Pendahuluan; Sekilas Rentetan Aksi Demonstrasi
Tahun 1998 hingga 2000-an awal, kata demontrasi seperti tak pernah pergi menghiasi media cetak maupun elektronik. Sebab di tahun-tahun ini, aksi unjuk rasa atau demontrasi seperti tengah menjadi trend. Terlebih di kalangan mahasiswa.
Bermula dari tidak stabilnya perekonomian Indonesia tahun 1997, yang merupakan dampak dari krisis ekonomi di kawasan asia pasifik. Akibatnya, harga sembilan bahan pokok terus melambung. Rupiah pada masa itu sempat betengger dikisaran Rp.17000 per $.1 Amerika.
Krisis tersebut banyak menimbulkan kerugiaan besar di perusahaan-perusahan nasional. Bahkan banyak di antara mereka yang gulung tikar. Buntutnya, jumlah pengangguran semakin meningkat, yang berasal dari karyawan-karyawan yang bekerja sebelumnya.
Kondisi demikian, menyulut berbagai aksi protes masyarakat, yang dimotori oleh mahasiswa. Mereka menuntut pemerintah segera mengatasi krisis itu. Tapi pada saat itu, pemerintah Orde Baru sangat represif terhadap aksi-aksi massa. Bahkan pada masa sebelumnya, para aktivis yang menggelar aksi unjuk rasa, kerap diidentikan dengan gerakan pengacau keamanan (GPK). Banyak para aktivis mengalami penganiayaan bahkan penculikan dan pemenjaraan dengan dalih menjaga stabilitas nasional.
Finalnya, sebagai puncak dari kegeraman mahasiswa terjadi pada 12 mei 1998, setelah empat mahasiswa Trisakti tewas tertembak peluru aparat saat berdemonstrasi menuntut Soehaarto turun dari jabatan presidennya.
Seiring dengan itu bemacam kerusuhan, penjarahan, dan pembakaran merebak di berbagai tempat. Hal ini juga menimbulkan banyak korban jiwa serta kerugian materi yang tak terhitung jumlahnya. Etnis Tionghoa adalah yang banyak menjadi korban dari peristiwa itu.
Demonstrasi dan kerusuhan tak hanya melanda ibukota. Di daerah-daerah seperti Lampung, Yogyakarta, dan lain-lain terjadi kondisi serupa. Krisis ekonomi pun berkembang menjadi krisis kepercayaan. Masyarakat menganggap terpuruknya perekonomian Indonesia yang berkepanjangan disebabkan oleh korupsi, kolusi, dan nepotisme. Indikasi ini tampak dari diangkatnya beberapa kerabat presiden menjadi mentri. Di sisi lain, bisnis keluarga Pimpinan Negara makin merajalela, sementara hutang negara kian tak terbayar.
Melihat negara yang tengah carut marut diiringi ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah, Harmoko selaku ketu DPR/MPR meminta Soeharto untuk turun dari jabatannya. Keputusan itu kemudian diikuti mundurnya sebagiaan besar mentri yang duduk di kabinet pembangunan VII.
Akhirnya, setelah melakukan silaturahmi ke beberapa tokoh nasional di antaranya, Cak Nur dan Yusril Ihza Mahendra, Soeharto yang telah merasa tak didukung berbagai pihak mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan pada wakil Presiden B. J. Habibie.
Tapi bukan berarti aksi-aksi demonstrasi surut. Gelombang massa masih kerap memadati jalan-jalan protocol hingga masa kepemimpinan Habibi berakhir. Kemudian demonstrasi pun masih sering terjadi di tahun-tahun berikutnya, baik pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati hingga saat ini SBY. Tapi kekuatan dan volume massa kian lama kian berkurang.
Berdasarkan penuturan para aktivis ’98, sejak turunnya Soeharto dan diangkatnya Habibie, kekuatan mahasiswa telah terpecah. Sebagian mereka mendukung Habibie dengan alasan perjuangan mereka menurunkan Soeharto telah berhasil. Namun bagi sebagian yang lain, Habibie masih bagian dari rezim Soeharto. Karena itu, reformasi yang mereka inginkan belum berhasil.
Pudarnya Pamor Demonstrasi Sebagai Wujud Arbiter Bahasa.
