Perjalanan bersama teman-teman blogger dari Jakarta ke Serang dan kawasan Banten Lama, mengingatkan saya akan pengalaman Gil, tokoh di film Midnight in Paris. Gil, yang pengarang novel asal Amerika, mengalami time travel tiap tengah malam. Ia yang hidup di 2010 melaju ke tahun 1920-an. Malam berikutnya, time travel-nya makin jauh ke tahun 1890-an sebagai masa yang disebut La Belle Èpoque Paris. Di tiap masa, ia berjumpa tokoh-tokoh besar idolanya, para penulis, pengarang dan seniman.
Imajinasi saya pun kurang lebih demikian, saat turut tim
@cagarbudayadanmuseum Kemendikbud RI dalam kegiatan bertajuk “Pesona Cagar
Budaya Indonesia”, di Serang dan kawasan Banten Lama, 12-14 Oktober 2018.
Bedanya, perpindahan waktu Gil berlangsung tiap tengah malam, sedangkan saya
mulai di siang hari. Berangkat sekitar pukul 15.00 dari Jakarta, tiba di Serang hari
sudah gelap. Saya tidak tahu apa yang terjadi selama perjalanan. Macet atau apa, saya tidak menyadari karena tidur.
Kami makan malam di Sop Ikan Taktakan. Kenyang. Sembari menuju tempat menginap, kami berjalan kaki melakukan City Tour, menikmati petang di Kota Serang.
Nama Serang adalah sebuah kata bahasa Sunda yang berarti
sawah atau persawahan. Ini merujuk cerita saat Syarif Hidayatullah atau
Sunan Gunung Jati, yang kala itu sedang melakukan perjalanan, sampai di suatu
daerah dengan hamparan padi menguning, di sini. Ia pun berseru senang mengucap
lega penuh syukur, “Serang...”
Di banding kota lain di Banten, seperti kawasan Bintaro atau BSD di Tangerang
Selatan, Serang mungkin kalah mewah. Tapi kota ini punya nilai lebih. Terdapat beberapa
bangunan yang menunjukan karakter wilayah Banten. Sayang, tak sedikit situs cagar
budaya itu raib akibat ketidakpedulian masyarakat dan kepentingan ekonomi
pengembang.
Misalnya, tak jauh dari tempat kami makan malam, berdiri
sebuah pusat perbelanjaan, Ramayana. Di situ dulunya Hotel Vos yang diambil alih menjadi Markas Komando Distrik Militer (Kodim)
0602 Serang. Di tempat inilah, Sri Sahuli dari Angkatan Pemuda Indonesia (API)
Putri bersama rekannya Jimambang, mempelopori penurunan bendera Jepang, lalu
untuk pertama kalinya mengibarkan Sang Saka Merah Putih di Banten pada 22
Agustus 1945.
Namun, disahkannya Undang-undang Nomor 23 tahun 2000 tentang
Provinsi Banten malah jadi awal petaka bagi bagunan yang berusia lebih dari 100
tahun itu. Dengan dalih peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang hanya
mengandalkan sektor jasa dan perdagangan, sisi lain kota seperti fungsi sosial
dan fungsi budaya diabaikan. Bukannya memosisikannya sebagai “land mark”
yang menjadi ciri serta karakter daerah sebagaimana kota-kota besar di dunia,
pemerintah Banten pada 2005 malah meratakannya dengan tanah. Patung harimau,
tembok bertuliskan ”Markas Komando Distrik Militer 0602 Serang”, dan pilar
penyangga bangunan turut dihancurkan. Padahal, telah diteliti bahwa pilar-pilar
tersebut masih asli, artinya tidak boleh dihancurkan.
Sebenarnya, masyarakat tidak diam atas tindakan penghancuran
itu. Mereka melancarkan protes sejak rencana pembumihangusan bangunan
bersejarah itu bergulir. Dari unjuk rasa, aksi melukis, hingga berbagai upaya
negosiasi dengan para pejabat Pemerintah Kabupaten Serang kala itu. Namun semua
sia-sia. Hingga malam jelang peletakan batu pertama Mal Serang, sebagai
perlawanan terakhir masyarakat dengan sisa-sisa tenaganya memutar film dokumenter
berjudul “A Story of Makodim”, yang diinisiasi oleh Rumah Dunia. Film itu
mengingatkan kembali perjuangan masyarakat Serang dalam menggagalkan rencana
pembongkaran bangunan Markas Komando Distrik Militer (Kodim) 0602 Serang.
Langkah kami sampai di Jl. Ki Mas Jong, tak jauh dari
seberang Alun-alun Kota Serang. Di sini masih berdiri Gedung Juang '45 Serang. Ini
adalah markas Kompetai (semacam tentara elit atau polisi militer) di masa
pendudukan Jepang. Pada 10 Oktober 1945, pemuda Banten menyerbu tempat ini.
Setelah berhasil dikuasai, gedung ini beralih fungsi menjadi markas Badan
Keamanan Rakyat (BKR). Dulu bangunan terdiri dari tiga bangunan utama, dengan
seni arsitektur bergaya Indis.
Karena foto di atas gelap akibat malam, di bawah ini saya unggah foto dari website: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbbanten/gedung-juang-45-serang-banten/ |
Baiklah, kami mau istirahat dulu. Perjalanan hari berikutnya
saya akan ke Museum Negeri Banten.
Ini juga bangunan cagar budaya. Ada yang
tahu dulu sebagai apa? Tahun berapa? Ikuti cerita selanjutnya. Selain itu kami
juga akan ke Museum Batik serta praktik langsung membuatnya. Kunjungan hari
kedua nanti akan ditutup di Rumah Dunia yang didirikan Gol A Gong. Sampai
tersenyum kembali.
0 komentar:
Posting Komentar