Wawancara Ekslusif Dengan Syafiq Hasyim
Oleh : MS Wibowo
Oleh : MS Wibowo
Syafiq Hasyim: Di kelas, kita tak bisa bebas berekspresi, kita tak bisa bebas bertanya tentang sesuatu yang secara konfensional tak boleh ditanyakan. Kalau dengan teman sendiri dalam klompok studi, tidak ada batas larangan mana yang boleh dan yang tidak. Kamu bebas bertanya apa saja.
UIN Jakarta yang sejak zaman Rektor Harun Nasution diakui sebagai pusat pemikiran Islam. Gerakan pembaruan Islam it terus bergulir dari masa ke masa. Kegemilangan tradisi pemikiran tersebut menjadikan Ciputat memiliki ciri khas pemikiran tersendiri. Tak heran jika tren intelektual itu melahirkan sebuah corak pemikiran yang disebut –adzhab Ciputat.
Tetapi menginjak tahun 2000an hingga kini, pamor tersebut semakin lama kian pudar. Beberapa kalangan saling tuding penyebab hal tersebut. Ada yang berpendapat bahwa perubahan tersebut akibat konversi IAIN ke UIN, ada juga karena kentalnya iklim politik mahasiswa di UIN Jakarta, ada juga yang beranggapan budaya pop masa kinilah yang paling bertanggungjawab atas semuanya dan lain-lain.
Terlepas dari itu semua, berikut akan saya posting kembali wawancara dengan Syafiq Hasyim, mahasiswa AF/FUF/IAIN angkatan 90an, yang merupakan pelaku sajarah zaman emas pemikiran Islam ketika itu. Wawancara ini saya lakukan pada November 2007 lalu dan pernah dimuat di Tabloid Institut edisi V serta telah dipost di www.lpminstitut.com pada (9/11/2007).
Pada masanya, Syafiq merupakan salah-seorang pendiri PIRAMIDA CIRCLE, Forum Studi anak-anak NU yang ingin eksis di dunia tulis menulis dan diskusi serta tidak/ kurang terlibat di organisasi formal. Piramida Circle sendiri hingga kini masih kokoh bercokol di Ciputat sebagai forum kajian bersaing dengan Formaci dan forum-forum studi lainnya, yang sama-sama mulai digerus oleh budaya pragmatis mahasiswa. Berikut petikan wawancara tersebut.
1. Ciputat dinilai masyarakat telah menghasilkan banyak tokoh intelektual pembaharu Islam, mereka membawa gerbong pemikiran Islam tersendiri yang disebut Madzhab Ciputat. Sebetulnya apa yang khas dari mereka sehingga disebut madzhab Ciputat?
Satu sisi saya tidak antusias menggunakan istilah itu, Ciputat dijuluki seperti itu karena Ciputat mempunyai sejarah yang berbeda dari tempat lain. Ini tak lepas dari peran Negara menempatkan intitusi pendidikan yang mampu menelurkan sarjana muslim yang dipandang memiliki peranan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
2. Pemikiran seperti apa yang dikembangkan para intelektual generasi madzhab Ciputat?
Sekali lagi saya tidak sepakat dan tidak paham siapa yang menggunakan istilah ini, dikembangkan oleh siapa, tahun berapa. Jangan terjebak pada lokalitas yang sebetulnya tidak perlu di tonjol-tonjolkan.
Yang saya tahu Harun Nasution dikenal rasionalitasnya. Karena pada masa itu Harun sedang menghadapi problem konservatisme agama. Kemudian diteruskan Cak Nur dengan Insiklufitas agama yang belum tersentuh oleh Harun Nasution. Dan mereka tak terlalu menonjolkan ke-Ciputatan-nya. Ciputat adalah bagian kecil dari hidup mereka.
Kemudian muncul pula tokoh-tokoh seperti Kautsar, Fakhri Ali, Azyumardi Azra dan lain-lain yang masing-masing punya ciri khas berbeda.
Tidak ada yang bisa di konklud menjadi pemikiran sendiri kecuali pemikiran keislaman pembaharuannya. Ciputat hanyalah bagian kecil dari islam.
3. Bagaimana kondisi intelektual mahasiswa IAIN pada masa anda?
Zaman saya membaca dan memiliki banyak buku merupakan kebanggaan tersendiri. Kemudian aktif di kelompok studi, menulis di koran dulu menjadi ukuran intelektual. Tapi kita tidak fair kalau memaksakan ukuran kita pada mereka. Kan harus partisipatoris.
