Begitulah kurang lebih terjemahan atau tafsir ayat 4 Quran
Surat al-Ikhlas. Ayat itu menerangkan bahwa tak ada sesuatu yang menyamai atau
menyerupai Tuhan (Allah) dalam hal apapun. Baik rupa, perbuatan, perkataan dan
segala hal yang tentunya dapat dibayangkan manusia.
Lalu bagaimana manusia menyembahnya, bahkan mungkin
mempercayainya, jika tidak dapat dibayangkan sama sekali? Itulah menurut saya,
mengapa surat tersebut dinamai al-Ikhlas. Kita sepaham bahwa ikhlas itu sendiri
berarti melakukan sesuatu tanpa mengharap apapun. Termasuk kepada Tuhan. Kita
menyembahnya semata-mata menyembah, beribadah kepadanya semata-mata beribadah.
Sesungguhnya tidak untuk dalam rangka mengharapkan surga atau takut pada
neraka. Itulah ikhlas.
Jika melihat kata Tuhan atau dalam Islam disebut Allah, akal
kita juga bisa mencerna bahwa yang kita sebut Tuhan bukanlah Tuhan itu sendiri,
yang kita sebut Allah bukanlah Allah itu sendiri.
Perumpamaannya, Anda menyebut nama saya M.S. Wibowo. Anda
tentu tahu bahwa M.S. Wibowo itu yang Anda sebut bukanlah saya pada dzat saya
sendiri. Kita juga masih bisa berdebat yang disebut M.S. Wibowo itu yang mana? Keseluruhan
tubuh sayakah? Pikiran sayakah? Atau yang mana?
Mungkin Anda, jika bertemu dengan tubuh fisik saya, bisa
menyebut dan menunjuk tubuh saya, “Ini adalah MS Wibowo. Tubuh ini beserta
keseluruhan aktivitas jasmani rohaninya adalah M.S. Wibowo.” Tapi hal itu tidak
bisa Anda lakukan pada Tuhan. Kita sama-sama tahu, akal dan pancaindera kita
tidak mungkin menjangkaunya. Yang bisa kita lakukan hanyalah mengimaninya. Titik.
Selanjutnya menjalankan syariat-syariat yang kita yakini dan imani turun
berdasarkan perintah-Nya.
Lain halnya dengan seorang atheis, mereka tidak menjalankan
perintah-perintah atau syariat Tuhan. Bahkan mereka menyebut tidak percaya
kepada Tuhan. Ketidakpercayaan kaum atheis karena mereka beraktivitas
menggunakan akal dan observasi inderawi. Hal ini juga dapat dipahami karena
kaum atheis tidak mungkin menjangkau Tuhan yang berada diluar kemampuan akal
manusia.
Namun pada titik ini, disadari atau tidak disadari,
sesungguhnya kaum atheis telah memurnikan dzat Tuhan dari prasangka-prasangka
serta definisi-definisi yang membatasi dzat Tuhan itu sendiri. Satu-satunya
batasan yang mereka lakukan terhadap Tuhan, adalah mereka menyatakan bahwa alam
semesta ini dapat dipahami tercipta dengan sendirinya “Tanpa Campur Tangan Tuhan”.
Saya garis bawahi kalimat “Tanpa Campur Tangan Tuhan” itulah
yang menurut saya bahwa kaum atheis masih juga membayangkan Tuhan sebagaimana
dipersepsikan oleh orang-orang kebanyakan. Tuhan berupa fisik yang dengan
tangannya membangun dan menciptakan alam semesta.
Tapi bagi atheis sejati, semestinya Dzat Tuhan tentu jauh
hubungannya dengan alam semesta. Tuhan benar-benar tak terbayangkan. Sehingga yang
ada di pikiran Atheis sejati adalah alam bekerja dengan sendirinya melalui
suatu hukum tertentu yang sudah tersusun sedemikian rupa. Segala bentuk
pengimajinasian tentang tuhan seyogyanya dihilangkan. Karena bahkan dengan
mengatakan Tuhan Ada atau Tuhan tidak Ada itu sendiri sudah merupakan bagian
dari cari manusia membayangkan keberadaan atau wujud Tuhan. Artinya itu
bertentangan dengan Quran Surat al-Ikhlas ayat 4 di atas.
Kalau ada, seorang Atheis yang sama sekali tidak menyinggung
ada dan tidaknya Tuhan, maka itulah dia seorang yang sesungguhnya telah
bertuhan, meski tanpa agama yang banyak membatasi tuhan dengan
definisi-definisinya. Dia (atheis) menjaga kemurnian wujud tuhan dari
persekutuan yang dilakukan oleh pikiran, imajinasi dan bahasa manusia. []
Kramat, 20 Mei 2015
0 komentar:
Posting Komentar