Situs Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat, menjadi destinasi
wisata yang tepat buat kamu yang ingin merasakan liburan atau jalan-jalan yang
berbeda. Menuju lokasi yang pernah menjadi tempat peribadatan masyarakat
purbakala di puncak bukit, kita akan langsung disuguhi pemandangan alam,
hamparan kebun teh nan hijau di sisi kiri dan kanan, serta udara nan segar.
Tak kalah penting, jalan menuju ke sana sudah mulus. Pemerintah
daerah (Pemda) Kabupaten Cianjur dan Provinsi Jawa Barat tengah serius menata aset
cagar budaya peninggalan masa pra sejarah tersebut. Untuk sampai di pintu masuk
Situs Gunung Padang, kita perlu melewati 20 km dari jalan raya Cianjur-Sukabumi.
Meski daerah perbukitan dan dataran tinggi dengan medan menanjak dan
berkelok-kelok, kita tak perlu khawatir jalan terjal. Pemerintah telah melebarkan
jalan seluas kurang lebih 8 m dan memuluskannya dengan cor.
Sampai di pintu masuk, kita hanya butuh Rp.5000 per orang
untuk tiket, selenjutnya dipersilakan mendaki tangga menuju lima teras situs
pemujaan roh leluhur dari tahun 117 SM.
Ada dua pilihan tangga. Pertama tangga
curam, yang tersusun dari bebatuan setinggi 175 m. Ini tangga asli sejak situs
Gunung Padang ditemukan. Bisa jadi, sejak sebelum masehi itu. Pilihan kedua
adalah tangga landai dengan bahan semen cor sejauh atau setinggi 300 m.
Teras Satu
Pas di ujung tangga naik tadi, ada dua balok yang disebut
sebagai gerbang pertama. Sedikit ke tengah area teras satu ini, puluhan menhir
tertancap berdiri membentuk ruangan kotak persegi panjang. Dua menhir di
antaranya lebih besar dan tinggi, disebut sebagai gerbang kedua. Di bagian
dalam, agak ke ujung, ada batu pipih sejenis batu dolmen namun tanpa penyangga.
Warnanya berbeda, lebih menyerupai oranye kekuning-kuningan.
Juru kunci Gunung Padang, Nanang Sukmana menerangkan, pada
masa silam, nenek moyang kita menggunakan tempat ini untuk acara-acara khusus.
Setelah selesai, dari tempat ini kemudian menuju ke teras dua, tiga, empat dan
lima melalui gerbang sederhana, yang juga berupa dua pancang menhir balok batu.
Masih di teras satu, dekat tangga ke teras dua, ada batu
musik, disebut juga batu bonang atau batu gamelan dan ada juga batu kecapi.
Batu ini bisa mengelurkan nada khas Sunda, Da Mi Na Ti La Da, ditabuh
menggunakan jari tangan. Pada ujung batu musik tersebut terdapat relief lima jari.
Konon, sering bunyi sendiri di malam hari. Tapi ada pakar yang mengatakan ini
adalah sarana untuk menyetel atau stem alat musik.
Pola prisma menhir rata-rata persegi lima. Namun kata arkeolog
pakar Gunung Padang, Dr. Lutfi Yondri, M.Hum, sebenarnya tidak semua batu polanya
demikian sebagaimana legenda yang berkembang di masyarakat. Ada persegi empat,
tujuh hingga yang paling sempurna yakni segi delapan. Berdasarkan penelitiannya,
yang sudah dimulai lebih 30 tahun lalu, sejak 1980an, semua batu-batu tersebut
berasal dari proses vulkanik. Gunung Padang sendiri merupakan bekas gunung api
purba, meninggalkan gundukan bukit dan balok-balok batu berjumlah ribuan, ada
yang menyatakan jutaan.
Pada 117 SM yang lalu, nenek moyang kita di tempat ini mulai
menyusun batu-batu tersebut menjadi kuil peribadatan atau pemujaan. Hasil tes
laboratorium yang dilakukan Lutfi Yondri dan rekan-rekan penelitinya menyatakan
bahwa susunan batuan yang berada di teras satu atau paling bawah usianya lebih
tua dari teras dua dan seterusnya. Sampai di teras empat, diperoleh angka tahun
45 SM. Ini menandakan Situs Gunung Padang dibangun secara bertahap dari bagian
paling bawah menuju tempat paling atas, selama kurang lebih 62 tahun.