4. Kalau mencermati kondisi kekinian mahasiswa, bagaimana Anda menilai gairah intelektual mahasiswa UIN?
Saya melihat mahasiswa saat ini masih ada yang menulis di media, kalau toh itu jadi ukurannya. Karena sekarang spektrum-nya mungkin lebih luas. Medan untuk mereka beraktivitas mungkin lebih luas. Dan itu merupakan konsekwensi logis dari perluasan IAIN menjadin UIN.
Saya percaya setiap generasi itu pasti akan ada yang baik, yang jadi pemimpin. Kalau tidak, hadits Nabi yang mengatakan bahwa setiap generasi itu pasti akan ada seorang mujadid itu salah. Saya percaya itu, Cuma ukurannya berbeda-beda. Mahasiswa UIN sekarang kan puluhan ribu. Sedangkan zaman dulu hanya tiga ribuan. Kemudian disiplin keilmuan saat ini semakin beragam. Tak usah pesimistis dan terlalu menyalahkan keadaan saat ini.
5. Menurut Anda tradisi intelektual seperti apa yang cocok dikembangkan mahasiswa UIN saat ini?
Bayangan saya, mereka bisa mengembangkan apa yang didapat dari fakultas masing masing. Menyelesikan studi dengan baik, beraktivitas sosial di luar kampus, menghidupkan kelompok-kelompok studi yang ada. Dan beradaptasi dengan lingkungan UIN serta responsif dengan perkembangan zaman.
7. Banyak kalangan menilai gairah intelektual mahasiswa Ciputat semakin menurun. Menurut Anda apa faktor apa saja yang menyebabkan penurunan gairah intelektual tersebut?
Itu hanya asumsi, apakah benar sekarang menurun? Benarkah keadaan intelektual zaman dulu lebih bagus. Variabel dan indikator yang dipakai seperti apa? Sebab tantangan yang dihadapi mahasiswa sekarang dan dulu berbeda. Ukuran keberhasilan juga berbeda. Saya mungkin termasuk orang yang coba memahami keadaan mahasiswa sekarang
8. Apa saja ukuran intelektualitas mahasiswa menurut pendapat Anda?
Harus lengkap dan memperhatikan variable perkembangan zaman yang memang berubah. Selain itu harus diperhatikan perubahan-perubahan di dalam IAIN itu sendiri. Jadi tidak sesederhana yang kita bayangkan. Misalnya karena mahasiswa tidak ada yang menulis di koran, kelompok studi sepi, mahasiswa sekarang orientasinya lebih pada dunia non-akademis, kemudian dijadikan tolak ukur.
9. Menurut Anda pemikiran Islam seperti apa yang cocok dikembangkan di UIN Jakarta khususnya dan Indonesia pada umumnya?
Mengimajinasikan sebuah Islam yang pantas di IAIN/UIN, apalagi sebuah Negara, bagi saya itu terlalu besar. Tapi yang paling penting, menurut saya, bagaimana UIN mampu menjawab dan merespon kegelisahan masyarakat disekitar UIN. Kegelisahan yang saya maksud adalah kalau ada kritik dari orang seperti Adian Husaini atau Hartono AJ. harus ditanggapi secara gentleman. Dalam arti diklarifikasi, kalau mereka tidak benar secara hukum, maka tuntut saja. Disomasi atau apalah bahasanya. Itu juga akan berpengaruh terhadap citra IAIN.
10. Terkait dengan image UIN di masyarakat yang dianggap liberal , dimana mereka melihat dari kiprah dosen dan alumninya, bagaimana anda menilainya?
Kita tidak bisa menjadikan hanya Ciputat sebagai faktor determinal. Ciputat itu bagian kecil saja. Sedangkan promotor JIL saja, Ulil Abshar Abdalla, sama sekali tidak ada hubunganya dengan Ciputat.
Kalau ditanya satu-persatu mungkin lebih banyak yang tidak setuju dengan JIL. Saya sendiri pengurus JIL. Cuma kalau ditanya seperti itu, pasti di UIN lebih banyak yang tidak setuju dengan JIL. Dan kalau itu (Islam Liberal) menjadi ukuran kemajuan, UIN Jakarta ini konservatif sekali. Karena misalnya keluhan Zainun kamal yang tak mendapatkan tempat selayaknya di UIN, dan orang yang mencaci dia. Dan sekali lagi kalau kita bicara UIN Jakarta, Fakultas Syariah itu gudangnya konservativisme. Dan mungkin hanya FUF yang mau beradaptasi dengan keragaman dan progresif Islam.
