Posturku Lebih Mirip Sosok Jin Daripada Manusia
Kelas VI SD, pertengahan tahun menjelang lulus, kembali ku didera demam olahraga. Kali ini sepak bola. Waktu itu TV telah menjadi kebutuhan tiap rumah warga kampungku. Di rumahku juga ada. Banyak kawan yang sering mengajakku nonton pertandingan bola, baik liga lokal maupun Eropa.
Sebenarnya aku masih sadar, fisikku tak cocok menyandang gelar atlet atau olahragawan. Aku kurus, pendek, sakit-sakitan postur tubuh tak seimbang. Ukuran kepalaku terlalu besar untuk badan. Bahkan aku sempat bertanya-tanya dalam hati, “Benarkah aku ini keturunan manusia? Kalau melihat ciri-ciri fisikku lebih mirip gambaran fisik Jin, dalam buku Dialog Dengan Jin Muslim. Ya, seingatku buku itu menjelaskan, fisik Jin itu kepalanya terlihat lebih besar dari badannya.
Tapi semua itu tak kuhiraukan. Meski beberapa kali teman-teman menertawaiku cara lariku saat coba-coba ikut main bola, aku tak peduli. Bagiku Tuhan Maha Kuasa. Jika dia menghendaki keinginanku menjadi pesepak bola handal, pastilah bisa. Aku memilih ingin menjadi seorang penjaga gawang. Cita-cita ini bertahan hingga aku di jenjang pendidikan SMP.
Kugambar kaos timku dengan nomor punggung satu. Namun teman-temanku selalu menertawakanku saat berada di lapangan. Aku menjadi bahan komedi. Lama-kelamaan aku menyerah. Sebab aku juga tak pernah masuk timnas kampungku. Aku tersingkir dan hanya bermain bola iseng di jalanan. Ketersingkiranku ini kuganti dengan selalu mengamati pertandingan-pertandingan di TV serta Highlight-highlight-nya.
Masa SMP yang kulewati tanpa kedua orang tua kujalani monoton. Ortuku di Riau bersama dua adikku. Aku tinggal bersama kakek nenekku di Lampung. Hari-hariku hanya di isi sekolah dan TV. Hari minggu aku selalu ikut kegiatan pramuka. Begitulah, aku mngisolasi diri dari kawan bermain. Karena berbagai kekurangan. Tak ada hari istimewa selain hari sabtu. Di hari tersebut aku selalu menyambut dengan hati tersenyum saat bel pulang sekolah berbunyi. Pasalnya, macam-macam acara olahraga, seperti highlight sepak bola bertaburan.
Di tengah ketakjelasan skill hoby sepak bolaku, beberapa tetangga berusia bapak-bapak sering mampir nonton acara Gelar Tinju Profesional (GPU). Akupun ikut hanyut. Dan karenanya, sempat pula aku ingin menjadi seorang petinju. Nenekku, hanya melihat heran saat kuisi sebuah kantong beras dengan pasir. Kugantungkan kantong itu pada kayu-kayu kaso atau range genting yang terletak dipinggir rumah. Ku tonjok-tonjok karung itu tiap pagi dan sore. Nenek marah-marah. “Nanti lama-lama karung itu bisa membuat rumah kita roboh,” kata nenekku. Kupindah karung isi pasir itu pada sebatang pohon di belakang rumah. Kuteruskan aktivitasku.
Terus kutonton GPU tiap malam jumat. Lama-lama aku berfikir, “kuatkah kepalaku ditonjok-tonjok seperti itu. Bisa kacau otakku. Orang jatoh di jalan dari sepeda aja aku pingsan.” Akhirnya, ku alihkan fokus pada kegiatan eks-school Pramuka. Harapanku ingin masuk menjadi anggota Pramuka Garuda yang ikut perlombaan tingkat Internasional dan mengharumkan nama bangsa Indonesia.
Lagi-lagi, itu semua jauh arang dari panggang. Menurut cerita, dahulu kala jauh sebelum aku masuk, Gugus Depan Pramuka yang aku geluti sempat jaya. Setidakkya di tingkat propinsi. Tapi saat ku masuk, semua tinggal kenangan. Tingkat kecamatan pun tak diperhitungkan. Apa karena ada aku? Aku tak tak tahu.
Berlanjut Ke Chapter III : Aku Menyesal Bercita-cita Menjadi Orang Berguna Bagi Nusa, Bangsa Serta Agama
0 komentar:
Posting Komentar