Selasa, 26 Oktober 2010
Wakil Kita Di Angkutan Kota
Perjumpan itu memang mistis. Ingatan kita masih bening, saat menyaksikan sosok lawan jenis di kendaraan yang berbeda. Jalan kita berlawan arah. Mungkin karenanya kita berpapasan.
Dalam catatan ini, terpaksa kusebut sebuah nama kota, yang tak indah untuk sajak, syair, puisi atau lirik lagu. Ciputat adalah tempat yang kau tinggalkan kala itu. Mengejar rindu dengan tanah moyangmu. Sedang karena alasan lain, Ciputat adalah tujuanku, dari usaha mengambil citra Taman Kota. Kala itu.
Lakumu di Januari. Sedangku di bulan Mei. Kau duduk di bus antar kota. Aku terjepit di angkutan kota saja.
Berterima kasihlah pada dua raga, pria dan wanita. Berdua mereka jadi perantara sukmaku sukmamu.
Atas deret bangku jajar dua. Arjuna datang senyum padamu. Duduk di samping tawar pinjamkan sebuah buku. Sudah pasti kau tersenyum malu. Tetap dengarkan lagu, dari pemutar musik hadiah ayahanda.
Aku sadar, matamu melirik sesekali. Terkejut arjuna menawarkan makanan ringannya. Laga bodohmu menolak pemberian. Sebab yang kau rasa tak keruan. Hingga mata terpejam. Itu awal sesalmu. Ia pergi tanpa pamit.
Di tempat jauh raga lainnya.
Atas deret bangku angkutan kota. Aku tersudut sendiri. Di himpit perempuan gendut. Seorang nenek membawa ayam dengan bau kotorannya. Keranjang jago itu khas pengadu. Tiga perempuan bersido merah jambu, duduk makin membuatku tersudut. Kuatap kaca belakang. Peluru pandang terkucur di atas aspal.
Namun terbelalak. Wajah kuluruskan. Kita saling berpandangan. Di sudut tepat depanku. Belum pernah kujumpa, perempuan berpunya seranum bibirmu. Kutatap lekat. Mengopi seluruh citra ayu. Hampir overload otak ini. Terlalu besar file yang kusimpan.
Sesekali pupil beradu. Kau gigit-gigit bibir itu. Rambutmu tergurai bagikan pelepah palma [Rendra]. Di kirimu duduk dempet perempuan paruh baya. Cantik kalau dia masih muda. Ia perhatikan gerak mataku. Aku yakin itu ibumu.
Wajah telanjangku salah arah, salah polah. Kubuang tatap di udara yang berisik. Dari balik kaca, jalan mengalir deras. Pohon-pohon menimbun belakangnya.
Kamu ketahuan mencuri pandang. Tapi pintar sekali, kau hanya menggigit bibir mungil itu.
Ciputat selesai di pasar. Kau turun di bekas Bioskop Niagara. Kutemukan sehelai mawar merah jambu. Di bawah tempat dudukmu. Aku belum turun. Di balik jendela kulihat kau gerai-gerai rambut itu. Doaku semoga kita kan bertemu.
Di Ciputat sebenarnya.
Pria dan Perempuan Itu Tak Ada.
Hanya Aku Dan Kamu
Senin, 25 Oktober 2010
Tempat Teraman
Menyadari sekitar tak kenal kompromi
Bisa jadi salah persepsi
Keriuhan hanya benteng rapuh dari intai kuping-kuping nakal
Kami berdua menepi
Mencari tempat sunyi
Di pojok gedung lalu-lalang sesekali
Malah mengejutkan tak pasti
Berdua menarik diri
Dalam ruang kamar
Kontrakan empat sisi
Tak ada mata peduli
Tak juga kuping nakal iri
Tetap saja
Gelak pintu tetangga
bolak-balik ceramai
Kejutkan
Kagetkan
Tak tenang.