11.Pendapat Anda tentang buku Ada Pemurtadan di IAIN?
Itu hak Hartono. Ya boleh-boleh saja. Tapi menurut saya seharusnya diproses secara hukum saja. Karena dia sudah menjelek-jelekan orang lain. Somasi saja. Seperti gayanya SBY atau Gus dur, yang kalau dia merasa disinggung atau dituduh bersalah. Sedangkan dirinya tidak melakukan apa yang dituduhkan. Kenapa tidak kita jerat saja itu dengan pasal memicu permusuhan?
10. Di UIN sekarang berkembang gerakan Islam yang banyak kalangan menyebut gerakan fundamental. Apakah menurut Anda mereka akan mengancam punahnya tradisi intelektual UIN?
Bisa saja hal itu terjadi, hal ini mungkin karana saat ini fakultas umum terlalu banyak di UIN. Biasanya mereka berlatar belakang seperti itu hard saintis. Jadi mereka memandang agama seperti matematika saja. 1+1=2 3-1=2, jadi agama dipandang sebagai sesuatu yang bersifat pasti. Karena itu yang penting bagi mereka adalah mengamalkan agama bukan memikirkan agama. Itu kalau mau kita mau berfikir melihat keluar, tapi kalau berfikir kedalam, saya kira ini pertarungan antara teman-teman aktivis yang katakanlah pro kepada progresifisme dan yang tidak. Itu adalah kompetisi.
Ketika baru masuk, mahasiswa blank kan. Tergatung bagaimana kita menggambil hati mereka. Saya kira itu dikembalikan kepada kemampuan kita untuk mereorganisir, merevitalisasi dan mengatur strategi bagaimana supaya UIN ini masih menjadi pusat pengembangan intelektual dan juga pusat pengembangan islam yang bukan konservatif tapi yang progresif dan moderat.
11. Ada yang mengatakan mahasiswa UIN Jakarta saat ini banyak yang mengalami disorientasi bagaimana pendapat anda?
Universitas harus mengambil peranan. Tidak semua mahasiswa punya pemikiran kedepan. Kalau saya dulu masuk Aqidah Filsafat sudah tahu mau kemana, mau jadi apa. Kadang mereka hanya memilih yang gampang-gampang saja, atau hanya sekedar milih. Maka Universitas harus memperkenalkan isu-isu penting mengenai Universitas itu sendiri. Karena itu menurut saya, Penjurusan itu harus fleksible. Tahun pertama mahasiswa dibebaskan memilih jurusan apa saja. Karena belum tentu semua tahu dunia baru mahasiwa. Harus ada Oreintasi yang kuat tentang Universitas itu sendiri. Sehingga perbedaaan yang kecil itu bisa membuat orang memilih. Misalnya kalau saya milih TH, nanti saya seperti Quraishihab atau siapa. Kalau saya pilih Aqidah Filsafat, nanti saya begini, seperti ini seperti Kautsar atau siapa, harus tahu sendiri. Dan ini harus dikembangkan secara serius sekaligus sebagai pengenalan dan promosi.
12. Semasa kuliah di UIN Jakarta, Anda adalah salah-seorangi aktivis Kelompok Studi Piramida Circle, salah-satu kelompok studi yang kini masih eksis. Menurut anda apa manfaat aktif di forum diskusi? Dan mengapa Anda memilih aktif di Kelompok Studi”
Sangat besar. Buat saya kelompok-kelompok studi itu adalah the real university. Karena dengan kelompok itu kita akan berinteraksi dengan buku dan pemikiran. Meski di kelas kita juga mendapatkannya. Tapi itu sangat formalistik. Oleh karenanya kita tak bisa bebas berekspresi, kita tak bisa bebas bertanya tentang sesuatu yang secara konfensional tak boleh ditanyakan. Kalau dengan teman sendiri dalam klompok studi, tidak ada batas larangan mana yang boleh dan yang tidak. Kamu bebas bertanya apa saja.
Yang kedua adalah support environment. Sebab dengan tinggal di kelompok studi, mau tidak mau kita harus senantiasa menyesuaikan diri dengan perkembangan intelektualitas. Itu manfaat yang paling besar. Kemampuan menulis juga saya dapat dari kelompok studi itu, bisa dapat pekerjaan. Di UIN saya lulus dengan nilai cumlaud. tapi kalau kita tak punya network percuma saja.