Masih di teras satu, terdapat sebuah pohon besar. Akarnya menelan
batu-batu yang cukup banyak di bawahnya. Jumlah batu di teras satu ini lebih
banyak dari teras-teras berikutnya. Semakin ke atas semakin sedikit. Bahkan di
teras empat nyaris lapang. Namun kepadatan atau jumlah batu/menhir kembali
terjadi di teras lima atau puncak Gunung Padang. Hal itu karena teras yang
paling atas merupakan area paling vital dalam ritual atau pemujaan.
“Punden berundak Gunung Padang, kalau dibagi secara
sederhana, ada sumur tua yang disebut sumur kahuripan, ada tangga utama, ada
teras satu sampai lima, ada dinding pembatas teras, ada tangga teras, dinding
batas halaman,” jelas Lutfi kepada Forum Masyarakat Peduli Gunung Padang di
bawah naungan Yayasan Dapuran Kipahare, di Kantor Juru Pelestari (Jupel) Gunung
Padang, Cianjur, Sabtu (3/11/2018).
Ia meyakinkan bahwa tidak ada piramida di situs Gunung
Padang sebagaimana kabar yang dihembuskan Ali Akbar dan peneliti lain pada
sekitar tahun 2011 hingga 2013. “Sebenarnya di dalam Gunung Padang itu bukan
ruangan, tapi lapisan tanah yang basah. Di situ ada hidrolitik. Ada hidrologi di
sana, sehingga di Gunung Padang itu tidak pernah kering. Itu yang menyimpan air
sehingga Gunung Padang tidak pernah kering. Masih ada tangga yang asli dari
susunan jaman dulu, ribuan tahun lalu,” tegasnya.
Namun sejalan waktu, karena proses alam dan juga fenomena
seperti gempa, maka terdapat bagian yang tak utuh lagi. Perlu diketahui, Gunung
Padang ini dilalui dua sesar aktif. Meski begitu, masih banyak bagian dan
susunan altar di teras satu sampai teras lima yang masih utuh setelah melalui
waktu ribuan tahun lamanya.
Teras satu menyambung dengan tumpukan batu menggunung,
hampir mencapai teras dua. Ada bekas tangga yang sudah tidak dapat dipakai.
Warga menyebut ini sebagai bukit masigit atau mahkota dunia. Pada puncak
gunungan itu tumbuh pohon tinggi yang cukup rindang. Menurut kepercayaan, ini
adalah tempat atau gudang ilmu. Area ini merupakan yang paling sejuk dibanding
teras-teras lainnya.
Walau pagar tali mengelilinginya, pengunjung boleh mendaki tumpukan menhir tersebut dari teras dua, dengan syarat melepas alas kaki. Tujuannya untuk menjaga dan melindungi menhir-menhir yang ada. Dari situ pula, kita bisa menyaksikan, hamparan teras satu dan tangga di bawahnya atau meneropong jauh ke atas hingga ke teras lima, menyaksikan perbukitan di sekeliling gunung padang, serta puncak gunung Pangrango di kejauhan.
Melangkah ke gerbang teras dua, ada yang disebut batu kursi.
Ini merupakan tempat duduk raja atau pemimpin. Dari tempat duduk ini bisa
menikmati panorama alam, tampak pula puncak gunung gede pangrango bila cuaca
cerah.
Di teras tiga, terdapat menhir yang disebut Batu Kujang. Berupa
menhir besar, posisinya sudah roboh atau terbaring. Disebut batu kujang karena
pada satu sisinya terukir gambar senjata khas masyarakat Sunda atau Jawa Barat
itu. Ukuran reliefnya cukup besar. Nanang Sukmana meneceritakan, ukiran ini
sudah ada sejak situs dibuka kembali pada 1979.
