemikiran. Meski di kelas kita juga mendapatkannya. Tapi itu sangat formalistik. Oleh karenanya kita tak bisa bebas berekspresi, kita tak bisa bebas bertanya tentang sesuatu yang secara konfensional tak boleh ditanyakan. Kalau dengan teman sendiri dalam klompok studi, tidak ada batas larangan mana yang boleh dan yang tidak. Kamu bebas bertanya apa saja. Yang kedua adalah support environment. Sebab dengan tinggal di kelompok studi, mau tidak mau kita harus senantiasa menyesuaikan diri dengan perkembangan intelektualitas. Itu manfaat yang paling besar. Kemampuan menulis juga saya dapat dari kelompok studi itu, bisa dapat pekerjaan. Di UIN saya lulus dengan nilai cumlaud. tapi kalau kita tak punya network percuma saja.
13. Ada kalangan yang berkomentar, dengan dibangunnya fakultas-fakultas umum, fakultas agama jadi terbengkalai. Sementara fakultas umum yang baru dibangun kurang diakui masyarakat. Beda dengan UI dan lainnya, bagaimana menurut anda?
Ya jelas lah. FK UI sudah puluhan tahun. Sementara FKIK UIN baru kemarin. Jangan melakukan penilain yang gegabah. UGM sama UI masih bagus UI apalagi dengan UIN. Kalau bikin kias itu liatnya yang sama. Masak membandingkan, mana yang lebih maju, teknologi Indonesia atau Amerika? Ya jelas maju Amerika. Tapi di pihak lain UIN tidak kalah. Dahulu orang bicara politik selalu merujuk pada analis-analis politik UI. Sekarang analis-analis politik dari UI kalah semua dengan Syiful Mujani yang alumni UIN. Itu juga kemajuan harus dicatat. Jadi selalu ada minus plusnya.[]