Cobalah petik selembar daun Urai seratnya hingga butir-butir terkecil Kupas perlembar debu yang rekat di hitam putih kulitmu Cacah hingga tak mampu kau membagi Tulangmu, dagingmu, darahmu, suara dan udara yang keluar masuk berdiri sendiri sendiri Menyusuplah diantara keping terdalam angkasa raya Apalagi yang kau jumpa kalau bukan tiada Bahkan tiada pun tiada. Jangan coba tertawa sebab masing-masing partikel tangis dan gembira telah terberai Jangan tanya mau apa karena kemauan tak lebih sekian kosong yang menggumpal Oktober 2012
ku miripkan wajah potong rambut sinar matamu pada mungilnya bocah gelisah bersandar di pangku bunda Dalam angkutan kota yang lapar menelan lebih dua kali keresahan Manja tanyamu lentik bersuara, "Bunda, kapan sampainya?" Di gugur kering daun-daun rasamu rasaku menyatu tanah kesabaran yang wangi pedesaaan tanpa cemar nafsu tak tergoda tingkah laku terhubung kemurnian rindu terikat melankolika setia Lepaslah rindumu rinduku setiamu setiaku terbakar bercumbu abu Sedang jasad kita diurai keraguan Tak mungkin sempat kau cium punggung tangan ini Sembunyimu telah abadi di balik hitam pintu terkunci Ramadan 1433 H
Sepuluh langkah dariku matamu melihat keagungan Sedepa denganku kau dapati kebosanan Sejengkal di hadapan berarti keindahan atau kemuakan Menyatuiku itulah kebahagiaan keabadian
Tak ada yang lebih bijak dari hujan di bulan Juni,
kata Sapardi Djoko Damono
kenapa bulan Juli tidak? Aku sangat yakin, itu lebih bijak. Apalagi di bulan Agustus.
Tapi cukuplah Juli
Karena tengah-tengah, yang tengah-tengah itu yang enak
Juli juga nama legendaris dalam kisah cinta
Juli, bulan lahir seorang kekasih
Juli tambah e, jadi kekasih ilusi lainnya menuliskan namanaya sendiri
Ilusi pun tak tepat menggambarkan
karena membayangkan bersama saja, tak bisa
Entah sisi mana jiwaku yang mencintainya
Yang pasti dia sangat membenciku
Oke, aku bukan Romeo
Aku bukan orang bertempel topeng alami bernama alter ego yang dipujanya
Cukup mencintainya, entah dari sudut jiwaku yang mana
dan kubebaskan Julie membenci, merendahkan, menghina, dan jijik pada cintaku
Kubebaskan dia terbang, melayanglah tinggi sebagai simbol merpati
Kapan telah siap, mari kita bergulat dan berkelahi.
Aku siap kau kalahkan
Kau dan Aku hanya setititk debu yang beterbangan
Aku hanya ingin berteriak sekencang-kencangnya. Tapi ini
bukan pantai. Ini Ciputat dengan penduduknya yang padat. Ciputat bukan gunung
atau tebing yang mampu meneruskan teriakan ke jurang-jurang. Menggaung berulang
dan menimbulkan trance. Hanya musik dari pemutar mp3 yang sanggup menenangkan
kemarahan jiwa, menstabilkan pikiran, di Ciputat.
Aku ingin marah, mengacak-acak segala gala. Aku bosan
mendengar dan melihat kepura-puraan. Aku jengah dengan kekakuan. Di jalan, tivi, semua tempat pendidikan, kerja, dan perjuangan, tak ada ketulusan. Cinta hanya
di atas kertas, menjadi tameng atas nama. Senjata penipu. Cinta sebenarnya terpenjara di atas bukit, dikurung dalam kisah-kisah roman, atau
ayat-ayat agung. Cinta tinggal kata-kata tanpa hakikat. Di jalan yang macet, aku
kehilangan arah.