Di teras tiga ini juga, ada batu yang dikenal dengan jejak
maung atau harimau. Batunya pun beda dari menhir-menhir lainnya. Ukurannya
besar terbaring dan lumayan bulat tidak sempurna. Nanang menjelaskan, memang
sekilas relief itu mirip tapak haraimau. Kebetulan juga maung adalah bahasa
Sunda yang artinya harimau. Namun dalam arti lain, maung itu singkatan dari
manusia unggul. Jadi relief ini merupakan jejak dari pertapaan yang dilakukan
oleh manusia unggul. Jika dihitung, jejak maung itu memiliki cekungan berjumlah
sembilan. Di sisi bawah, ada relief jejak tumit kiri dan kanan, lalu di batu
depannya ada jejak tongkat. Jika dipraktikkan, maka duduk sesuai dengan jejak
tapak, tumit dan tongkat itu menghadap ke timur alias menyongsong mentari atau sunrise.
Naik ke teras empat. Ini adalah teras yang paling lapang.
Balok-balok batu kebanyakan hanya tertancap sebagai pagar di sekeliling teras.
Namun ada satu blok di dekat sebuah pohon yang tumbuh menjulang. Batu yang
ukurannya lumayan besar ketimbang menhir-menhir di sekelilingnya. Berpagar batu-batu
lebih kecil, menhir itu tegak berdiri namun menapak tidak terpendam tanah.
Kini, juru pelestari mengamankannya dengan kawat karena posisinya kerap
berpindah-pindah, rawan hilang dan rusak. Itu karena banyak pengunjung yang
berusaha mengangkat dan memindahkannya.
Menurut kepercayaan yang berkembang, siapa yang dapat
mengangkat batu tersebut, maka hajatnya akan terkabul. Nanang Sukmana
menegaskan, sebenarnya itu merupakan kesalahpahaman. Ini adalah batu
kanuragaan. Dalam budaya masa lalu, batu ini merupakan simbol pengujian. Menhir
ini dipercaya sebagai batu yang mampu menyerap dan mentransformasikan energi
alam semesta. Ia akan terasa begitu panas di siang hari akibat energi dari
matahari, dan sebaliknya begitu dingin di malam hari karena menyimpan energi
dari bumi.
Baru kemudian di teras lima, jumlah menhir kembali padat.
Hampir sebanyak jumlah batu yang ada di teras satu dan dua. Ada yang tersusun
sedemikian rupa menempel dengan tanah, menjadi semacam tempat tidur. Dinamai
sebagai singgahsana. Nanang mengatakan, ini adalah tempat tidur atau istirahat Eyang
Prabu Siliwangi ketika bertapa atau berdiam di tempat ini. Pada malam hari,
ketika berbaring di tempat ini, tampak bintang-bintang di angkasa tanpa
terhalang suatu apapun.
Tak jauh dari tempat peristarahatan tersebut, batu paling
besar, saat ini posisinya terbaring. Pagar tali mengelilinginya. Menurut kisah,
dulunya batu besar ini berdiri dan di depannya terdapat altar. Di samping kanan
dan kiri area batu besar tersebut masih ada dua titik, yang disebut tempat
sunan rama dan sunan ambu sebagai simbol ayah dan ibu. Nabi Adam dan Siti Hawa.
Punden berundak Gunung Padang merupakan situs pemujaan
berbentuk punden berundak tertua di Indonesia. Ini juga menjadi salah satu yang
terbesar di Asia Tenggara dengan luas 29 hektar dan tinggi 220 m, yang masih
terjaga hingga kini. Meski sudah tidak dipakai sebagai tempat pemujaan, beberapa
masyarakat dari Bali, yang beragama Hindu, diketahui kerap datang ke sini.
Menurut Lutfi, mungkin mereka memiliki rasa kedekatan dengan budaya dari
leluhur di masa silam tersebut.
Tiap hari puluhan wisatawan lokal dan luar negeri
berdatangan mengunjungi tempat ini. Rata-rata per bulannya, 300an turis manca
negara tercatat menyambangi situs yang sempat heboh karena diduga merupakan
piramida yang lebih tua dari Mesir itu.
*Artikel ini telah diunggah di akun saya di Kompasiana.com dengan judul serupa namun sedikit editing perupahan. Berikut link-nya https://www.kompasiana.com/bigbangbow/5beed273aeebe11de2429332/menapaki-punden-berundak-tertua-di-nusantara-dibangun-selama-62-tahun
0 komentar:
Posting Komentar