Putuskan tunggu malam
Sampai nyamuk pulas tidurnya
Sampai pintu enggan bicara
Dan kunci kamar berdua
Tak kubiarkan desing kipas mengganggu
Getar komputer raba jiwa
Tak kubiarkan
Dia siap bicara
Aku bicara
Mulut terkatup
Angin bising menangis
Kalah tempur oleh asap kendaraan
Malam kian renta
Kuberitahu tempat aman sedunia
Aku dan dia
Dialog mesra
Dalam dadaku
Lebih dalam
Di kamar rapat
Kiri jantung belok lurus
Tembus tempat tersenyap
Tanpa dengar alir darah
Ruang jiwaku
Di sini kami berbagi
Aku dan dia
Sementara
Biarkan jiwa coba mengintai
Lewat sumsum tulang
Tak mungkin ia dengar
Gelak tawa kita berdua
Sabtu, 23 Oktober 2010
Obrolan Di Taman Ushuluddin
Sampailah congor kami membilang kesendirianku, akibat penarikan diri dari keramaian. Ia berujar, “tapi kamu mendapatkan kebebasan? Di sana kamu bebas mengembangkan dirimu tanpa terbelenggu ini dan itu.”
“Sebagian manusia merindukan kebebasan yang telah terampas oleh sistem-sistem besar internasional maupun lokal. Tapi sebagian lain linglung serta kehilangan arah dalam cakrawala kebebasan. Setelah tembok pengekangan runtuh, tersisa pagar penjara yang bergitu luas tak terbatas hingga tak kasat mata. Pagar itu merupakan batas kebebasannya. Ia tak tahu di mana batasan langkahnya. Semua tempat singgah bukanlah saung yang nyaman, melainkan hamparan tak bertepi,” paparku.
“Apakah kau seperti itu? Bagai bumi lepas dari gravitasi matahari. Terombang-ambing di jagad buana yang gelap gulita? Dan hanya kelip-kelip bintang kau temui, yang tak sanggup menerangi?” tanya sobat perempuanku.
“Kadang demikian. Saat sadar lagi aku bersyukur atas itu. Tapi nyatannya kebebasanku belum penuh. Masih ada sekat penghalang mata guna menatap ketakterlihatan batas kebebasan. Salah-satunya keluarga atau orang tua. Walau mereka tak pernah menuntutku. Namun perasaanku belum bebas. Aku merasa tak enak. Kau tahu itu. Mereka akan bangga melihatku sukses. Dan standar sukses mereka adalah standar nasional, mungkin bahkan internasional. Yaitu suskses dengan jabatan tinggi dan uang yang melimpah. Kau tahu, aku berasal dari keluarga dengan ekonomi pas-pasan. Menurut standar internasional keluargaku belum mapan.”
“Lalu sekarang apa yang kau rasakan?” tanyanya dengan gaya reporter.
“Sendiri. Aku semakin jauh dengan fondasi yang aku bangun dulu. Sebelum aku menarik diri, menara suksesku seperti tinggal menunggu. Semua itu kini hanya menjadi fatamorgana.”
“Aku tahu alasanmu menarik diri,” tukasnya sok tahu.
“Ya, kamu tahu itu. Tapi jangan merasa kau tahu sepenuhnya. Itu terlalu gegabah, dan menyinggung perasaanku.”
“Bisa kau katakan alasan yang belum kuketahui?”
“Tak semua. Ini privasi. Tapi baiklah, salah-satunya karena aku sangat menghargai ketegasan. Ketegasanku diuji waktu itu. Aku memilih menarik diri. Aku merasa sudah kuat menjalani hidup baru. Ada beberapa komunitas yang mengharapkan keberadaanku. Komunitas-komunitas itu sebagian ada di bidang yang sama dengan organisasi kita. Beberapa lainnya jauh berbeda.”
“Kamu menyesal? Dan apakah kamu saat ini merasa lemah?”
