Rumahku Rumah Dunia, Kubangun dengan Kata-kata.
Masih di masa kini. Dari sukaria membatik, kami melaju ke suka cita menulis. Di sebuah rumah dan dunia yang dibangun dengan cita-cita mulia.
Tanah masih basah. Hujan baru selesai saat kami tiba di
halaman Rumah Dunia, di kampung Ciloang, Sumurpecung, Serang, Banten, Sabtu
(13/10/2018). Sekilas saya merasa seperti berada di lokasi sebuah pesantren. Ya, mungkin ini memang pesantren literasi di Indonesia. Banyak
bangunan berdiri di lahan seluas 3000 m2 ini. Ada yang serupa saung, pondok
atau asrama, ada pula lapangan serta taman bermain. Tapi di antara semua
bangunan itu ada dua yang langsung menyulut perhatian. Pertama, gedung yang
atapnya berbentuk trapesium, bernama auditorium Surosowan. Tinggi fondasi
sekirar setengah meter. Di bagian tangga depan terpasang tulisan “Rumah Dunia”.
Tulisan serupa juga menempel di sisi kiri gedung dekat sebuah ruangan sejenis kantor, dengan kalimat dan keterangan tambahan. Siapa membacanya akan langsung teringat sosok penggagas kompleks ini. Rumahku Rumah Dunia, Kubangun dengan Kata-kata (Gol A Gong Prasasti 1996-2001).
Kedua, perpustakaan. Sepertinya bangunan ini juga jadi ruang belajar anak-anak. Atap segitiga memayungi teras yang sekaligus jalan masuk. Dua buah mesin ketik bekas tergantung menghiasi sisi kanan dan kiri, di tengahnya tergantung papan putih. Lagi-lagi bertuliskan “Rumah Dunia. Rumahku Rumah Dunia Kubangun Dengan Kata-kata”.
Tulisan serupa juga menempel di sisi kiri gedung dekat sebuah ruangan sejenis kantor, dengan kalimat dan keterangan tambahan. Siapa membacanya akan langsung teringat sosok penggagas kompleks ini. Rumahku Rumah Dunia, Kubangun dengan Kata-kata (Gol A Gong Prasasti 1996-2001).
Kedua, perpustakaan. Sepertinya bangunan ini juga jadi ruang belajar anak-anak. Atap segitiga memayungi teras yang sekaligus jalan masuk. Dua buah mesin ketik bekas tergantung menghiasi sisi kanan dan kiri, di tengahnya tergantung papan putih. Lagi-lagi bertuliskan “Rumah Dunia. Rumahku Rumah Dunia Kubangun Dengan Kata-kata”.
Tiga meter depan perpustakaan, dua buah tong berlukis
warna-warni tegak di atas panggung kecil setinggi 30 cm, menyambung tempat
duduk penonton yang melingkar. Di antara perpustakaan dan auditorium, ada saung
dengan empat tiang penyangga atap. Luas lantainya sekira 10x5 m.
Kedatangan kami, teman-teman blogger dan tim
@cagarbudayadanmuseum dari Kemdikbud RI, disambut adik-adik yang belajar dan
bermain di sana. Ramon Y Tungka, aktor dan treveller yang turut dalam
rombongan, langsung mengajak mereka bermain serta memberikan pengetahuan
seputar dunia akting.
Sesudah itu, Ramon juga mengisi sesi khusus ngobrol santai
di Auditorium Surosowan Rumah Dunia. Pembahasannya seputar “Travel Foto”. Obrolan
bersama Ramon Y Tungka ini akan saya ulas di artikel berikutnya.
Rumah Dunia Masuk Peta
Malam hari, kami bercengkrama dalam Panggung Kampung Rumah
Dunia. Anak-anak, komunitas lokal, dan relawan Rumah Dunia menyuguhkan aneka
hiburan dari bernyanyi, teater, dan lain-lain. Hadir pula Tias Tatanka, istri
Gol A Gong.
Pada kesempatan ini, Tias menceritakan kisahnya dan Gol A
Gong mendirikan Rumah Dunia pada 2002, bersama Toto ST Radik dan (alm) Rys
Revolta Maulana Wahid Fauzi, dan Andi ST Trisnahadi. Dua orang tersebut dan Gol
A Gong adalah tiga sekawan. Sejak bujangan, mereka keliling ke sekolah-sekolah
mengajarkan jurnalisme.
Ketika menikah, Gol A Gong mengungkapkan keinginan pada istrinya.
“Mau nggak nanti membuat tempat yang ketika orang datang ke situ belajar
tentang sesuatu yang bermanfaat?”
Tias setuju. Keduanya sama-sama sepakat mendirikan perpustakaan.
Hanya saja, gambaran perpustakaan di kepala masing-masing berbeda. “Saya ingin
perpustakaan yang modern, megah, computerize, banyak buku. Ada corner
anak-anak, buku impor, anak-anak boleh berkreasi apapun. Saya ingin bangun
gedung dulu, nanti baru kita isi,” kata Tias.
Namun Gol A Gong malah membangun saung. Katanya, biar
anak-anak datang ke sini. Ia juga bilang ke Tias, kalau membangun perpustakaan
yang canggih, computerize, sementara tempatnya di tengah kampung yang
belum melek literasi, nggak ada yang akan masuk.
“Ketika kami punya rejeki membeli tanah, (belum seluas
sekarang) yang saat ini bangunan di bagian belakang komplek Rumah Dunia. Itulah
semacam basecamp yang kami sebut Madrasah Kebudayaan. Sebuah tempat yang
menggerakan literasi sebagai koor utama,” ungkap Tias.