Setelah Presiden Abdurrahman Wahid diturunkan MPR di tengah masa jabatanya, dan digantikan oleh Megawati, aksi-aksi pun surut drastis. Apalagi pada masa sekarang, demonstrasi di jalan menuntut pemerintah seperti barang usang. Image sebagai aktivis dan orator yang dahulu begitu dikagumi, kini telah berubah. Perubahan makna demonstrasi ini setidaknya terjadi tiga kali. Terhitung sejak masa jaya Orde Baru, menjelang dan awal Orde Reformasi, dan sekarang.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, para aktivis yang sering menggelar aksi unjuk rasa mengkritik pemerintah selalu diidentikan dengan usaha sekelompok oknum yang berusaha mengacaukan keamanan dan stabilisasi nasional. Berbeda dengan masa reformasi (menjelang dan pasca peristiwa 1998 hingga awal 2000an), para demonstran dianggap sebagai pahlawan yang memerjuangkan hak-hak rakyat kecil.
Makna demonstrasi pun segera berubah pada sekitar tahun 2003/2004 hingga sekarang. Di zaman ini, sebuah aksi demonstrasi yang terjadi, sering dipandang dengan multi interpretasi. Dengan enteng masyarakat akan mempertanyakan aksi sekelompok aktivis dengan sedikit cibiran. Misalnya, apa yang disuarakan atau diperjuangkan oleh sekelompok demonstran? Apakah mereka benar-benar memperjuangkan dan merepresentasikan kepentingan rakyat? Rakyat yang mana? Dan lain-lain.
Pertanyaan pun berkembang, diantaranya, dari organisasi atau kelompok mana para pengunjuk rasa berasal, juga menentukan interpretasi seseorang. Munculah pertanyaan-pertanyaan, apakah massa aksi murni atau orang yang dibayar? Sebab sudah menjadi rahasia umum, banyak aksi-aksi bayaran yang ditunggangi oleh oknum tertentu. Terkadang pula ada anggapan, aksi yang dilakukan suatu kelompok tertentu merupakan pesanan dari para senior mereka yang duduk di kursi legeslatif dan mempunyai kepentingan tertentu. Sudah menjadi rahasia umum pula terdapat banyak kelompok atau oraganisasi mahasiswa yang merupakan underbow dari partai tertentu.
Sebagai misal, aksi yang menuntut pengadilan mantan Presiden Soeharto dianggap sebagai kepentingan partai oposisi dari partai yang menjadi kendaraan Soeharto. Begitu pula dengan aksi menolak kenaikan BBM dan sebagainya, bisa diinterpretasikan sebagai moment untuk menggoyang citra partai atau orang tertentu. Apalagi aksi-aksi semacam itu, saat ini bisa dibilang terjadi musiman. Dan tak ada kontinuitas perjuangan yang jelas. Sering pula kita dapati, masing-masing organisasi atau kelompok, hanya mau melakukan aksi jika orang yang dituntut bukan dari partai yang dekat dengan kelompok tersebut dan sebagainya.
Dapat kita simpulkan, di sinilah sifat arbiter dari sebuah makna terjadi. Kata demonstrasi dan demonstran sebagai pelakunya, mengalami berbagai penafsiran.
Tiga Makna Demokrasi Di Mata Masyarakat
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata demonstrasi dapat diartikan sebagai pernyataan protes yangg dikemukakan secara massal. Protes bisa diartikan sebagai ungkapan ketidaksetujuan terhadap orang atau kelompok tertentu. Namun yang menjadi masalah bagi masyarakat awam zaman sekarang, siapa yang menunggangi aksi tersebut dan sebagainya.
Demonstrasi dalam arti yang lebih praktis telah mengalami perkembangan dan penyempitan makna dari masa ke masa. Pada zaman Soeharto, hampir setiap aksi massa dianggap sebagai upaya mengacaukan stabilitas negara. Karenanya wajib ditumpas dan ditekan sedemikian rupa. Soeharto pun di mitoskan sebagai penjaga kesetabilan bangsa Indonesia. Mitos ini memasyarakat karena Soeharto mengusai semua lini, termasuk media. Waktu itu, media berada satu komando di bawah pemerintah Soeharto. Berbagai kekejaman Soeharto dalam merepresi orang yang mengkritiknya tak pernah terdengar oleh masyarakat. Masyarakat hanya disuguhkan keberhasilan-keberhasilan Soeharto. Sehingga sekelompok orang yang berunjuk rasa mengkritik pemerintah di mata masyarakat dianggap sebagai gerombolang pengacau.
