Ia sering menjadi pengganti Jiwa Murniku untuk memimpin ragaku. Aku ingin sekali mengurungnya, agar tak semena-mena menjadi imam ragaku. Keinginan ini ada sejak kecil. Sejak masa sebelum aku usia TK. Sebab selama itulah ia selalu datang menengokku, lalu membimbingku. Dan sebagai martir aku patuh, meski sesudahnya aku menyesal.
Biasanya, seorang yang berkuasa, akan melukai atau menciderai orang yang diperintah, bila perintahnya tak diindahkan. Tapi Iblisku beda. Sebaliknya ia akan menciderai hati dan ragaku kala aku tunduk menjalankan perintahnya.
Aku sadar itu. Walau begitu, aku tetap menjalankan perintahnya. Kau tahu kan, aku adalah martir.
Jiwa murniku atau Raja Jiwaku, sebenarnya dendam padanya. Tahukah engkau bahwa Raja Jiwaku seorang wanita? Dan Iblisku adalah seorang pria? Mereka melakukan perselingkuhan terlarang. Perselingkuhan memang terlarang kan? Mereka sering melakukan perbuatan mesum. Kau tahu itu apa? Ya, mereka sering ML.
Aku tahu, sebenarnya Raja Jiwa sering menolak saat diajak berhubungan. Tapi juga kadang pasrah bahkan mengharapkan. Tapi baik terpaksa atau tidak, raja jiwaku pasti selalu menikmati hubungan itu. Batinnya menolak, tapi satu sisi ia tak sanggup menyingkirkan dan menyembunyikan rasa senangnya.
Gelagat Sang Raja Jiwa itu tak dapat disembunyikan. Iblis pun mengetahuinya. Maka tanpa rasa bersalah, ia pura-pura memaksa Raja Jiwa agar mau menuruti nafsunya. Padahal tanpa paksaan pun Raja Jiwa mau. Pemaksaan itu hanya syarat belaka.
Setelah hilangnya rasa nikmat itu, Raja Jiwa merasa apa yang terjadi itu salah. Tapi tak mungkin dipungkiri bahwa ia sering menginginkan hubungan itu kembali secepatnya. Menunggu Iblis melakukan paksaannya. Eh, maksudku pura-pura memaksa.
Nah, ketika Raja Jiwa benar-benar sadar bahwa dirinya diperalat, ia melapor pada martir-martirnya, seperti Aku. Lalu memerintahkan kami mengusir Iblisku. Tapi percuma, rumah ini telah menjadi milik Iblis juga. Selain Raja Jiwa, Iblis juga pemimpin kami. Kami tak bisa menolak saat ia memerintah.
Raja Jiwaku terjebak dalam perasaan salah dan menyalahkan. Akupun menyalahkannya. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Sebab Iblis selalu menerorku dan juga Raja Jiwa. Iblisku datang tak kenal waktu. Sesering mungkin. Tak peduli kala ramai atau sepi.
Dia pandai. Tak peduli kala ramai atau sepi, ia datang saat aku dan Raja Jiwa melupakan kebencian padanya. Dia datang untuk memperbarui kebencian yang sebentar nanti musnah. Lalu ia munculkan kembali dan seterusnya.
Dia datang dengan senyuman dan tongkat sabitnya. Mengenakan jubah hitam panjang yang menutup kepala hingga ujung kaki. Tak ada yang melihatnya selain aku. Raja Jiwa bahkan tak pernah benar-benar sadar ia datang, sebelum tiba-tiba iblis itu menyergapnya. Dan langsung mengambil alih kekuasaan.
Raja Jiwa kadang setengah meronta. Tapi ya percuma. Iblis menyergapnya bukan setengah-setengah. Akhirnya, terulanglah tragedi itu. Karena mereka sama-sama menikmati.
0 komentar:
Posting Komentar