Karena Gol A Gong masih bekerja di sebuah TV swasta di
Jakarta, Tias sendiri yang mengurus saung, mengajar anak-anak yang datang untuk
bermain, membaca dan sebagainya.
“Setiap sore, saya harus mengeluarkan buku di saung itu,
nungguin anak-anak baca, sudah hampir magrib kukut lagi, balik lagi ke rumah,
besok lagi seperti itu siang sampai sore. Terus begitu. Dan saya nggak bosan,”
ungkap Tias. “Saya bilang, saya capai.
Nggak boleh, nggak boleh capai, kata Mas Gong.”
Tak hanya rutinitas itu, Tias juga diwajibkan menulis apa
saja yang ia jalani sehari-hari. Satu tulisan per hari. Tiap Gol A Gong pulang
dari Jakarta seminggu sekali, Tias harus setor tujuh cerita.
“Hari pertama apa? Hari kedua apa? Sampai hari ketujuh.
Kadangkala kalau capai saya bohongin. Iya, kadang capai harus mendongeng ke
anak-anak. Kalau capai saya tinggalkan, saya kasih tugas, boleh menggambar
apapun. Lalu saya tinggal ke rumah, nonton tv dan sebagainya. Tapi saya
tuliskan itu, hasil anak-anak menggambar adalah ini, ini, dan seterusnya.”
Ada misi di balik permintaan menulis ke Tias tersebut. Gong
merangkum laporan harian kegiatan istrinya menjadi tulisan yang ia sebarkan via
mailing list. “Waktu itu belum ada media sosial atau semacamnya. Yang saya tahu
mailing list. Itu efeknya besar. Tempat kami ini masih sangat sepi sekali. Kalau
malam, jalan masih gelap. Tapi mas Gong bilang, kita akan menempatkan tempat
ini di peta.”
Rumah Dunia dan PRD
Sejak awal, Gol A Gong sudah punya semacam blueprint
di kepalanya bahwa nanti akan ada Banten Membaca, Banten Menulis dan
sebagainya. Dari kisah yang dirangkum dari cerita harian istrinya, Rumah Dunia terbaca
di mana-mana. Saat itu diberi nama Pustakaloka Rumah Dunia disingkat PRD. Sebuah
singkatan persis inisial sebuah partai, yang identik dengan ideologi kiri di
masa awal reformasi. “Saya khawatir, jangan pakai nama itu. Nanti orang bilang
kita di kiri,” ujar Tias.
Tapi justru itu malah menyedot perhatian. Dari kantor tempat
kerjanya, Gong menyebar broadcast rangkuman cerita Tias tiap Senin. Lalu,
berduyun-duyun feedback datang. “Ada yang tiba-tiba datang membawa
karung. ‘Mbak ini alat tulis untuk hadiah anak-anak.’ Katanya. ‘Tahu dari mana?’
‘Itu mas Gong yang bilang, mau ada acara lomba untuk anak-anak,” kisah Tias.
Kadang juga orang memberikan sesuatu tanpa bilang. “Ketika
kami sedang pergi, tiba-tiba di belakang rumah sudah menggantung satu set alat
tulis lengkap dengan crayon yang waktu itu masih mahal sekali, kami belum
sanggup beli. Ada alamat emailnya, saya balas ucapan terimakasih. Saya juga
tanya dari mana tahu PRD ini? Mas Gong yang bilang.”
Satu titik ke titik lain, dari mulut ke mulut, kabar
keberadaan Rumah Dunia menyebar. Kunjungan pun berdatangan. Tak hanya bantuan
materi, tapi juga ilmu dan tenaga. “Kami tidak sendiri, banyak teman datang.
Saya tidak bisa teater, ada teman, saya minta untuk ajari anak-anak. Saya tidak
bisa menggambar, ada yang bisa menggambar, saya minta untuk ajari anak-anak.”
Rumah Dunia Tanpa Pagar
Gol A Gong sengaja membiarkan kompleks Rumah Dunia tak
berpagar. Tujuannya agar tak menghalangi jalan warga yang ingin ke sungai di
belakang area tersebut. Di sana warga masih suka mencuci. Selain itu, ada rumah
warga yang berbatasan Rumah Dunia. “Jadi biarkan mereka ikut menikmati kegiatan
yang ada di rumah dunia. Lapangan juga sering dipakai hajatan warga sebagai
kontribusi dari Rumah Dunia.”
Dalam aktivitasnya Tias dan Gol A Gong dibantu para relawan
yang direkrut per angkatan. Saat ini ada tujuh orang yang tinggal. “Bersama
merekalah kami menggerakkan Rumah Dunia sampai seperti ini. Kami (Tias dan Gol
A Gong) hanyalah meletikkan api untuk menggerakan mesin, teman-teman inilah
yang membantu kami bergerak berkegiatan. Rumah Dunia sampai sebesar ini, sampai
dikunjungi teman-teman dari berbagai daerah, itu juga karena mereka,” paparnya.
Para relawan umumnya mahasiswa yang kuliah dengan biaya
sendiri. “Untuk studi dan lain-lain di luar kegiatan Rumah Dunia, mereka pakai
biaya sendiri dari hasil menulis. Karena relawan di Rumah Dunia ini biasanya
direkrut dari hasil kelas menulis 10 Dunia. Sekarang angkatan 32.”
0 komentar:
Posting Komentar