Belum pernah kau dapatkan informasi yang benar-benar valid tentang bagaimana kejadian dari alam barzah. Semua cerita, di televisi maupun buku-buku dongeng, selalu bisa diragukan. Selalu memiliki perbedaan. Tapi kini, aku yang sudah mati, yang saat ini ada di alam barzah, akan mengabarkan padamu bagaimana keadaan di sini.
Mungkin kau tak percaya, sehingga beranggapan atau menyamakan kata-kataku dengan cerita tabloid horor religi, kisah-kisah di televisi, atau dongeng-dongeng lainnya. Itu semua hak Anda sebagai mahluk yang masih hidup. Boleh juga kau katakan bahwa aku frustasi. Bahwa sebenarnya aku masih hidup. Tapi terobsesi pada kematian. Sekali lagi kutegaskan itu hakmu. Baiklah, untuk mempersingkat tulisan, aku mulai saja ceritanya. Simak baik-baik.
Sebagaimana pernah ku katakan pada beberapa kawan, hidup lebih mudah daripada mati. Sebelum sampai di alam barzah ini, aku telah beberapakali melakukan eksperimen kematian. Salah-satunya saat lebaran 2011 lalu. Saat Ciputat sepi. Mayoritas warga mudik ke kampung masing-masing.
Aku tak ingin pulang kampung. Aku ingin merasakan sepinya Ciputat dan Jakarta. Ternyata tak sesepi yang kukira. Tak lebih sepi dari hati dan jiwaku. Aku justru mengalami kedamaian tiada tara. Selama hampir dua minggu aku sendiri di kamar. Tiada satu orangpun mengusik. Saat itulah ide bunuh diri menyeruak ke permukaan sadarku.
Ku pilah-pilah berbagai cara terbaik untuk mati, sebagaimana pernah dilakukan oleh para pendahuluku. Mulai dari gantung diri, terjun dari lantai 24, mengiris nadi pergelangan tangan, dan minum racun.
Untuk melakukan itu butuh keberanian ekstra. Karena sekali lagi, lebih banyak orang takut mati daripada hidup. Kebanyakan mereka takut akan siksa api neraka. Itu bagi orang Islam, Yahudi, dan Nasrani. Tapi bagi orang Hindu atau Budha, arwahnya pasti diyakini akan mengalami ketidakstabilan. Sehingga berbagai prosesnya, termasuk reinkarnasinya pun mengalami gangguan. Tak sesuai dengan ritme alam.
Tapi yang lebih mengerikan adalah kemampuan menahan rasa sakit yang disengaja. Kau pasti tahu rasa teriris pisau atau tertebas golok dibanding dengan menebas atau mengiris sendiri. Pasti yang kedua lebih sakit karena dilakukan dengan kesadaran penuh. Sementara teriris atau tertebas tanpa sengaja kadang tak terasa. Baru setelahnya nyeri dan perih. Aku pernah mengalami itu.
Salah-satu eksperimenku adalah menceburkan diri dalam air. Mula-mula kutahan napas. Sampai bermenit-menit. Hingga seluruh organ tubuhku berontak, mau muntah. Sungguh sakit rasanya. Juga gantung diri. Butuh waktu untuk tersengal-sengal beberapa lama. Tersiksa rasanya.
Kemudian minum racun. Ah, yang ini tambah parah. Aku harus menahan nyeri, sakit, dan panas di perut dan sekujur badan. Kejang dan sebagainya. Aku mesti menahan jeritan agar tak membuat onar. Hingga muntah-muntah keluar busa.
Kurasakan tubuhku melayang hingga ke atap kamar. Tak bisa kulihat badanku. Hanya pandangan yang tertuju pada sosok tubuh lemas yang tergeletak di lantai kamar.
Kubiarkan lama menatap sosok raga yang pernah memfasilitasiku menggapai berbagai keinginan itu. Lalu aku pergi. Menikmati hari-hari sunyi.
Libur lebaran telah usai. Semua telah balik dari mudiknya. Kusaksikan jalan macet kembali. Ciputat dan Jakarta ramai lagi. Aku coba ke kampus, melihat bagaimana teman-teman mahasiswa merespon kematianku. Sudah kusiapkan perasaan kacau hancur mendengar cibiran atau kecengan mereka.
Mula-mula aku ke Student Center, ke sekretariat Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Institut. Alangkah terkejutnya aku, mereka tampak biasa-biasa saja. Tak muncul keinginan mengecengi atau kesedihan atas kematianku. Tabloid yang mereka terbitkan pun tak memuat liputan dan berita duka cita meninggalnya diriku yang tak wajar.
Aku sedih. Kenapa begitu, aku juga tak tahu. Ku coba memanggil mereka satu persatu. “Ibnu..., Nu, Ibnu..., Dika...!!! Lilis, Lis...!!! Ini aku, Bowo.”
Sia-sia, mereka tak mendengar. Kusaksikan mereka hendak rapat. Karena tak mau mengganggu aku pergi. Ngeloyor ke Kantush atau Kanshul alias Kantin Ushuluddin. Beberapa teman ada di sana. Mereka mahasiswa tua. Semester 11 dan 13. Tampak pusing membincang matakuliah yang belum keluar nilainya atau skripsi yang tak kunjung beres.
Ah, kenapa tak kusimak saja teman-teman LPM Institut rapat? Aku kan tak terlihat. Jadi tak mungkin mengganggu rapat mereka. Siapa tahu di edisi berikutnya, berita kematianku akan dimuat.