“Tidak. Eh, kadang-kadang ya. Saat-saat aku merindukan kebersamaan, romantisme, keguyuban, pertengkaran dan sebagainya. Kau bisa bayangkan bagaimana aku bertengkar, bercanda dan sebagainya tanpa komunitas? Ya seperti itulah aku. Mungkin titik ini adalah titik nol. Angka yang menjadi lambang ketuhanan. Sebab nol tak bisa dibagi. Komputer, kalkulator dan alat hitung apapun akan eror jika berani coba membagi angka nol. Angka ini adalah simbol ketakberhinggaan, kekosongan yang sempurna.”
“Aku kurang menangkap apa yang kamu bicarakan? Dan bukankah Tuhan itu disimbolkan angka satu?”
“Bukan. Angka satu masih bisa dibagi. Angka satu lebih cocok menjadi simbol utusan Tuhan yang menyelamatkan umat manusia. Itu pendapat yang kuyakini saat ini. Karenanya, kamu tak usah bertanya alasan dan penjelasannya. Urusan keyakinan tak bisa dan tak mau kau debat dengan rasio. Ia punya logika sendiri. Sebuah logika yang tak bisa dilogikakan. Asal kamu tahu, saat ini juga kamu menggunakan logika tertentu dalam pertanyaan-pertanyaan yang kau ajukan padaku. Perlu kamu ingat juga bahwa logika bisa dibuat. Logika yang dibangun Aristoteles sangat relevan untuk jaman dan konteks wilayah tertentu. Tapi di abad modern logikanya dikritik habis-habisan.”
“Tapi tak bisa begitu juga dong. Bagaimana aku bisa menerima pendapatmu jika tak sesuai dengan logikaku?”
“Aku tak memintamu untuk menerima.”
“Ya setidaknya untuk memahami bahwa ucapan dan tindakanmu tidak salah menurutku.”
“Aku juga tak memintamu untuk paham dan membenarkan ucapan dan tindakanku. Itu hakmu. Terserah kamu. Toh dunia akan tetap ada tanpa aku, tanpa kamu, bahkan tanpa manusia. Kalau kamu benar-benar ingin memahami, lakukan itu dengan cinta. Cinta adalah contoh paling dekat untuk menjelaskan ketidakrasionalan. Apa alasanmu mencintai Syakur? Apakah dia lebih baik dan lebih bagus serta lebih segalanya dari Bonie? Kenapa kamu dulu menolak Bonie yang mengejarmu tak kenal henti? Kamu risih dengannya? Kenapa risih? Apa yang kamu butuhkan dari seorang lelaki atau pacar? Pertanyaan ini tak ada habisnya. Terus berkelanjutan. Intinya kamu bisa menerima seorang lelaki itu dengan segala kelebihan dan kekurangannya, walau memang tak sesederhana ini penjelasannya. Sampai saat ini juga bermilyar-milyar orang percaya adanya Tuhan. Masing-masing banyak yang merasa paling benar. Mereka mengguggat atau memertanyakan ketuhanann orang lain dengan akal. Padahal mereka sendiri sering kehabisan akal untuk menjelaskan Tuhan mereka sendiri.”
“Aku tetap tak menerima sesuatu yang tak masuk dalam logikaku.”
“Ohya? Menurutmu Syakur sudah perfect dari seluruh lelaki di dunia ini? Atau kamu sudah tak mungkin mendapatkan lelaki sempurna sesuai dengan akal dan persaanmu?”
“Tak ada lelaki sempurna di dunia ini.”
“Bukan hanya lelaki, tapi semua. Karena segala yang ada di dunia ini tengah ‘menjadi’. Jika kau menganggap logika berfikirmu paling benar, itu berarti kau telah mati. Memang kau merasa pasti. Namun kepastian adalah kematian. Hidup adalah proses menjadi. Terus bergerak dan tak ada kepastian. Jika kau merasa paling benar, maka kuucapkan selamat menikmati kebenaranmu. Dan kau takkan menjumpai kebenaran-kebenaran lain sebelum kau membuka diri pada kedatangan ketakpastian yang tak jelas kapan dan di mana ia akan menghampirimu.”
