Sokre mengatakan, kalau jadi Mentri Pendidikan, saya akan menghapus pendidikan jenjang SMA. Itu hanya buang-buang waktu dan umur. Jadi seperti di luar negeri, misalnya Prancis, sesudah jenjang SMP langsung ke perguruan tinggi.
Aris menyepakati Sokre. Ia ikut bicara. “Betul juga, banyak mata pelajaran SMP diulang di SMA. Itu pemborosan. Banyak pelajaran seperti Bhs Arab (untuk MTs), Indonesia dsb, sama dengan di MA/SMA. Masuk ke Perguruan Tinggi, pelajaran itu terulang lagi. Tapi anehnya banyak yang nilainya tetap jelek. Berarti pembelajaran di SMP dan SMA gagal/percuma. Mendingan dipadatkan tiga tahun, pasti lebih efektif.”
Jame menolak pendapat itu dan berujar, “Kenapa sih harus selalu meniru barat. Sistem pendidikan yang cocok dengan Indonesia itu adalah pesantren. Ini budaya kita dari zaman kerajaan sampai sekarang. Kelemahan banyak pesantren mungkin hanya terletak pada kurangnya keterbukaan pada dunia luar. Perhatikanlah, rata-rata santri pesantren lebih barhasil menyerap apa yang mereka pelajari. Karena di pesantren mereka langsung mengaplikasikan apa yang mereka dapat sebagai bagian dari keseharian.”
Akhirnya, Deskro angkat suara. “Sebenarnya manusia Indonesia butuh pengutan karakter individu. Kalau secara individu kita kuat, maka bayangkan jika bersatu. Otomatis akan lebih kuat. Selama ini dari jenjang pendidikan SD-Perguruan Tinggi, kita selalu didoktrin bahwa bangsa kita punya budaya gotong-royong. Kita harus melestarikan budaya tersebut. Karena ini bagian dari jati diri bangsa.
Banyak yang menyebut, nilai-nilai itu telah terkikis. Tapi kenyataannya, doktrin itu bersemayam dalam jiwa manusia Indonesia. Padahal gotong-royong punya sifat negatif, yang membuat masing-masing individu tegantung pada kekuatan massa. Kita merasa menjadi pribadi lemah, jika tanpa kawan. Ketika individu-individu lemah itu bersatu, berbuahlah persatuan yang lemah, terutama pada jiwa dan pikiran.
Dalam kerumunan massa yang besar, individu telah hilang. Mereka tak lagi menjadi individu, melainkan telah menyatu dalam massa. Lebih lagi jika mereka secara pribadi memang lemah.
Kita pasti paham, bahwa massa tak kenal pengetahuan, etika atau akhlak. Massa hanya butuh perintah dan komando saja. Mereka siap gebuk siap pukul tanpa pertimbangan rasio dan etika.
Karenanya, yang paling bangsa Indonesia butuh adalah penguatan karakter Individu. Selama ini, doktrin gotong-royong terlampau dilebih-lebihkan. Sehingga menciptakan pribadi-pribadi berkualitas lemah. Bukan berarti gotong-royong sepenuhnya buruk. Ini perlu ada sebagai penyeimbang. Tapi jangan berlebihan.
Jangan terlalu khawatir/merasa kita telah kehilangan budaya gotong-royong. Sebab, manusia secara naluriah memilikinya. Sedangkan kekhawatiran hilangnya budaya ini hanya akan memengaruhi alam bawah sadar/jiwa bangsa Indonesia menjadi manusia lemah yang takut sendirian... hehehe
pic source : http://teresakok.com
2 komentar:
argumentasinya okay.....
sekalian mo kasih tau, untuk media komen agar tidak dibatasi, karena komen bisa untuk saling berbagi pengetahuan antar individu, walau bukan berarti gotong royong....
pengendara.wordpress.com
sepakat... komentar selalu bersifat subjektif... karenanya saya sepakat itu bukan termasuk gotong royong
Posting Komentar