Sekitar akhir 2011, mencul kabar menggemparkan. Ada piramida
di Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat, yang diduga lebih tua dari
piramida-piramida di Mesir. Isu ini menggelinding liar, menghiasi berita-berita
di media massa dan perbincangan masyarakat luas.
Orang pun ramai-ramai ingin melihat langsung keberadaannya.
Pengunjung yang membludak memberi pemasukan bagi pengelola situs pra sejarah
ini. Namun, dampak negatifnya, masih adanya pengunjung bertabiat negatif,
menyebabkan beberapa kerusakan dan menyisakan sampah yang berserakan.
Beruntung, Gunung Padang punya masyarakat yang cukup peduli
terhadap kelestariannya. Salah satunya Yayasan Dapuran Kipahare, yang menaungi
komunitas-komunitas masyarakat yang dengan sukarela merawat situs-situs cagar
budaya, seperti situs Gunung Padang.
Meski sulit dibendung, para pakar dan arekolog telah mencoba
membatah tentang piramida Gunung Padang. Sudah lebih 30 tahun, mulai 1980-an, Dr.
Lutfi Yondri, peneliti utama dari Badan Arkeologi Bandung, telah meneliti dan
melakukan eskavasi situs Gunung Padang.
Sejak saat itu hingga sekarang, ia dan tim peneliti lain
tidak menemukan adanya piramida di bukit yang bernama Gunung Padang di
kabupaten Cianjur ini. Usianya pun tak setua piramida yang ada di Mesir.
"Saya sudah melakukan pertanggalan karbonnya, Gunung
Padang itu dibangun di era pra sejarah, sekitar 117 SM - 45 SM. Kalau kita
lihat pembabakan budaya itu di era paleometalik," jelas Lutfi, usai
menyampaikan materi tentang Gunung Padang kepada relawan Forum Peduli Gunung Padang
dari Yayasan Dapuran Kipahere, di Cianjur, Sabtu (3/11/2018).
Munculnya isu piramida, menurut Lutfi, tak lepas dari adanya
pihak-pihak yang ingin mengemas hal tersebut untuk menandingi sesuatu.
"Jadi piramida nggak ada, koin purba nggak ada, semen purba nggak ada,
pasir peredam gemba nggak ada, reaktor hidroelektrik nggak ada," tegas
Lutfi.
Ia juga menceritakan bagaimana ia dan para arkeolog bergulat
dengan tim yang dibentuk pemerintah. "Pada saat ramai masalah gunung
padang itu (diisukan sebagai piramida), kami diberi dana untuk penelitian lebih
dalam.
Dari situ pergulatan yang luar biasa, saya jadi ketua tim
bergulat dengan tim yang dibentuk pemerintah SBY saat itu di antaranya Andi
Arief. Mereka menggulirkan berbagai isu tentang adanya piramida, kita mencoba
membantah dan membuktikan secara arkeologis."
"Kita eskavasi, kita dudukan kembali, penelitan
berbasis pelestarian. Kita rekam situs gunung padang dengan alat fotogrametri.
Ini bisa dipindah ke gambar tiga dimensi, kita bisa menghitung berapa jumlah
batu yang ada di gunung padang ini."
Luthfi menyatakan, di bawah hamparan teras situs Gunung
Padang itu semuanya hanyalah tanah. "Jadi ada tanah masa lalu, setelah
sekian ribu ditinggalkan baru dibangun punden berundak di atasnya.
Ini yang menjadi isu piramid, karena digambar dengan ilusi
imajiner (rekayasa komputer), digabungkan dengan gambar yang dibuat oleh bapak
Budi Bramantyo, sehingga munculah istilah Mancu Picu. Mancu picu itu jauh lebih
muda dibanding Gunung Padang. Mancu picu itu seumur dengan majapahit. Sementara
Gunung Padang ini di era pra sejarah."
Balok-balok batu berbentuk prisma yang dijadikan punden
berundak, juga berasal dari batu setempat, yang berasal dari proses vulkanik.
Di dalam Gunung Padang tidak ada ruangan, melainkan lapisan tanah yang basah.
"Di situ terdapat hidrolitik ada, hidrologi di sana, sehingga di Gunung
Padang tidak pernah kering."