Banyak yang ribut dan takut kalau kiamat tiba. Sampai saat ini, saya belum paham kenapa mereka takut pada kiamat. Padahal seperti dijelaskan, kiamat itu adalah saat kehancuran dunia. Artinya tak ada cara lain selain menerimanya. Mati sama-sama, hancur sama-sama, seluruh dunia. Lalu apa yang ditakutkan? Banyak ramalan tentang kapan kiamat tiba. Menurut ramalan suku Maya dan Inca, kiamat akan terjadi pada tanggal 21 Desember 2012. Kalau kita lihat kalender, tanggal tersebut jatuh pada hari Jumat. So, masihkah kamu takut? Saya berani bertaruh, yang menjawab "nggak takut" itu lebih didasari karena tak percaya bahwa pada tanggal tersebut kiamat terjadi. Dan sekali lagi yang saya bingungkan adalah mereka yang takut. Apa alasannya, sampai mereka takut? Berikut saya cantumkan hadits Nabi saw tentang kapan kiamat tiba. Rasulullah saw berkata, "Hari Jumat adalah penghulu segala hari dan hari yang paling mulia di sisi Allah, hari Jumat ini lebih mulia dari hari raya Idhul Fitri dan Idul Adha di sisi Allah, pada hari Jumat terdapat lima peristiwa, diciptakannya Adam dan diturunkannya ke bumi, pada hari Jumat juga Adam dimatikan, di hari Jumat terdapat waktu yang mana jika seseorang meminta kepada Allah maka akan dikabulkan selama tidak memohon yang haram, dan di hari Jumat pula akan terjadi kiamat, tidaklah seseorang malaikat yang dekat di sisi Allah, di bumi dan di langit kecuali dia dikasihi pada hari Jumat." (HR. Ahmad) Ah, pasti kamu-kamu yang takut itu karena merasa punya dosa yang banyak ya? Ya sudah, kalau itu masalahnya cepat-cepat bertobatlah. Lagi pula nggak cuma kamu kok yang punya dosa. Semua manusia juga sama. Ah, kamu takut neraka? Tenang, kamu kan percaya Tuhan. Sesungguhnya Tuhan Maha Kuasa. Tak butuh alasan baginya untuk memasukkanmu ke surga atau neraka. Apalagi yang kau takuti dari kiamat?
Lima meter dari kamar kost yang kusewa adalah jalan raya. Meski
bukan jalan utama, aktivitasnya tak tak kalah padat di pagi dan sore hari. Ribuan
mobil dan motor menyemarakan pesta kehidupan. Ribuan pula nyawa berdesak
ketegangan demi menghilangkan rasa bosan jika tanpa kegiatan. Demi membayar
ongkos hidup. Guna mencantumkan papan nama pada dinding kebanggaan.
Hanya itu sudah cukup membuatku bosan. Raung kendaraan, asap
kenlpot yang hitam, setiap waktu menghantui. Aku bersyukur kalau hujan tiba. Udara
tercuci bersih, meski tak mungkin bertahan lama. Selain itu, dinginnya aku
suka. Kamarku yang tanpa AC membuat udara panas Jakarta terus mendidihkan
darahku, mempercepat detak-detak jantungkuLima meter dari kamar kost yang kusewa adalah jalan raya. Meski
bukan jalan utama, aktivitasnya tak tak kalah padat di pagi dan sore hari. Ribuan
mobil dan motor menyemarakan pesta kehidupan. Ribuan pula nyawa berdesak
ketegangan demi menghilangkan rasa bosan jika tanpa kegiatan. Demi membayar
ongkos hidup. Guna mencantumkan papan nama pada dinding kebanggaan.
Andai di Jakarta, dan sekitarnya, turun salju. Aku pasti
bilang, “wow…!”, mengungkapkan kegirangan. Sambil koprol dan salto
berguling-guling atau sujud, rukuk, takbiratul ikram, dan sebagainya. Kubayangkan
duduk di teras mengenakan jas tebal, yang menjuntai sampai lutut. Menikmati kopi,
yang cangkirnya kudekap-dekap supaya darah di tangan tak menggigil kedinginan. Ah,
itu sekadar khayalan. Layak umat merindukan Messiah atas frustasi sebab kenyataan.
Satu-satunya cara paling dekat, sebagai simulasi hidup
sehari seperti di negeri Barat, adalah pergi ke Puncak, Bogor. Kebetulan 15 November
2012 hari Kamis adalah tangal merah. Libur. Memperingati tahun baru hijriah. Seyogyanya
cuti bersama digelar hingga hari Minggu. Tapi sayang, hari Sabtu ada kewajiban
piket. Jadi ingin kumanfaatkan dua hari sebelumnya untuk merealisasikan
keinginanku. Bersama teman-teman terdekat.