Represifitas ini juga diberlakukan pada media, terutama media massa cetak. Banyak koran dan majalah yang dibredel pemerintah karena dianggap membahayakan citra baik Soeharto. Demi keberlangsungan medianya, para pengelola media pun harus menerima satu dari dua pilihan, pro pemerintah dan langgeng atau kritis kemudian mati.
Kemudian pada massa 1997 hingga awal 2000an, sebagaimana dijelaskan di atas, para demonstran dianggap sebagai pahlawan. Mereka adalah pejuang hak-hak rakyat. Gelar ini mulai bergeser kurang lebih pada 2003/2004, di mana citra aktivis unjuk rasa mulai tercoreng karena aksi-aksi yang mereka gelar tak lebih dari pesanan kelompok elit tertentu demi memuluskan kepentingannya.
Demonstrasi; Dari Pengacau, Pahlawan Hingga Pencari Uang Rokok.
Jika mengacu pada disiplin semiotik, fenomena demonstrasi dapat dipahami berdasarkan model bahasa. Karena bagaimana pun juga, demonstrasi juga merupakan salah-satu bentuk dari kebudayaan manusia.
Dalam semiotika, apabila seluruh praktek sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa, maka semua bisa dianggap sebagai tanda-tanda. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Umberto Eco bahwa, di dalam kebudayaan setiap entitas menjadi fenomena semiotis. Kebudayaan dapat dikaji secara lengkap di bawah profil semiotik. Semiotik merupakan sebuah disiplin yang mesti berurusan dengan seluruh kehidupan sosial.
Fenomena kultural tersebut (dalam hal ini demonstrasi) bukan semata-mata objek atau peristiwa material, melainkan objek atau peristiwa yang bermakna. Merunut apa yang ditulis Kris Budiman, fenomena kebudayaan (demonstrasi) dapat dipandang dari dua sisi yang komplementer.
Pertama, sebagai sistem tanda-tanda dan kedua sebagai praktik-praktik penandaan. Sebagai sistem tanda-tanda, kebudayaan dapat dipandang sebagai teks, yakni struktur abstrak yang berada dibalik gejala yang tampak dipermukaan. Sementara sebagai praktik ataun penggunaan tanda-tanda.
Dalam semiotika Saussurian, 'tanda' merupakan dua bidang yang tak dapat dipisahkan, yakni penanda (signifier) dan petanda (signified). Menurut semiotika Saussurian, tanda harus mengikuti model kaitan struktural antara penanda dan petanda yang bersifat stabil dan pasti.
Sedangkan C. S. Pierce membedakan tiga kelas tanda, yang didefinisikan dalam konteks jenis hubungan antara item yang menandakan dan yang ditandakan. Pertama IKON, berfungsi sebagai tanda melalui persamaan inheren, atau unsur-unsur yang dimiliki bersama, dengan apa yang ditandakan. Kedua, INDEKS adalah sebuah tanda yang memiliki hubungan kausal dengan apa yang ditandakan. Dan ketiga, SIMBOL (atau dengan istilah yang kurang ambiguitas, “tanda sebenarnya”) hubungan antara item penanda dan apa yang ditandakan bukanlah sebuah hubungan yang alami, tapi merupakan sebuah konvensi sosial. Di sini, demonstrasi merupakan sebagai simbol hubungan antara penanda dan petanda yang merupakan sebuah konvensi sosial.
Mengacu pada semiotika Saussurian, di era Orde Baru dan 1998an, demonstrasi memiliki arti dalam kaitan struktur antara penanda dan petanda yang stabil. Penandanya (aspek materialnya) adalah sekelompok orang yang berkumpul di jalanan atau di depan sebuah instansi dengan berbagai atribut seperti poster, spanduk serta berorasi dengan menggunakan toa. Sementara petandanya (gambaran mentalnya) adalah pada masa jaya Orde Baru berarti para pengacau atau sekelompok orang yang mengancam stabilitas nasional.
Sedangkan pada masa 1998an, petanda tersebut berarti aktivis-aktivis demonstran adalah para pahlawan dan pemberani yang membela hak-hak rakyat. Di kedua masa ini, makna demonstrasi memiliki ikatan-ikatan ideologis. Meskipun berlainan bahkan berlawanan makna, namun keduanya merupakan petanda yang menjadi representasi dari penanda demonstrasi itu sendiri. Di sini, hubungan arbiter dari kaitan penanda dan petanda telah tampak.
