Beberapa hari lalu, ketika menginap di Sekretariat Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Aspirasi UPN Veteran Jakarta, seorang teman dari LPM Didaktika UNJ mengajak diskusi mengenai shalat berjamaah.
Ia menanyakan, apa sih sebenarnya inti dari shalat itu? Bukankah itu merupakan saat-saat kita berhubungan dengan Tuhan. Antara mahluk dan Tuhannya?
Pertanyaan itu kemudian menjalar ke masalah shalat berjamaah. Kenapa shalat berjamaah itu lebih diutamakan. Bahkan dengan iming-iming pahala 27 kali lipat dari shalat biasa.
Padahal kalau disadari, shalat berjamaah justru mengurangi kekhusuan dan keintiman hubungan antara mahluk dan Tuhannya. Konsentrasi yang harusnya terjadi menjadi sedikit tercemari.
Karena pertama, Dalam Shalat berjamaah seorang ma'mum, selain berkonsentrasi dan memantapkan hati serta pikiran menghadap Tuhan, ia juga harus berkonsentrasi mengikuti imam. Makmum dilarang khusu' sekhusu'-khusu'nya, sampai tak menghiraukan imam.
Kedua, pakaian-pakaian yang beraneka-ragam dari setiap makmum, apalagi terdapat tulisan macam-macam dipunggung, akan memecah konsentrasi dan melayangkan pikiran untuk membaca. Terlebih jika pemakai kaos semacam itu, berada dalam shof tepat di depan kita.
Ketiga, kadang terbersit perasaan lebih baik dari orang lain, yang itu artinya kita tidak ikhlas dalam beribadah.
Keempat, yang paling parah adalah, ketika usai shalat jamaah, tak jarang ada beberapa oknum yang memanfaatkan hal ini menjadikan ajang kampanye, baik lewat tausiyah atau selebaran dan sebagainya.
Pada zaman Nabi SAW, shalat berjamaah memang sangat dianjurkan. Banyak terdapat sabda-sabda Nabi SAW tentang keutamaan tersebut. Tapi lain dulu dan sekarang. Masa Nabi dulu, adalah masa awal-awal Islam lahir. Pasti banyak sekali goncangan dari sana-sini untuk menghambat dakwah Nabi SAW. Selain itu, karena Islam masih baru, masyarakat Arab tempo itu pasti masih banyak yang kurang paham dengan ajaran Islam.
Demi memermudah dakwah dan sosialisasi ajaran Allah SWT, maka sangat efektif Nabi menggunakan doktrin dan iming-iming pahala lebih bagi orang yang mau berjamaah. Tentu saja, hal ini agak mengesampingkan nilai ikhsan dari shalat itu sendiri.
Di sisi lain, beberapa dari ulama sufi mengatakan bahwa shalat sendiri justru lebih baik. Karena dengan itu, itu bisa lebih dekat dan khusu' menghadap kepada Tuhan.
Namun tak ada salahnya dan tak ada buruknya shalat berjamaah. Dan pasti itu bernilai positif bersyarat. Kenapa bersyarat?
Karena, umat Islam saat ini banyak yang tak mendapatkan esensi dari beragama itu sendiri. Agama justru sering menjadi alat politik. Menjadikan manusia dengan buas menghalalkan darah manusia lain yang berbeda agama. Dan Hingga kini, perang yang masih menyala adalah perang yang mengatasnamakan agama. Kenapa agama malah jadi pembuat kacau? Katanya agama itu turun dari Tuhan. Tapi kenapa menjadi sumber kekacauan dunia?
Pasti jawabannya, ya itu bukan salah agamanya, tapi salah orangnya. Lah, nyatanya para pejuang-pejuang agama itu selalu mendasarkan tindakannya atas doktrin-doktrin agama. Kenapa agama membiarkan demikian?
Agama yang terlembaga memang sangat mudah dijadikan mainan oleh politik segelintir orang. Makanya, beragama, bertuhan, itu cukuplah hubungan individu dengan Tuhannya. wallahu a'lam bishshawab.
0 komentar:
Posting Komentar