Jumat, 08 Oktober 2010
Bagi Yang Takut Ketinggian, disarankan tak membaca note ini.
Ciputat, 5 Oktober 2010
Aku menyerah. Kubebaskan kau menilai. Silakan hina, puja, sanjung atau caci aku. Aku tak peduli. Mungkin benar aku tlah tersesat. Tapi apa kau peduli dan rela menjemput lalu mengantarku ke jalan Semula?
Kalau keberatan tak apa. Biar kujalani sendiri, di sini. Kukumpulkan sisa-sisa porakporanda jejak jalanku. Kujadikan bangun fondasi menara masa depan. Di ujung sana, akan aku daki langit. Berjumpa Tuhan, Kebenaran atau apalah namanya.
Kepada semua lelaki dan perempuan yang telah kukenal dengan guratan semi permanen di hati. Ku tahu kalian cinta aku. Buat para cowok, jangan salah sangka dulu. Dalam hal ini aku ‘normal’. Artikan cinta seluas mungkin, biar kalian tak mau maho denganku.
Tapi jiwaku benar-benar rumit. Satu per satu darimu hanya menyaksikan sisi terang yang tampak saja. Itu bukan aku seutuhnya. Sisi lainnya merupakan sumber sinar terang hingga tak kau lihat. Aku yakin, psikolog atau psikiater kelas dunia nomor wahid pun tak mampu memahami jiwaku.
Jiwaku adalah jiwa dari pertaruang saling serang sinar-sinar maha dahsyat. Aku silau menatapnya. Aku benci menyapanya. Tapi selalu rindu bersama jiwa.
Ya, aku sering hidup tanpa jiwa. Langkahku langkah raga biologis. Jiwaku tertempel di langit bersama awan. Itu sering terjadi.
Kalau benar demikian, lalu siapa yang menulis note ini? Mungkin kesadaran, mungkin juga tanganku saja yang iseng, tiba-tiba ngetik di depan komputer. Yang jelas bukan jiwaku. Karena aku sedang membicarakannya. Pastinya, aku yang menulis.
Aku dan jiwaku adalah dua hal yang berbeda. Aku sering menyaksikan jiwaku penuh emosi memberontak marah-marah dan sebagainya. Kadang ia seperti pamer padaku kalau sedang bahagia. Jiwaku sering duduk merenung sendiri, lalu tertawa. Tak ada orang yang mampu melihatnya, kecuali aku.
Oke. Aku terima semua keporakporandaan ini. Porakporanda akibat pertempuran sisi-sisi jiwa. Coba kau rasakan bau mesiu dan asap serta radiasi nuklir jiwaku. Pertempuran ini telah selesai. Sisi-sisi jiwaku berdamai. Anggap saja tulisan ini sebagai NOTA KESEPAHAMAN JIWA.
Aku bersama sisi-sisi jiwaku, yang sebenarnya satu, melangkah fokus membangun menara untuk menggapai singgahsana Kebenaran. Kalau ada yang minat ikut, aku sangat bahagia. Tapi bagi yang nggak mau, karena takut aweng-awengan di ketinggian, tak apa-apa.
“READING WRITING AND SINGING”
Ceritaku Nembak Cewek
Galing-Galing mengiyakan dengan kerlingan mata. Tak lama ia beranjak meninggalkanku sendiri. Satu-satu kerumunan di kantin ini menghilang. Bangku dan meja gemelontang. Angin siang terlampau kasar membelai aksesoris Kanshul (Kantin Ushuluddin).
Aku heran, kemana perginya orang-orang? Adakah kejadian di luar yang menyedot perhatian massa? Ah, apa peduliku. Kucoba menerima ini sebagai mu’jizat, walau aku bukan nabi sekalipun palsu.
Dengan sigap, pupil mataku menangkap sosok perempuan berparas manis, nggak terlalu cute dengan penampilan minimalis. Ia duduk sendiri di bangku yang masih gemelontang. Aku berani menyapa dia.
