Selasa, 20 November 2018

Mengkaji Ulang Istilah “Megalitikum” Situs Gunung Padang.


34 tahun lalu, pada tahun 1984, Dr. Luthfi Yondri, M.Hum, bersama tim peneliti arkeologi lainnya, memulai penelitan di situs Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat. Penelitian tersebut menghasilkan sebuah buku Album Megalitikum Gunung Padang. Sejak saat itu, istilah megalitikum mulai disematkan untuk situs purbakala ini. Ini juga masih terpampang di plang-plang penunjuk arah dan pintu masuk ke kawasan, yang kini ramai dikunjungi para wisatawan domestik dan manca negara tersebut.

Namun seiring berjalannya waktu, Luthfi merasa istilah megalitikum untuk situs Gunung Padang itu tidak tepat dan perlu dikaji ulang. “Seiring perjalanan waktu ada gejolak di hati, apakah betul megalitikum? Apa itu megalitikum? Generasi sekarang, seperti kacamata kuda, wah ini megalitikum,” ujar peneliti utama di Balai Arkeologi Jabar, dalam pemaran mengenai situs Gunung Padang kepada Komunitas Dapuran Kipahare, sebuah forum masyarakat yang peduli dengan pelestarian situs cagar budaya, salah satunya situs Gunung Padang, Sabtu (3/11/2018).

Dalam kegiatan yang berlangsung di kantor Juru Pelestari Gunung Padang itu, Luthfi meminta kita untuk mengganti sebutan megalitikum dengan situs Gunung padang. Secara etimologi, megalitikum berarti batu besar. Menurut Luthfi, begitu berjalan ke berbagai belahan dunia, kita akan tahu perbedaannya, apakah betul istilah megalitikum itu digunakan.
Sebenarnya, sejak tahun 1950-an, sudah muncul gagasan yang menyatakan bahwa Gunung Padang bukan situs Megalitikum. Luthfi menuturkan, megalitikum ini merupakan bagian penelitian yang dilakukan oleh bangsa Eropa. Pertama kali dilakukan di daerah Pasifik, ketika itulah istilah batu besar dipakai. Sejalan waktu, terjadi beberapa perubahan.
Budaya yang disebut megalitkum itu sendiri datang ke Indonesia sekitar 2500 SM, pertama kali megalitik tua dengan bentuk peninggalan seperti punden berundak dan lain-lain. Kemudian megalitik muda dengan peninggalan ornamental. Tapi lagi-lagi, soal periodeisasi itu dibantahnya.
“Almarhum Prof Bagio melihat lagi apakah betul periodeisasi itu, ternyata tidak ada angka itu. Ini nanti juga berkaitan dengan siapa yang membawa budaya pemujaan para leluhur itu? Para peneliti sepakat, yang membawa budaya itu kelompok rumun ras Austronesia yang keluar dari Afrika sekitar  5000 tahun yang lalu, lalu ke Asia lewat dari arah barat Indoesia. Daerah paling awal peninggalan ras austronesia itu ada di situs Pasir Angin yang punya pertanggalan 1000 SM. Di sana ditemukan beliung-beliung persegi yang dibawa kelompok-kelompok austronesia.”
Pada 1993, Luthfi dan rekan-rekan arkeolog mulai berpikir ulang dengan tidak lagi menggunakan istilah archa megalitikum, tapi archa sederhana. Meskipun, katanya, istilah itu juga masih bermasalah. “Harusnya archanya jangan lagi disebut archa megalitikum atau sederhana, harusnya archa polenesia. Archa-archa itu berkembang dan dapat pengaruh budaya yang datang kemudian. Yang membawa archa-archa yang disebut archa sederhana dan archa megalitik itu adalah kelompok ras austronesia itu. Pada saat perkembangannya mereka tersebar dan terpecah jadi kelompok baru, yang datang ke Asia disebut Proto Malay Austronesia, kemudian ke wilayah barat Proto Malay Westrnesia.”

Mengenai periodeisasi situs Gunung Padang ditemukan angka yang lebih muda dari dugaan-dugaan sebelumnya. Prof. Bagyo Prasetyo telah menduga bukan dari era 2500 atau 1500 SM, tapi di era Paleometalik, di akhir masa pra sejarah. Tapi ia belum bisa menunjukkan bukti-bukti karena penelitiannya belum didukung teknologi laboratorium. Setelah Luthfi dan para arkeolog melakukan penilitian lanjut, ia mendapatkan pertanggalan karbonnya, yakni, Gunung Padang dibangun secara bertahap dari sekitar 117-45 SM.

Pada era kolonial Belanda, Gunung Padang telah diteliti. Dua literatur yang menjadi acuan dari Verbeck dan N.J. Krom. Mereka berdua mengatakan bahwa situs Gunung Padang ini merupakan kuburan kuno. Namun setelah melakukan eskavasi, Luthfi tidak menemukan indikasi adanya kuburan. “Yang kuat itu gunung padang tempat masyarakat jaman dulu melakukan upacara ritual pemujaan masyarakat,” tegas doktor lulusan terbaik Universitas Padjajaran, Bandung , dengan disertasi tentang situs Gunung Padang ini.

0 komentar:

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html