Entah kenapa rasa ragu susah hilang dari benakku. Sudah kukabarkan
pada seorang teman rencana itu lewat media sosial, Twitter. Tapi mungkin karena
aku ragu, yang tanpa sebab, membuat temanku itu juga ragu atas ajakanku. Ia baru
datang tanpa kuduga, bersama lima teman lainnya, di malam Sabtu. Niatnya hanya
bersambang saja. Jelang dia mau pamit
karena sudah larut malam, aku ingat dua hari sebelumnya kita niat ke Puncak. Aku
utarakan saja hal itu padanya. Dia antusias. Aku kebingungan. Bingung tanpa
sebab. Seperti ada yang mengganjal. Tapi entah apa.
Tanya-tanya soal villa, ada teman yang punya. Siap disinggahi
tanpa uang sewa. Kamipun sepakat semua. Namun satu orang di antara kita, tampak
mengikuti keraguanku. Ia masih mikir-mikir kalau harus berangkat ke Puncak
sekarang juga. Aku dan empat teman lain memberinya waktu untuk berpikir
memutuskan. Ternyata hanya soal biaya dan motornya, yang tanpa STNK. Berarti itu
bisa kami atasi.
Lima menit kami bersiap berangkat. Sudah terbayang hawa
dingin Puncak. Aku baru ingat, hari Sabtu itu besoknya. Aku piket. Lima menit
itupula hawa dingin Puncak menghilang. Kita bubar ke rumah masing-masing. Ke kamar
kost masing-masing. Sungguh perjalanan yang sangat cepat.
Setiap syair yang tertuang adalah jelmaan air mata
Di dalamnya sedih dan bahagia mengalir
pelan menelusup celah-celah kekosongan
Sepekat rimba menjaring awan
Mencipta rasa aneka warna
yang terpisah merindukan asal Esa
Sebab tiada satu tanpa jumlah
Tiada waktu tanpa ruang
Seluas aku mencari diri
sendiri yang telah pergi
Sebesar itu kebahagiaanku
Maka ku tegaskan,
Walau tanpa bantuan sekian banyak orang, dunia tetap akan mampu ku genggam
Menyedihkan. Senja itu aku sendiri keluar kamar. Bukan mencari udara segar. Mungkin cukup secangkir kopi. Menyeruputnya demi sedikit, diasapi samsu, dan satu lagi, mendengarkan cerita.
Cerita apa saja, dari seorang teman atau kenalan. Kupikir itu
sejenak membantu melupakan diri sendiri yang kacau. Mungkin juga, Pendengar Cerita adalah profesi baru yang belum banyak orang
tahu. Barangkali.
Langit cerah sore itu. Setelah adzan
magrib, ku saksikan jejak surya berupa mega kemerah-merahan. Seperti
wajah pengantin baru malu-malu mau masuk kamar.
Tapi sudahlah, yang penting akhirnya ada satu teman ngopi dan siap ku dengarkan ceritanya. Cerita apa saja.
Kami
berdua meluncur, menyeberangi deras lintas jalanan, mencari sebuah
angkringan, yang kalau tak salah berlokasi di Jl. Pisangan. Ternyata
tutup. Mungkin bangkrut.
Kami meluncur lagi, berbalik
arah, memotong jalan, menuju daerah Mabad. Menurut temanku itu, ada
sebuah angkringan juga di sana. Ia pernah ngopi bersama pacar yang telah
berubah mantan, beberapa waktu silam.
Aku setuju. Sekalian mengantarnya ke muara nostalgia. Mengusap-ngusap pudaran memori, dan apa sajalah.
Apapun bisa mengikat kenangan. Entah suara, warna, tempat, juga bau Termasuk angkringan yang kami tuju.
Hmm,
pasti temanku ini akan bolak-balik cerita tentang mantannya, melebihi
panjang jarak tempuh roda motor atau sekuat dan setabah semburan lumpur
Lapindo. Mengingat akhir kisah mereka kurang stabil. Begitu yang ku
terima menurut kesaksian beberapa teman dan saksi kunci.
Di
atas motor yang kami kangkangi, muter-muter tak ketemu. Angkringan itu
tanpa bekas. Tutup pun tidak. Tak ada jejak. Mungkin gulung tikar.
Begitulah, kenangan seorang teman yang gulung tikar.
-->Kemarin, aku pulang sangat larut.
Nyaris pukul 00.00. Jalan Legoso Raya mulai sepi pelintas saat aku meninggalkan
sebuah kafe, tempat nongkrong bersama beberapa kawan muda. Hanya sekitar
seratus meter, langkahku menyeberangi jalan untuk mencapai sebuah gang ke kamar
kostku, 10m dari jalan raya.