Ada Emas di Kawasan Gunung Padang
Sempat pula ada isu bahwa Gunung Padang menyimpan kandungan
emas. Hal ini dibenarkan oleh Luthfi. Dengan adanya hidrotermal bekas gunung
api purba, dapat dipastikan kawasan Gunung Padang menyimpan kandungan emas.
Namun kandungannya tidak ekonomis. Dari pemerintah kolonial Belanda, juga Antam
sudah melakukan studi soal ini. Jadi, bukan pula emas itu dalam arti emas harta karun kerajaan-kerajaan masa silam.
"Gurandil, penambangan emas tradisional, di kawasan ini
masih ada. Artinya kandungan emas itu ada. Tapi saya pernah wawancara dengan
masyarakat, satu tahun itu dia mengeluarkan modal hampir Rp.1 miliar.
Penghasilan kotor satu tahun itu Rp.1,5 miliar. Artinya keuntungan kotor itu
Rp.500 Juta. Dibagi 365 hari, dibagi sekian ratus pekerja, ekonomis atau tidak,
menguntungkan atau tidak?" papar Lutfi.
"Emas yang sesungguhnya, yang paling berharga, adalah
situs Gunung Padang itu sendiri. (Dari Gunung Padang kita bisa belajar)
Bagaimana pemimpin yang baik, masyarakat yang baik. Semua itu kita bisa baca
dari Gunung Padang, bagaimana gotong royong dan sebagainya. Tanpa gotong
royang, pemimpin yang baik, masyarakat yang kompak Gunung Padang tidak mungkin
dibangun," imbuhnya.
Situs Gunung Padang ini sendiri sebenarnya telah ditemukan
sejak lama. Berdasarkan catatan, pada masa pemerintah kolonial Belanda, R. D.
M. Verbeek (1891) pernah datang juga De Corte dan kemudian N.J. Krom (1914)
menyebutnya sebagai kuburan kuno.
"Saya sudah lakukan eskavasi di Gunung Padang itu tidak
menemukan indikasi kuburan. Yang kuat itu gunung padang tempat masyarakat jaman
dulu melakukan upacara ritual pemujaan masyarakat," jelas Lutfi.
Pada 1979, tiga orang petani satu kerabat berniat membabat
ilalang untuk dimanfaatkan sebagai ladang. Ketika itu mereka menemukan hamparan
balok-balok batu berbentuk prisma, tersusun berserakan. Setelah dilaporkan ke
pihak yang berwenang, penelitian dan pemugaran Gunung Padang kembali dilakukan
oleh para arkeolog Indonesia. Sementara keluarga para penemu situs Gunung
Padang menjadi juru kunci atau Juru Pelestari Cagar Budaya Gunung Padang. Salah
satunya, Nanang Sukmana, cucu dari tiga petani yang menemukan Gunung Padang.
Dengan adanya isu piramida, masyarakat makin ramai
mengunjungi situs ini. Meski dikhawatirkan menambah kerusakan, Luthfi berharap
momen ini menjadi titik balik bagi kita untuk mengemas dan menata situs ini ke
depan sehingga dapat pertahankan dengan baik.
"Angka pertumbuhan pengunjung meningkat drastis sejak
ada isu piramida itu. Tidak hanya wisatawan lokal tapi juga dari wisatawan
mancanegara. Yang disayangkan dari Pemda Cianjur. Publikasi Gunung Padang hanya
diandalkan dari pengunjung ke pengunjung. Belum ada publikasi yang ajeg dari
Pemkab ataupun pemprov, sehingga isu (piramida) itu menjadi kemasan. Kita
berharap, yang datang wisatawan dari dalam negeri untuk men-counter balik isu
piramida. Bahwa itu hanya hoax," harap Lutfi.
"Kalau nilai-nialai itu benar-benar dikemas secara
baik, angka wisatawan nusantara akan meningkat. Untuk wisatawan mancanegara
tidak perlu khawatir, mereka akan mencari tahu sebelum datang ke gunung padang,
siapa narasumber yang bisa temui untuk menjelaskan yang sebenarnya tentang
gunung padang," pungkasnya.
Artikel ini telah saya unggah di Kompasiana dengan judul "Arkeolog: Tidak Ada Piramida di Gunung Padang" https://www.kompasiana.com/bigbangbow/5be6d737ab12ae27b5109ac6/arkeolog-tidak-ada-piramida-di-gunung-padang
0 komentar:
Posting Komentar