“Hai,” sapaku. Ia cuma tersenyum.
“Kok sendirian?” tanyaku. Aneh, lagi-lagi dia cuma senyum melirikku dan kembali menulis SMS. Oh, bukan SMS tapi komentar di FB. Ponselnya BB bajakan, tapi cukup nyaman buat FB-an.
“Hey, aku mau bilang sesuatu. Perhatikan dong..!!!”
“Apa?” tanyanya mengangkat muka.
“Nah gitu dong, dari tadi kek. Jadi begini, aku cuma mau bilang bahwa Aku Tulus Cinta dan Sayang kamu. Bagiku kamu cukup. Aku tak ingin perempuan selainmu.”
Kusaksikan tatapannya fokus ke beranda mataku. Ah, tapi sepertinya bukan. Itu bukan tatapan fokus. Dia shock. Diam tak bergerak pucat pasi. Telapak tangannya tegang mencengkeram BB. Cemarinya tak berkutik. Kini aku sadar, matanya kosong.
“Eh, aku cabut dulu ya, keluar kampus,” aku berdiri pamit sambil mencubit lengan kirinya yang tegang.
Seiring langkahku, satu per satu mahasiswa kembali memenuhi meja dan area kantin. Dua puluh meter jarakku, Kanshul penuh dan ramai kembali. Suara tawa dan jeritan membahana sampai kupingku.
“Hah...!!!, jeritan?! Ada apa di sana?’ pikirku sejenak menoleh ke Kanshul.
Tampak tiga perempuan dan dua laki-laki mengerubungi perempuan yang baru ku tembak tadi. Aku balik mendekati Kanshul. Jarak sepuluh meter aku berhenti. Tepat di tempatku dengan Galing-Galing sebelumnya.
Semua mata mengarah ke sana. Sayup-sayup kalimat menyela keriuhan jatuh di kupingku. Perempuan itu kesurupan. Kok bisa? Aneh.
Empat orang dengan payah membopongnya menuju ruang dosen. Aku masuk dalam kerumunan, membuntuti pembopongan. Sampai di ruang dosen, aku dan puluhan mahasiswa lainnya menunggu di depan pintu penasaran.
Setengah jam berikut, perempuan itu keluar dengan wajah lesu linglung, namun sadar. Seorang cowok, yang kuyakin pacarnya dan dua mahasiswi mendampingi. Disusul kemudian dosen yang mengobati cewek tadi. Insting jurnalisku berdiri. Kuhampiri dosen itu tanpa sungkan.
“Ada apa pak? Kenapa perempuan itu?” tanyaku. Pak Dosen menghela napas sejenak.
“Dia kesurupan,” kata Pak Dosen mengusap keringat di dahinya.
“Kesurupan? Kesurupan jin maksudnya pak?”
“Bukan,” jawab dosen itu membuatku tambah bingung.
“Lalu kesurupan apa pak? ”tanyaku lagi dong.
Dosen itu tak segera menjawab. Ia menghela napas dalam-dalam, seperti mengumpulkan tenaga ekstra.
“Perempuan itu tadi kesurupan.... CINTA....”
Yang Tak Kau Sadari
Ciputat 1 Oktober 2010
Aku udara
sukma cadangmu
Penjaga yang tak pantas melindungi
Sebab indahmu merona
Bila sepi di helai mahkota bunga
Suaraku berbisik di telinga
Sayangku beriring sel-sel tubuh waktu
Kau layak kukagumi…
Bukan sekadar boneka kembang coklat
Amat basi sebutmu separuh jiwa
lebay bilangmu pujaan hati
Sebagai hidupmu
Tak apalah kaulupakan
Jika hadirku malah menunda kematian
Sebagai jantungmu
Tak masalah hilang dari ingatan
Aku memompa tak kenal sadar
Kentalkan darah oleh butir-butir cinta
Usai jeda ini
Sadari aku honey