13. Ada kalangan yang berkomentar, dengan dibangunnya fakultas-fakultas umum, fakultas agama jadi terbengkalai. Sementara fakultas umum yang baru dibangun kurang diakui masyarakat. Beda dengan UI dan lainnya, bagaimana menurut anda?
Ya jelas lah. FK UI sudah puluhan tahun. Sementara FKIK UIN baru kemarin. Jangan melakukan penilain yang gegabah. UGM sama UI masih bagus UI apalagi dengan UIN. Kalau bikin kias itu liatnya yang sama. Masak membandingkan, mana yang lebih maju, teknologi Indonesia atau Amerika? Ya jelas maju Amerika.
Tapi di pihak lain UIN tidak kalah. Dahulu orang bicara politik selalu merujuk pada analis-analis politik UI. Sekarang analis-analis politik dari UI kalah semua dengan Syiful Mujani yang alumni UIN. Itu juga kemajuan harus dicatat. Jadi selalu ada minus plusnya.[]
1. Ciputat dinilai masyarakat telah menghasilkan banyak tokoh intelektual pembaharu Islam, mereka membawa gerbong pemikiran Islam tersendiri yang disebut Madzhab Ciputat. Sebetulnya apa yang khas dari mereka sehingga disebut madzhab Ciputat?
Satu sisi saya tidak antusias menggunakan istilah itu, Ciputat dijuluki seperti itu karena Ciputat mempunyai sejarah yang berbeda dari tempat lain. Ini tak lepas dari peran Negara menempatkan intitusi pendidikan yang mampu menelurkan sarjana muslim yang dipandang memiliki peranan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
2. Pemikiran seperti apa yang dikembangkan para intelektual generasi madzhab Ciputat?
Sekali lagi saya tidak sepakat dan tidak paham siapa yang menggunakan istilah ini, dikembangkan oleh siapa, tahun berapa. Jangan terjebak pada lokalitas yang sebetulnya tidak perlu di tonjol-tonjolkan.
Yang saya tahu Harun Nasution dikenal rasionalitasnya. Karena pada masa itu Harun sedang menghadapi problem konservatisme agama. Kemudian diteruskan Cak Nur dengan Insiklufitas agama yang belum tersentuh oleh Harun Nasution. Dan mereka tak terlalu menonjolkan ke-Ciputatan-nya. Ciputat adalah bagian kecil dari hidup mereka.
Kemudian muncul pula tokoh-tokoh seperti Kautsar, Fakhri Ali, Azyumardi Azra dan lain-lain yang masing-masing punya ciri khas berbeda.
Tidak ada yang bisa di konklud menjadi pemikiran sendiri kecuali pemikiran keislaman pembaharuannya. Ciputat hanyalah bagian kecil dari islam.
3. Bagaimana kondisi intelektual mahasiswa IAIN pada masa anda?
Zaman saya membaca dan memiliki banyak buku merupakan kebanggaan tersendiri. Kemudian aktif di kelompok studi, menulis di koran dulu menjadi ukuran intelektual. Tapi kita tidak fair kalau memaksakan ukuran kita pada mereka. Kan harus partisipatoris.
4. Kalau mencermati kondisi kekinian mahasiswa, bagaimana Anda menilai gairah intelektual mahasiswa UIN?
Saya melihat mahasiswa saat ini masih ada yang menulis di media, kalau toh itu jadi ukurannya. Karena sekarang spektrum-nya mungkin lebih luas. Medan untuk mereka beraktivitas mungkin lebih luas. Dan itu merupakan konsekwensi logis dari perluasan IAIN menjadin UIN.
Saya percaya setiap generasi itu pasti akan ada yang baik, yang jadi pemimpin. Kalau tidak, hadits Nabi yang mengatakan bahwa setiap generasi itu pasti akan ada seorang mujadid itu salah. Saya percaya itu, Cuma ukurannya berbeda-beda. Mahasiswa UIN sekarang kan puluhan ribu. Sedangkan zaman dulu hanya tiga ribuan. Kemudian disiplin keilmuan saat ini semakin beragam. Tak usah pesimistis dan terlalu menyalahkan keadaan saat ini.