Tak seperti kamar kost atau
kontrakan umumnya, yang berderet rapat dengan lorong utama menghadapkan pintu
dengan pintu lainnya. Kamarku punya halaman. Meski tak seluas halaman rumah di
kampung, tapi cukup buat parkir 10—15 motor.
Tepat di belokan mengiri, ada
gerbang di sebelah kanan dengan empat buah anak tangga turunan. Begitulah
kamarku berada. Malam itu ada dua motor berjajar. Pertanda tamu telah tiba
sebelum kedatanganku. Pintu terbuka. Cukup senyum untuk menyapa dua orang teman
dan seorang teman se-kost-ku.
Mereka bicara banyak hal.
Menyaruk-nyaruk masalah seni dan sastra, diiringi lagu-lagu Led Zeppelin di media
player komputer pentium III. Komputer yang tak sesuai zaman sekarang. Tapi slow
saja, Led Zepplin masih bisa konser di situ.
Aku yang lelah, berlagak authis,
tak terlalu larut menanggapi obrolan mereka. Kecuali menghisap beberapa batang
samsu, menyeduh kopi baru, menambahkan tiga buah reggea Bob Marley, lagu-lagu
sountrack Into The Wild-nya Eddie Vedder, dan lagu-lagu sountrack The Boat That
Rock seperti Elenore, Stay With Me Baby dan lainnya. Lalu aku berbaring di
sela-sela serunya obrolan mereka.
Kurang lebih dua jam berebah,
sayup-sayup kusimak obrolan mereka. Aku langsung ingat cerita Gus Mus tentang
Gus Dur saat keduanya menjalani studi di Mesir. Gus Mus yang selalu belajar dan
Gus Dur tidur saja. Tapi apa yang dipelajari Gus Mus, ditangkap lebih dalam
oleh Gus Dur yang tidur.
Serunya pembahasan ketiga teman itu
layak nyamuk-nyamuk yang terbang hinggap berputar di kaki tanganku telanjang.
Membuat aku bangun sekitar pukul 03.00. Setelah cuci muka, aku bergabung. Teman
sekamarku minta maaf karena telah membuat tidurku terganggu. “Slow…,” kataku.
Aku menyimak sampai di mana mereka.
Masih seputar sastera dan metodelogi ilmu pengetahuan. Begitu kurang lebih yang
boleh ku ceritakan padamu. Tapi obrolan mereka sangat liar. Wajar, karena
memang tak ada rencana dan alur kesepakatan kemana arah pembicaraan. Sebentar
singgah di ranah kecengan, candaan. Singgah lagi di wilayah culture studies,
meluncur ke masa klasik Islam saat terbunuhnya para khulafaurasyiddin. Dan pada
suatu menit, singgah lagi ke kamar. Menyorot kehidupan asmara seorang dari
kami. Di sinilah yang akan ku ceritakan. Karena memang sedikit erat dengan
konsep kenabian.
Aku berkontribusi menggunakan
analisa dan saran atas dasar zodiak. Aku mencoba memahami bagaimana seorang
yang berzodiak sama denganku. Menganalisa kepribadiannya dan memberi solusi
atas permasalahan yang terjadi.
Seketika itu, kedua teman yang
malam itu berstatus tamu agung, meminta pendapatku menjelaskan bagaimana
masing-masing pribadi dengan takdir zodiaknya.
Aku langsung berkilah. Kalau mereka
mau tahu, cari saja di internet atau buku-buku mitos tentang karakter zodiak
masing-masing. Selama ini, aku hanya mencari tahu, menelusuri, semua hal, baik
tentang zodiak atau perhitungan yang berkaitan denganku. Aku hanya seperti
seorang nabi, bukan rasul. Di dunia ini ada banyak nabi ketimbang rasul. Nabi
hanyalah orang yang mendapat pengetahuan dari tuhan untuk diri sendiri,
sementara rasul mendapat pengetahuan dari tuhan untuk dan wajib disebarkan
kepada seluruh umat manusia.
Langsung pula, satu di antara kami
ingat akan pernyataan Yazid, seorang teman yang tak ada di sini. Pernah Yazid
mengatakan, semua pengetahuan yang kita dapat hendaknya hanya untuk diri
sendiri, untuk menilai dan mengukur diri sendiri. Bukan sebaliknya untuk
mengukur dan menilai orang lain atau masyarakat. Karena kalau demikian,
akibatnya kita akan gampang men-judge, mengafirkan, menyalahkan, atau
menganggap sesat orang lain.
