34 tahun lalu, pada tahun 1984, Dr. Luthfi Yondri, M.Hum,
bersama tim peneliti arkeologi lainnya, memulai penelitan di situs Gunung
Padang, Cianjur, Jawa Barat. Penelitian tersebut menghasilkan sebuah buku Album
Megalitikum Gunung Padang. Sejak saat itu, istilah megalitikum mulai disematkan
untuk situs purbakala ini. Ini juga masih terpampang di plang-plang penunjuk
arah dan pintu masuk ke kawasan, yang kini ramai dikunjungi para wisatawan domestik
dan manca negara tersebut.
Namun seiring berjalannya waktu, Luthfi merasa istilah
megalitikum untuk situs Gunung Padang itu tidak tepat dan perlu dikaji ulang.
“Seiring perjalanan waktu ada gejolak di hati, apakah betul megalitikum? Apa
itu megalitikum? Generasi sekarang, seperti kacamata kuda, wah ini
megalitikum,” ujar peneliti utama di Balai Arkeologi Jabar, dalam pemaran
mengenai situs Gunung Padang kepada Komunitas Dapuran Kipahare, sebuah forum
masyarakat yang peduli dengan pelestarian situs cagar budaya, salah satunya
situs Gunung Padang, Sabtu (3/11/2018).
Dalam kegiatan yang berlangsung di kantor Juru Pelestari
Gunung Padang itu, Luthfi meminta kita untuk mengganti sebutan megalitikum
dengan situs Gunung padang. Secara etimologi, megalitikum berarti batu besar.
Menurut Luthfi, begitu berjalan ke berbagai belahan dunia, kita akan tahu
perbedaannya, apakah betul istilah megalitikum itu digunakan.
Sebenarnya, sejak tahun 1950-an, sudah muncul gagasan yang
menyatakan bahwa Gunung Padang bukan situs Megalitikum. Luthfi menuturkan,
megalitikum ini merupakan bagian penelitian yang dilakukan oleh bangsa Eropa.
Pertama kali dilakukan di daerah Pasifik, ketika itulah istilah batu besar
dipakai. Sejalan waktu, terjadi beberapa perubahan.
Budaya yang disebut megalitkum itu sendiri datang ke
Indonesia sekitar 2500 SM, pertama kali megalitik tua dengan bentuk peninggalan
seperti punden berundak dan lain-lain. Kemudian megalitik muda dengan
peninggalan ornamental. Tapi lagi-lagi, soal periodeisasi itu dibantahnya.
“Almarhum Prof Bagio melihat lagi apakah betul periodeisasi
itu, ternyata tidak ada angka itu. Ini nanti juga berkaitan dengan siapa yang
membawa budaya pemujaan para leluhur itu? Para peneliti sepakat, yang membawa
budaya itu kelompok rumun ras Austronesia yang keluar dari Afrika sekitar 5000 tahun yang lalu, lalu ke Asia lewat dari
arah barat Indoesia. Daerah paling awal peninggalan ras austronesia itu ada di
situs Pasir Angin yang punya pertanggalan 1000 SM. Di sana ditemukan
beliung-beliung persegi yang dibawa kelompok-kelompok austronesia.”
Pada 1993, Luthfi dan rekan-rekan arkeolog mulai berpikir
ulang dengan tidak lagi menggunakan istilah archa megalitikum, tapi archa
sederhana. Meskipun, katanya, istilah itu juga masih bermasalah. “Harusnya
archanya jangan lagi disebut archa megalitikum atau sederhana, harusnya archa
polenesia. Archa-archa itu berkembang dan dapat pengaruh budaya yang datang
kemudian. Yang membawa archa-archa yang disebut archa sederhana dan archa
megalitik itu adalah kelompok ras austronesia itu. Pada saat perkembangannya
mereka tersebar dan terpecah jadi kelompok baru, yang datang ke Asia disebut
Proto Malay Austronesia, kemudian ke wilayah barat Proto Malay Westrnesia.”
Mengenai periodeisasi situs Gunung Padang ditemukan angka yang
lebih muda dari dugaan-dugaan sebelumnya. Prof. Bagyo Prasetyo telah menduga
bukan dari era 2500 atau 1500 SM, tapi di era Paleometalik, di akhir masa pra
sejarah. Tapi ia belum bisa menunjukkan bukti-bukti karena penelitiannya belum
didukung teknologi laboratorium. Setelah Luthfi dan para arkeolog melakukan
penilitian lanjut, ia mendapatkan pertanggalan karbonnya, yakni, Gunung Padang
dibangun secara bertahap dari sekitar 117-45 SM.
0 komentar:
Posting Komentar