Selasa, 16 Oktober 2018

Meluncur ke Banten Lama part 1: 1940-an


Perjalanan bersama teman-teman blogger dari Jakarta ke Serang dan kawasan Banten Lama, mengingatkan saya akan pengalaman Gil, tokoh di film Midnight in Paris. Gil, yang pengarang novel asal Amerika, mengalami time travel tiap tengah malam. Ia yang hidup di 2010 melaju ke tahun 1920-an. Malam berikutnya, time travel-nya makin jauh ke tahun 1890-an sebagai masa yang disebut La Belle Èpoque Paris. Di tiap masa, ia berjumpa tokoh-tokoh besar idolanya, para penulis, pengarang dan seniman.

Imajinasi saya pun kurang lebih demikian, saat turut tim @cagarbudayadanmuseum Kemendikbud RI dalam kegiatan bertajuk “Pesona Cagar Budaya Indonesia”, di Serang dan kawasan Banten Lama, 12-14 Oktober 2018. Bedanya, perpindahan waktu Gil berlangsung tiap tengah malam, sedangkan saya mulai di siang hari. Berangkat sekitar pukul 15.00 dari Jakarta, tiba di Serang hari sudah gelap. Saya tidak tahu apa yang terjadi selama perjalanan. Macet atau apa, saya tidak menyadari karena tidur.

Kami makan malam di Sop Ikan Taktakan. Kenyang. Sembari menuju tempat menginap, kami berjalan kaki melakukan City Tour, menikmati petang di Kota Serang.

Nama Serang adalah sebuah kata bahasa Sunda yang berarti sawah atau persawahan. Ini merujuk cerita saat Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, yang kala itu sedang melakukan perjalanan, sampai di suatu daerah dengan hamparan padi menguning, di sini. Ia pun berseru senang mengucap lega penuh syukur, “Serang...”

Di banding kota lain di Banten, seperti kawasan Bintaro atau BSD di Tangerang Selatan, Serang mungkin kalah mewah. Tapi kota ini punya nilai lebih. Terdapat beberapa bangunan yang menunjukan karakter wilayah Banten. Sayang, tak sedikit situs cagar budaya itu raib akibat ketidakpedulian masyarakat dan kepentingan ekonomi pengembang.

Misalnya, tak jauh dari tempat kami makan malam, berdiri sebuah pusat perbelanjaan, Ramayana. Di situ dulunya Hotel Vos yang diambil alih menjadi Markas Komando Distrik Militer (Kodim) 0602 Serang. Di tempat inilah, Sri Sahuli dari Angkatan Pemuda Indonesia (API) Putri bersama rekannya Jimambang, mempelopori penurunan bendera Jepang, lalu untuk pertama kalinya mengibarkan Sang Saka Merah Putih di Banten pada 22 Agustus 1945.

Namun, disahkannya Undang-undang Nomor 23 tahun 2000 tentang Provinsi Banten malah jadi awal petaka bagi bagunan yang berusia lebih dari 100 tahun itu. Dengan dalih peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang hanya mengandalkan sektor jasa dan perdagangan, sisi lain kota seperti fungsi sosial dan fungsi budaya diabaikan. Bukannya memosisikannya sebagai “land mark” yang menjadi ciri serta karakter daerah sebagaimana kota-kota besar di dunia, pemerintah Banten pada 2005 malah meratakannya dengan tanah. Patung harimau, tembok bertuliskan ”Markas Komando Distrik Militer 0602 Serang”, dan pilar penyangga bangunan turut dihancurkan. Padahal, telah diteliti bahwa pilar-pilar tersebut masih asli, artinya tidak boleh dihancurkan.

Sebenarnya, masyarakat tidak diam atas tindakan penghancuran itu. Mereka melancarkan protes sejak rencana pembumihangusan bangunan bersejarah itu bergulir. Dari unjuk rasa, aksi melukis, hingga berbagai upaya negosiasi dengan para pejabat Pemerintah Kabupaten Serang kala itu. Namun semua sia-sia. Hingga malam jelang peletakan batu pertama Mal Serang, sebagai perlawanan terakhir masyarakat dengan sisa-sisa tenaganya memutar film dokumenter berjudul “A Story of Makodim”, yang diinisiasi oleh Rumah Dunia. Film itu mengingatkan kembali perjuangan masyarakat Serang dalam menggagalkan rencana pembongkaran bangunan Markas Komando Distrik Militer (Kodim) 0602 Serang.
Karena foto di atas gelap akibat malam,  di bawah ini saya unggah foto dari website: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbbanten/gedung-juang-45-serang-banten/


Langkah kami sampai di Jl. Ki Mas Jong, tak jauh dari seberang Alun-alun Kota Serang. Di sini masih berdiri Gedung Juang '45 Serang. Ini adalah markas Kompetai (semacam tentara elit atau polisi militer) di masa pendudukan Jepang. Pada 10 Oktober 1945, pemuda Banten menyerbu tempat ini. Setelah berhasil dikuasai, gedung ini beralih fungsi menjadi markas Badan Keamanan Rakyat (BKR). Dulu bangunan terdiri dari tiga bangunan utama, dengan seni arsitektur bergaya Indis.

Baiklah, kami mau istirahat dulu. Perjalanan hari berikutnya saya akan ke Museum Negeri Banten. 

Ini juga bangunan cagar budaya. Ada yang tahu dulu sebagai apa? Tahun berapa? Ikuti cerita selanjutnya. Selain itu kami juga akan ke Museum Batik serta praktik langsung membuatnya. Kunjungan hari kedua nanti akan ditutup di Rumah Dunia yang didirikan Gol A Gong. Sampai tersenyum kembali.

0 komentar:

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html