Demikianlah, aku mendapat,
memperoleh, mengunduh, dan menelusuri pengetahuan tentang zodiak, primbon,
weton, jumlah tanggal, hari, bulan, dan tahun kelahiran hanya untuk diriku.
Menilai dan mengukur diri sendiri. Sehingga jangan tanya bagaimana hubungan
zodiakmu dengan zodiak pacarmu, jika tak sama dengan zodiakku. Kalau toh sama,
aku hanya akan memaparkan sejauh yang ku tahu tentangku, tentang zodiakku,
sejauh berkait dengan pengalamanku. Tidak untuk memaksamu memakai penilaianku
atas diriku untuk menilai dirimu. Dan karena itu pula, tak perlu kuceritakan
apa yang kutangkap saat tidur atas obrolan ketiga kawanku malam itu.
Bayang-bayang hitam teralis pada
lembar kain yang menutup rapat jendala kaca kamarku jelas condong ke barat.
Hari selasa masih muda. Mobil dan motor nyaring di telinga. Kamarku berposisi
tepat di belokan sebuah gang,10m dari jalan raya.
Sejak memutuskan untuk mengakhiri
semua, ini adalah pagi kesekian kalinya yang ku jumpa. Pagi yang dulu teramat
sulit aku temui. Apakah berarti semua setan dan iblis telah pergi? Cuma
lantaran aku memutuskan tujuan akhir hidupku dengan bunuh diri?
Entahlah. Tujuh tahun lalu, ketika
sedang getol-gotolnya mengejar fajar, demi duduk di bangku kuliah tepat waktu,
aku kesulitan tidur malam. Seperti ada yang menarik-narik pikiran. Melayang,
mengawang, penuh dengan keresahan. Akibatnya mataku tak bisa terpejam hingga
lantang suara adzan berdatangan dari segala penjuru. Dan aku kelabakan.
Kuliahku berantakan. Terus menerus berulang.
Kalau tidak begitu, kesehatanku
rentan terganggu. Entah perut, entah kepala, entah paru-paru, demam berdarah,
liver, typus, dan segala macam penyakit menghadang siang. Tubuhku penuh
kelemasan. Semua itu memaksaku untuk berikhtiar ketat menjaga pola makan,
berjuang keras menghindari hal-hal yang membahayakan kesehatan. Caranya
macam-macam. Sesempatnya aku joging, olahraga, minum vitamin, pakai lotion anti
nyamuk DBD, banyak minum air putih, memaskeri hidung dari asap-asap komplek
kehidupan, dan sebagainya.
Ah, tapi musibah datang dari mana
saja. Selalu ku syukuri masa sembuh dari penyakit yang beberapa kali nyaris
membunuhku. Hingga saat ini, ku sesali semua usaha penyembuhan itu. Menyesal
karena tak memanfaatkan penyakit-penyakit ganas menjemput ajalku. Dengan begitu
aku bisa mati normal, bukan bunuh diri.
Sekarang, aku tak tahu kemana
perginya semua penyakit yang mengelukan itu. Setelah banyak cita dan harapan ku
tanggalkan, mengabaikan segala prosedur hidup sehat, berharap sekarat datang,
tapi malah sebaliknya yang ku dapat. Aku baik-baik saja. Tak ada lemas, tak ada
nyeri di perut, kepala, dada, dan seluruh anggota badan. Kepala yang selalu
berkeringat pertanda gejala sakit jantung, kini kerontang. Racun yang ku minum
dan ku makan berubah kecing dan berak belaka. Di mana perahu-perahu yang bisa
mengantarku ke pulau baka itu?
Malah pagi yang ku jumpa. Pagi yang
bising. Klakson di jalan memekikkan kebenaran masing-masing. Mereka bilang
pergi karena uang, pulang karena cinta. Ah bullshit…!!! Kalau ku tanya, untuk
apa mereka bergelut dan memutari semua? Untuk apa mereka hidup dan memabrikkan
manusia? Tak ada jawabannya.
Lalu mereka balik tanya, mengapa
aku tak ingin hidup? Membuang asa? Mengharap-harap alam baka segera menyapa?
Jawabku, mengapa tidak? Dan mereka pun menilai dan memandangku sebagai
penyakit. Padahal mata mereka sakit. Hidup untuk pengulangan, sok tahu perihal
kematian.