Begitu halnya pada era 2004an hingga sekarang, para demonstrasi bisa tetap diartikan sebagaimana apa yang melekat pada para aktivis 1998an. Tapi mereka juga bisa diartikan sebagai kelompok tertentu dibawah pesanan kelompok elit yang mempunyai kepentingan. Mereka juga bisa diartikan sebagai kelompok bayaran, yang melakukan aksi untuk memperburuk citra pemerintah di mata media dan masyarakat luas. Bahkan mereka juga bisa diartikan sebagai orang yang mencari sensasi. Dan bisa juga, demonstrasi dimaknai sebagai upacara seremonial tahunan seperti pada tanggal-tanggal diperingatinya Hari Buruh, Hari Pendidikan dan lain-lain.
Jika demonstrasi dikatakan sebagai sebuah teks, pada makna terahir ini demonstrasi diartikan dengan model semiotika postmodern. Tanda-tanda diguanakan secara ironis dan cendrung anarkis. Sebagaimana menurut Roland Barthes, Bahwa sebuah teks (di sini demonstrasi) bukanlah sebuah produk yang dihasilkan melalui aturan atau kode-kode yang kaku. Melainkan sebuah perspektif dari fragmen-fragmen, dari suara-suara dari teks-teks lain. Menurut Barthes, teks postmodern bukanlah sebuah produk yang menghasilkan makna tunggal, melainkan sebuah ruang makna yang multidemensional.
Perlu dicatat, dalam masa Orde Baru, sebenarnya makna demonstrasi sudah bisa dikatakan mempunyai multiarti. Tapi di sini kita melihat makna demonstrsi tersebut dari penafsiran khalayak umum. Hal ini juga dilihat dari perbandingan respon mahasiswa zaman dahulu hingga sekarang. Dan saat ini, demonstrasi telah memiliki banyak makna mulai dari yang paling mulia hingga yang paling hina. Dari makna ironi sampai anarkis.
Sebagai contoh makna ironi, para demonstran yang melakukan aksi menolak kenaikan BBM, pada dasarnya adalah orang yang hanya mencari uang sebesar Rp.25.000 sebagai bayaran dari aksi yang mereka lakukan. Tujuan utamanya bila ditarik ke atas, adalah upaya pencitraan buruk pemerintah atau pengangkatan nama seorang tokoh elit yang mereka dukung. Sebagai contoh bahwa demonstrasi diartikan secara anarkis, seperti telah disebut di atas, demonstrasi dimaknai sebagai kegiatan mencari sensasi, mencari uang rokok, atau upacara seremonial belaka dan sebagainya.
Panoptikon Ala Orde Baru
Adalah Michel Foucault, salah seorang pemikir pascastrukturalis yang menyelediki bagaimana makna, melalui beroperasinya kekuasaan dalam praktik sosial. Menurutnya, wacana menyatukan bahasa dan praktik. Istilah wacana mengacu pada benda-benda dan praktik-praktik sosial. Meski ber‘ada’ di luar bahasa, dunia benda material dan praktik-praktik sosial diberi makna oleh bahasa. Dengan begitu, dunia benda material dan praktik-praktik sosial itu dibentuk secara diskursif.
Wacana menyediakan bagi kita cara-cara membincangkan topik tertentu secara sama, dengan motif-motif atau bongkahan-bongkahan ide, praktik-praktik dan bentuk-bentuk pengetahuan yang diulang-ulang di beberapa wilayah aktivitas. Di sinilah muncul formasi diskursif, yang merupakan peta-peta makna yang sudah diregulasi, atau cara-cara berbicara yang menjadi jalan bagi objek-objek dan praktik-praktik memperoleh makna.
Relasi wacana dan kekuasaan dalam makna demonstrasi sangat jelas. Di mana pada masa Orde Baru makna demonstrasi dipelintirkan menjadi sebuah gerakan atau usaha mengacaukan keamanan dan stabilitas negara. Zaman itu, ketika melihat polisi membubarkan para demonstran dengan pentungan dan tembakan bahkan pemenjaraan, mayoritas masyarakat akan berkata, “untung ada polisi yang mengamankan ini semua”.
Begitu pula dengan pemenjaraan para aktivis serta pembasmian para mantan-mantan kader dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Perbuatan pemerintah tak terlalu dirisaukan, oleh masyarakat, sebagai tindakan yang bertentangan dengan demokrasi yang dianut negara ini. Hal ini karena pemerintah dengan kekuasaannya telah berhasil menguasai wacana lewat sentralisasi berbagai media, dengan politik pencitraannya bahwa mereka adalah pengacau, PKI harus dibasmi karena atheis dan merupakan partai pemberontak.