5. Menurut Anda tradisi intelektual seperti apa yang cocok dikembangkan mahasiswa UIN saat ini?
Bayangan saya, mereka bisa mengembangkan apa yang didapat dari fakultas masing masing. Menyelesikan studi dengan baik, beraktivitas sosial di luar kampus, menghidupkan kelompok-kelompok studi yang ada. Dan beradaptasi dengan lingkungan UIN serta responsif dengan perkembangan zaman.
7. Banyak kalangan menilai gairah intelektual mahasiswa Ciputat semakin menurun. Menurut Anda apa faktor apa saja yang menyebabkan penurunan gairah intelektual tersebut?
Itu hanya asumsi, apakah benar sekarang menurun? Benarkah keadaan intelektual zaman dulu lebih bagus. Variabel dan indikator yang dipakai seperti apa? Sebab tantangan yang dihadapi mahasiswa sekarang dan dulu berbeda. Ukuran keberhasilan juga berbeda. Saya mungkin termasuk orang yang coba memahami keadaan mahasiswa sekarang
8. Apa saja ukuran intelektualitas mahasiswa menurut pendapat Anda?
Harus lengkap dan memperhatikan variable perkembangan zaman yang memang berubah. Selain itu harus diperhatikan perubahan-perubahan di dalam IAIN itu sendiri. Jadi tidak sesederhana yang kita bayangkan. Misalnya karena mahasiswa tidak ada yang menulis di koran, kelompok studi sepi, mahasiswa sekarang orientasinya lebih pada dunia non-akademis, kemudian dijadikan tolak ukur.
9. Menurut Anda pemikiran Islam seperti apa yang cocok dikembangkan di UIN Jakarta khususnya dan Indonesia pada umumnya?
Mengimajinasikan sebuah Islam yang pantas di IAIN/UIN, apalagi sebuah Negara, bagi saya itu terlalu besar. Tapi yang paling penting, menurut saya, bagaimana UIN mampu menjawab dan merespon kegelisahan masyarakat disekitar UIN. Kegelisahan yang saya maksud adalah kalau ada kritik dari orang seperti Adian Husaini atau Hartono AJ. harus ditanggapi secara gentleman. Dalam arti diklarifikasi, kalau mereka tidak benar secara hukum, maka tuntut saja. Disomasi atau apalah bahasanya. Itu juga akan berpengaruh terhadap citra IAIN.
10. Terkait dengan image UIN di masyarakat yang dianggap liberal , dimana mereka melihat dari kiprah dosen dan alumninya, bagaimana anda menilainya?
Kita tidak bisa menjadikan hanya Ciputat sebagai faktor determinal. Ciputat itu bagian kecil saja. Sedangkan promotor JIL saja, Ulil Abshar Abdalla, sama sekali tidak ada hubunganya dengan Ciputat.
Kalau ditanya satu-persatu mungkin lebih banyak yang tidak setuju dengan JIL. Saya sendiri pengurus JIL. Cuma kalau ditanya seperti itu, pasti di UIN lebih banyak yang tidak setuju dengan JIL. Dan kalau itu (Islam Liberal) menjadi ukuran kemajuan, UIN Jakarta ini konservatif sekali. Karena misalnya keluhan Zainun kamal yang tak mendapatkan tempat selayaknya di UIN, dan orang yang mencaci dia. Dan sekali lagi kalau kita bicara UIN Jakarta, Fakultas Syariah itu gudangnya konservativisme. Dan mungkin hanya FUF yang mau beradaptasi dengan keragaman dan progresif Islam.
11.Pendapat Anda tentang buku Ada Pemurtadan di IAIN?
Itu hak Hartono. Ya boleh-boleh saja. Tapi menurut saya seharusnya diproses secara hukum saja. Karena dia sudah menjelek-jelekan orang lain. Somasi saja. Seperti gayanya SBY atau Gus dur, yang kalau dia merasa disinggung atau dituduh bersalah. Sedangkan dirinya tidak melakukan apa yang dituduhkan. Kenapa tidak kita jerat saja itu dengan pasal memicu permusuhan?
10. Di UIN sekarang berkembang gerakan Islam yang banyak kalangan menyebut gerakan fundamental. Apakah menurut Anda mereka akan mengancam punahnya tradisi intelektual UIN?