Atau aku yang memang tak tahu apa
itu tujuan? Mungkin tak tahu bagaimana cara berjalan? Kaki-kaki jiwaku lumpuh,
sebab tiada dataran keras pijakan. Hanya orang tolol yang mau menolongku.
Mengangkatku dari lumpur dengan resiko tenggelam bersama.
Kalau sekadar kata-kata mutiara,
seperti super mario bross itu aku pun punya. Tak ingatkah kau, berapa orang
yang meminta saranku, dan mereka menjalankannya, mengamininya, dan hidup lebih
berharga, setidakknya menurut masyarakat yang gila dan kaku. Yang dengan
struktur, aturan, dan kotak-kotaknya melelehkan Sang Aku. Fuck, soceity, crazy
ending.
Apa? Kaumau tanya, kenapa aku tidak menjalankan
kata-kataku? Lihat, kakiku! Kaki jiwaku! Mana?! Dan kau hanya mengumpatku. Apa
yang bisa kau tawarkan agar aku tetap memilih hidup dan membuang jauh-jauh asa
akan kematian? Kau ingin menjadikanku tuan? Atau menawariku jadi budakmu? Jadi
kawanmu? Itu saja? Aah, aku juga punya. Aku punya tuan, aku juga punya budak.
Kawan? Apalagi..
Nah, sekarang kau mencoba
membohongiku. Kau bilang, aku, kau, dan mereka, kita semua pernah punya
perjanjian dengan tuhan untuk tunduk dan menjadikan ia sebagai tujuan?
Perjanjian yang mana? Kapan? Aku benar-benar tak ingat. Sama-sekali. Aku yakin
kau juga. Cuma karena ketakutan pada bayangan neraka dan mengharap bayangan
surga itu kau paksa akal dan hatimu untuk percaya. Ah, seperti anak kecil saja
kau, mengharap hadiah dan takut siksa.
Eh, tapi sebentar. Perjanjian itu
adalah hukum. Ada aturannya. Aku benar-benar tak ingat kapan, dimana, bagaimana
kondisinya, siapa saksinya, dan segala macam yang terkait dengan perjanjian
itu. Apakah aku berdosa dan bodoh? Aku benar-benar tak ingat. Lalu tiba-tiba
saja kau menyodorkan sebuah kisah, yang asing bagiku. Mana tanda tanganku di
situ? Mana bukti kesepakatan antara aku dan tuhan?
Oke, kalau memang hidup ini
tujuannya untuk tuhan, mengapa aku tak boleh segara mengakhiri kefanaan ini?
Hidup kan fana? Dan hidup itu bukan tuhan? Iya toh? Kalau hidup itu bagian dari
tuhan, maka orang-orang yang mengakhiri hidupnya itu berarti mengakhiri tuhan?
Bukan?
Aku tahu, kau sedang ketakutan. Takut
siksa neraka. Dan benakmu, memohon ampun tuhan berulang-ulang. Hanya lantaran
membaca tulisan ini sampai di sini. Baiklah aku maafkan. Nah, mau lanjut?
Sudahlah, banyak cara menggapai
kebenaran. Ada yang berjalan, berlari, atau melompat. Biarkan aku melompat.
Kalau tak sampai ya nggak apa-apa. Toh, di manapun aku berada nggak akan lepas
dari tuhan. Begitu kan keyakinanmu?
Oke, kembali ke kamarku. Kenapa aku
malah sering bangun bagi akhir-akhir ini? Di kala fajar tak lagi menarik
minatku. Di kala mataku begadang sampai tarkhim berteriakan. Di kala badan ku
buat capai tak ketulungan, kenapa tetap saja di pagi harinya aku bangun? Kenapa
nggak tidur selamanya?
Tapi ya sudahlah. Jalani saja.
Nanti juga tiba saatnya minum baygon. Dan beberapa kali ku baca di beberapa
media, itu berhasil. Oke bradah… sampai jumpa, entah di mana… bye…
Kabut aku merindumu di tangan terik terang penuh polusi tak sedikitpun kau datang Hanya rintik-rintik hujan malas dan terpaksa mengabarkan kesan kelabu Kabut masihkah kau di kampung atau enggan turun gunung bersembunyi di balik rimbun pepohonan yang basah karena embun mendinginkan gelora magma bumi Terang pendar-pendar cahaya tak nyata tanpamu gelap gulita sepah di lidah sepi