Di sini, cukup pas kiranya untuk menerapakan studi Foucault tentang kegilaan, dengan menggantinya dengan demokrasi.
•Pernyataan-pernyataan tentang kegilaan yang memberikan pengetahuan mengenainya;
•Aturan-aturan yang apa yang “bisa diucapkan” atau “dapat dipikirkan” tentang demonstrasi.
•Subjek-subjek yang merupakan personifikasi demonstrasi, yakni demonstran (pengacau keamanan).
•Proses bagaimana wacana tentang demonstrasi memperoleh kewenangan dan status kewenangan dan status kebenaran pada suatu kurun sejarah tertentu. (Pada zaman Soeharto=selama ia berkuasa, menjelang dan sesudah reformasi hingga 2003/2004 kekuasaan wacana berpindah pada mahasiswa dan para demonstran, dan masa 2004 ke atas terdapat multi wacana. (Mungkin pada masa ini sedikit mirip dengan apa yang disebut Foucault sebagai seseorang menyadari dirinya sebagai subjek bagi dirinya dalam keterlibatan tehadap praktik-praktik pembentukan, pengenalan dan refleksi diri).
•Praktik-praktik institusi yang menangani demonstrasi, (misalnya, aparat dan pemberitaan dengan pencitraan negatif tentang para demonstran dsb).
Dalam studi tentang kegilaan ini, Foucault juga membahas hubungan antara wacana dengan disiplin. Jika diterapkan pada saat rezim Soeharto berkuasa, terlihat sekali hubungan erat antara wacana dan disiplin ini. Foucault berpendapat, wacana meregulasi bukan hanya apa yang bisa diucapkan, tapi juga di mana, kapan dan siapa yang boleh mengucapkan.
Seperti yang terungkap dari puisi Widji Tukul, yang termuat dalam ‘Film Dokumenter Gerakan Mahasiswa 1998’, “... buruh-buruh senangnya di televisi, petani-petani makmurnya di televisi”. Di sini Widji Tukul, salah-seorang aktivis yang hilang dan diduga menjadi korban penculikan Orde Baru, ingin mengungkapkan bahwa para buruh dan petani hanya terlihat senang dan makmur di televisi. Padahal kenyataannya tidak demikian.
Soeharto dan Orde Baru memang menerapkan disiplin yang ketat demi menancapkan wacananya di benak masyarakat. Mulai dari sentralisasi dan pengawasan yang ketat terhadap media nasional. Hingga dalam pengajaran di sekolah-sekolah, yang mendoktrin bahwa Orde Baru adalah penjaga setabilitas nasional, pemegang teguh ajaran Pancasila dengan penataran-penataran P4-nya. Siswa-siswi di sekolah pun selalu diinformasikan bahwa Indonesia adalah negara yang kaya, subur, makmur, sentosa, gemah ripah loh jinawi. Dan dengan sering menyeru sila ke V Pancasila ‘Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’, seolah-olah pemerintah telah berbuat adil terhadap seluruh rakyatnya. Kekokohan disiplin ini juga diperkuat dengan ancaman pembredelan media, yang dianggap membahayakan kedudukan dan kekuasaan Orde Baru.
Foucault juga menggunakan istilah normalisasi untuk praktik semisal Orde Baru tersebut. Normalisasi ini menghasilkan klasifikasi, yang dalam studi Foucault, Gila dan Waras. Namun dalam konteks Indonesia, Orde Baru khususnya, klasifikasi ini bisa juga diarahkan pada para pengacau=para demonstran, dan orang taat hukum=orang yang mendukung kekuasaan Orde Baru, meski tanpa ia sadari.
Demi memperjelas perbedaan antara si gila dan si waras, menurut Foucoult kekuasaan disipliner membangun panoptikon, yakni sebuah desain sebuah penjara yang menempatkan sebuah menara di posisi tengah agar semua sel tersebut bisa terlihat semua sel dan bangunan lain. Setiap penghuni sel bisa dilihat bisa dilihat oleh pengawas yang berada di menara, dan tidak sebaliknya. Sel-sel itu lantas menjadi “teater-teater kecil di mana sang aktor berada sendirian, yang sepenuhnya terindividuasi dan terus-menerus diawasi.
Meski ide tentang panoptikon ini masih diragukan pernah ada tidaknya, tapi sangat tepat kiranya bila menjadi metafora pemenjaraan para aktivis pengkritik pemerintah Orde Baru.[MS Wibowo]
0 komentar:
Posting Komentar