Aku kembali ke Student Center di Sekretariat LPM Institut. Asap rokok memenuhi ruang. Mengganggu para anggota perempuan yang makan cemilan. Aku masuk lewat fentilasi dan duduk di samping Haris yang tampak serius. Lilis di dekat whiteboard memimpin rapat dengan spidol di tangannya.
Ternyata itu rapat evaluasi. Bukan rapat redaksi. Mereka masih saja membahas Pedoman Organisasi Kemahasiswaan (POK). Isu basi seperti masalah korupsi untuk negeri ini. Aku jengah dengan itu.
Sabar aku duduk menunggu setiap perpindahan tema pembahasan. Mungkin ada niat mereka membahas kematianku. Atau setidaknya datang ke rumahku menyatakan rasa belasungkawa.
Kulihat Ibnu dan Umar nikmat menghisap berbatang-batang kretek Samsu. Ingin sekali aku minta join tapi tak bisa. Ini sungguh menyiksa. Mereka juga tampak sedap menyeruput kopi hitam.
Dua jam lebih aku menunggu sia-sia. Tak satupun dari mulut mereka punya niat membahas kematianku. Sampai pada kejadian yang sungguh mengejutkan. Terdengar sebuah nyanyian menggema dari tangga SC. Lagunya Jamica, Lagu Cinta judulnya. Makin lama suara itu makin dekat. Suara yang sangat akrab di telingaku.
Sungguh aku takut. Benar-benar terkejut. Seiring mendekatnya suara itu, dan sampai di depan pintu, sosok lelaki menghentikan langkah. “Weeiiitss, lagi pada rapat ya?”
“Hehe, iya kak...,” jawab Lilis tersenyum.
“Hey, Mas Bow, udah sehat? Malam ini ngejam yuk ke studio,” kata Ibnu.
“Udah. Jam berapa?”
“Ya habis rapat. Habis ini, kira-kira jam 09.00 lebih lah.”
“Okey,” jawab sosok yang mirip dengan ragaku itu. Kemudian dia turun tangga, sambil bernyanyi lagu Speak Softly Love menuju kantin. Di sana ia pesan segalas kopi dan dua batang kretek. Kuperhatikan dia, dari rambut yang belum lama dipotong, wajah yang kusam tapi berkarisma, hidung yang alhamdulillah mancung sampai kaki yang buluk karena memakai sandal jepit selalu. Betul-betul mirip denganku.
Apa yang sebenarnya terjadi? Benarkah itu raga yang aku tinggalkan beberapa minggu lalu?
Aku segera berlari menuju kamar. Kondisinya terkunci. Aku masuk dari lubang jendela. Keadaan berantakan. Buku-buku masih berserakan, baju di lemari tak dilipat, komputer yang kumal, penanak nasi, speaker active, stabilizer, dan tumpukan baju kotor di sudut ruangan. Semua masih seperti semula.
Tapi ada yang beda. Tak ada bekas muntahan saat aku minum racun waktu itu. Mungkin sudah dibersihkan. Di dekat galon, ada tiga bungkus obat-obatan dari Rumah Sakit UIN Syahid. Seperti ada yang baru sakit. Itukah aku? Kulihat cangkang kapletnya banyak yang kosong. Ada satu merk obat yang benar-benar kuhapal. Amoxilin. Obat segala penyakit. Dulu selagi aku hidup, tiap berobat pasti dapat obat itu. apapun sakitnya.
Kalau benar ragaku hidup kembali, sukma siapakah yang ada di dalamnya. Sedang aku masih melayang-layang, mengawang-awang seperti ini?
Lama aku termenung. Hingga teman kamarku, Abdullah Alawi datang. Ia menuruh tas, menyalakan komputer, memutar winamp, dan bermain Zuma. Sesekali kulihat ia bergidik, tengok sana-sini, lalu mengusap tengkuk. Buluguduknya merinding.
Aku pergi meninggalkannya tanpa pamit. Percuma, karena ia tak melihatku. Lalu ke Arizona Studio. Ternyata teman-teman LPM Institut sudah bubar latihan. Semua sudah berpencar ke alamnya masing-masing. Pada saat ini aku tahu ke mana harus menemukan ragaku. Warnet Tamita. Dia di PC 7.
Tepat sekali. Ia sedang menyeruput kopi di gelas plastik dan sebatang samsu di asbaknya. Kakinya diangkat melipat di kursi. Kuperhatikan layar monitor, ia membuka facebook dengan inesial Pagar Dewo. Juga membuka blogger dengan alamat http://mswibowo.blogspot.com.
Kepada siapa saja yang sempat membaca tulisan ini, jika kebetulan bertemu Pagar Dewo aka MS Wibowo baik di dunia Maya maupun Nyata, tolong tanyakan siapa sebenarnya yang ada dalam raganya. Sebab aku benar-benar resah dengan kondisi itu. Plys...
Oh iya, tadi aku bilang ingin menceritakan kondisi alam barzah. Tapi sepertinya terlalu panjang kalau harus dikisahkan di sini juga. Mungkin lain waktu. Di tulisan selanjutnya. Atau tengok saja catatan-catatan puisi kacangannya Pagar Dewo. Dia pernah menggambarkan alam barzah dengan cerdas dan tepat. Baiklah, untuk sekarang cukup sekian. Sampai ketemu lagi.
0 komentar:
Posting Komentar