Sabtu, 23 Oktober 2010

Obrolan Di Taman Ushuluddin

Di balik selangkang rimbun keramaian, kuhampiri seorang perempuan. Dia sobatku. Dikaitkan konsep metafisika, dia juniorku. Itu tak penting. Sejak dua tahun lalu aku menarik diri dari bisingnya sistem organisasi. Aku menemuinya sebagai teman. Meski obrolan kami sedikit menyinggung masalah organisasi. Ya, kadang kita terpaksa secara defakto mengakui heirarki itu.
Sampailah congor kami membilang kesendirianku, akibat penarikan diri dari keramaian. Ia berujar, “tapi kamu mendapatkan kebebasan? Di sana kamu bebas mengembangkan dirimu tanpa terbelenggu ini dan itu.”
“Sebagian manusia merindukan kebebasan yang telah terampas oleh sistem-sistem besar internasional maupun lokal. Tapi sebagian lain linglung serta kehilangan arah dalam cakrawala kebebasan. Setelah tembok pengekangan runtuh, tersisa pagar penjara yang bergitu luas tak terbatas hingga tak kasat mata. Pagar itu merupakan batas kebebasannya. Ia tak tahu di mana batasan langkahnya. Semua tempat singgah bukanlah saung yang nyaman, melainkan hamparan tak bertepi,” paparku.
“Apakah kau seperti itu? Bagai bumi lepas dari gravitasi matahari. Terombang-ambing di jagad buana yang gelap gulita? Dan hanya kelip-kelip bintang kau temui, yang tak sanggup menerangi?” tanya sobat perempuanku.
“Kadang demikian. Saat sadar lagi aku bersyukur atas itu. Tapi nyatannya kebebasanku belum penuh. Masih ada sekat penghalang mata guna menatap ketakterlihatan batas kebebasan. Salah-satunya keluarga atau orang tua. Walau mereka tak pernah menuntutku. Namun perasaanku belum bebas. Aku merasa tak enak. Kau tahu itu. Mereka akan bangga melihatku sukses. Dan standar sukses mereka adalah standar nasional, mungkin bahkan internasional. Yaitu suskses dengan jabatan tinggi dan uang yang melimpah. Kau tahu, aku berasal dari keluarga dengan ekonomi pas-pasan. Menurut standar internasional keluargaku belum mapan.”
“Lalu sekarang apa yang kau rasakan?” tanyanya dengan gaya reporter.
“Sendiri. Aku semakin jauh dengan fondasi yang aku bangun dulu. Sebelum aku menarik diri, menara suksesku seperti tinggal menunggu. Semua itu kini hanya menjadi fatamorgana.”
“Aku tahu alasanmu menarik diri,” tukasnya sok tahu.
“Ya, kamu tahu itu. Tapi jangan merasa kau tahu sepenuhnya. Itu terlalu gegabah, dan menyinggung perasaanku.”
“Bisa kau katakan alasan yang belum kuketahui?”
“Tak semua. Ini privasi. Tapi baiklah, salah-satunya karena aku sangat menghargai ketegasan. Ketegasanku diuji waktu itu. Aku memilih menarik diri. Aku merasa sudah kuat menjalani hidup baru. Ada beberapa komunitas yang mengharapkan keberadaanku. Komunitas-komunitas itu sebagian ada di bidang yang sama dengan organisasi kita. Beberapa lainnya jauh berbeda.”
“Kamu menyesal? Dan apakah kamu saat ini merasa lemah?”
“Tidak. Eh, kadang-kadang ya. Saat-saat aku merindukan kebersamaan, romantisme, keguyuban, pertengkaran dan sebagainya. Kau bisa bayangkan bagaimana aku bertengkar, bercanda dan sebagainya tanpa komunitas? Ya seperti itulah aku. Mungkin titik ini adalah titik nol. Angka yang menjadi lambang ketuhanan. Sebab nol tak bisa dibagi. Komputer, kalkulator dan alat hitung apapun akan eror jika berani coba membagi angka nol. Angka ini adalah simbol ketakberhinggaan, kekosongan yang sempurna.”
“Aku kurang menangkap apa yang kamu bicarakan? Dan bukankah Tuhan itu disimbolkan angka satu?”
“Bukan. Angka satu masih bisa dibagi. Angka satu lebih cocok menjadi simbol utusan Tuhan yang menyelamatkan umat manusia. Itu pendapat yang kuyakini saat ini. Karenanya, kamu tak usah bertanya alasan dan penjelasannya. Urusan keyakinan tak bisa dan tak mau kau debat dengan rasio. Ia punya logika sendiri. Sebuah logika yang tak bisa dilogikakan. Asal kamu tahu, saat ini juga kamu menggunakan logika tertentu dalam pertanyaan-pertanyaan yang kau ajukan padaku. Perlu kamu ingat juga bahwa logika bisa dibuat. Logika yang dibangun Aristoteles sangat relevan untuk jaman dan konteks wilayah tertentu. Tapi di abad modern logikanya dikritik habis-habisan.”
“Tapi tak bisa begitu juga dong. Bagaimana aku bisa menerima pendapatmu jika tak sesuai dengan logikaku?”
“Aku tak memintamu untuk menerima.”
“Ya setidaknya untuk memahami bahwa ucapan dan tindakanmu tidak salah menurutku.”
“Aku juga tak memintamu untuk paham dan membenarkan ucapan dan tindakanku. Itu hakmu. Terserah kamu. Toh dunia akan tetap ada tanpa aku, tanpa kamu, bahkan tanpa manusia. Kalau kamu benar-benar ingin memahami, lakukan itu dengan cinta. Cinta adalah contoh paling dekat untuk menjelaskan ketidakrasionalan. Apa alasanmu mencintai Syakur? Apakah dia lebih baik dan lebih bagus serta lebih segalanya dari Bonie? Kenapa kamu dulu menolak Bonie yang mengejarmu tak kenal henti? Kamu risih dengannya? Kenapa risih? Apa yang kamu butuhkan dari seorang lelaki atau pacar? Pertanyaan ini tak ada habisnya. Terus berkelanjutan. Intinya kamu bisa menerima seorang lelaki itu dengan segala kelebihan dan kekurangannya, walau memang tak sesederhana ini penjelasannya. Sampai saat ini juga bermilyar-milyar orang percaya adanya Tuhan. Masing-masing banyak yang merasa paling benar. Mereka mengguggat atau memertanyakan ketuhanann orang lain dengan akal. Padahal mereka sendiri sering kehabisan akal untuk menjelaskan Tuhan mereka sendiri.”
“Aku tetap tak menerima sesuatu yang tak masuk dalam logikaku.”
“Ohya? Menurutmu Syakur sudah perfect dari seluruh lelaki di dunia ini? Atau kamu sudah tak mungkin mendapatkan lelaki sempurna sesuai dengan akal dan persaanmu?”
“Tak ada lelaki sempurna di dunia ini.”
“Bukan hanya lelaki, tapi semua. Karena segala yang ada di dunia ini tengah ‘menjadi’. Jika kau menganggap logika berfikirmu paling benar, itu berarti kau telah mati. Memang kau merasa pasti. Namun kepastian adalah kematian. Hidup adalah proses menjadi. Terus bergerak dan tak ada kepastian. Jika kau merasa paling benar, maka kuucapkan selamat menikmati kebenaranmu. Dan kau takkan menjumpai kebenaran-kebenaran lain sebelum kau membuka diri pada kedatangan ketakpastian yang tak jelas kapan dan di mana ia akan menghampirimu.”

0 komentar:

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html