Bisa saja hal itu terjadi, hal ini mungkin karana saat ini fakultas umum terlalu banyak di UIN. Biasanya mereka berlatar belakang seperti itu hard saintis. Jadi mereka memandang agama seperti matematika saja. 1+1=2 3-1=2, jadi agama dipandang sebagai sesuatu yang bersifat pasti. Karena itu yang penting bagi mereka adalah mengamalkan agama bukan memikirkan agama. Itu kalau mau kita mau berfikir melihat keluar, tapi kalau berfikir kedalam, saya kira ini pertarungan antara teman-teman aktivis yang katakanlah pro kepada progresifisme dan yang tidak. Itu adalah kompetisi.
Ketika baru masuk, mahasiswa blank kan. Tergatung bagaimana kita menggambil hati mereka. Saya kira itu dikembalikan kepada kemampuan kita untuk mereorganisir, merevitalisasi dan mengatur strategi bagaimana supaya UIN ini masih menjadi pusat pengembangan intelektual dan juga pusat pengembangan islam yang bukan konservatif tapi yang progresif dan moderat.
11. Ada yang mengatakan mahasiswa UIN Jakarta saat ini banyak yang mengalami disorientasi bagaimana pendapat anda?
Universitas harus mengambil peranan. Tidak semua mahasiswa punya pemikiran kedepan. Kalau saya dulu masuk Aqidah Filsafat sudah tahu mau kemana, mau jadi apa. Kadang mereka hanya memilih yang gampang-gampang saja, atau hanya sekedar milih. Maka Universitas harus memperkenalkan isu-isu penting mengenai Universitas itu sendiri. Karena itu menurut saya, Penjurusan itu harus fleksible. Tahun pertama mahasiswa dibebaskan memilih jurusan apa saja. Karena belum tentu semua tahu dunia baru mahasiwa. Harus ada Oreintasi yang kuat tentang Universitas itu sendiri. Sehingga perbedaaan yang kecil itu bisa membuat orang memilih. Misalnya kalau saya milih TH, nanti saya seperti Quraishihab atau siapa. Kalau saya pilih Aqidah Filsafat, nanti saya begini, seperti ini seperti Kautsar atau siapa, harus tahu sendiri. Dan ini harus dikembangkan secara serius sekaligus sebagai pengenalan dan promosi.
12. Semasa kuliah di UIN Jakarta, Anda adalah salah-seorangi aktivis Kelompok Studi Piramida Circle, salah-satu kelompok studi yang kini masih eksis. Menurut anda apa manfaat aktif di forum diskusi? Dan mengapa Anda memilih aktif di Kelompok Studi”
Sangat besar. Buat saya kelompok-kelompok studi itu adalah the real university. Karena dengan kelompok itu kita akan berinteraksi dengan buku dan pemikiran. Meski di kelas kita juga mendapatkannya. Tapi itu sangat formalistik. Oleh karenanya kita tak bisa bebas berekspresi, kita tak bisa bebas bertanya tentang sesuatu yang secara konfensional tak boleh ditanyakan. Kalau dengan teman sendiri dalam klompok studi, tidak ada batas larangan mana yang boleh dan yang tidak. Kamu bebas bertanya apa saja.
Yang kedua adalah support environment. Sebab dengan tinggal di kelompok studi, mau tidak mau kita harus senantiasa menyesuaikan diri dengan perkembangan intelektualitas. Itu manfaat yang paling besar. Kemampuan menulis juga saya dapat dari kelompok studi itu, bisa dapat pekerjaan. Di UIN saya lulus dengan nilai cumlaud. tapi kalau kita tak punya network percuma saja.
13. Ada kalangan yang berkomentar, dengan dibangunnya fakultas-fakultas umum, fakultas agama jadi terbengkalai. Sementara fakultas umum yang baru dibangun kurang diakui masyarakat. Beda dengan UI dan lainnya, bagaimana menurut anda?
Ya jelas lah. FK UI sudah puluhan tahun. Sementara FKIK UIN baru kemarin. Jangan melakukan penilain yang gegabah. UGM sama UI masih bagus UI apalagi dengan UIN. Kalau bikin kias itu liatnya yang sama. Masak membandingkan, mana yang lebih maju, teknologi Indonesia atau Amerika? Ya jelas maju Amerika.
Tapi di pihak lain UIN tidak kalah. Dahulu orang bicara politik selalu merujuk pada analis-analis politik UI. Sekarang analis-analis politik dari UI kalah semua dengan Syiful Mujani yang alumni UIN. Itu juga kemajuan harus dicatat. Jadi selalu ada minus plusnya.[]
0 komentar:
Posting Komentar