Sabtu, 04 April 2009

Suroto Dan Jebolnya Tanggul Situ Gintung

MS WIBOWO-Jebolnya tanggul Situ Gintung, mengingatkanku pada masa kecil dulu. Permah suatu hari, kala aku masih kelas IV SD, saat jam pelajaran menginjak masa injury time, guru kelasku menanyakan pada seluruh murid di kelas, tentang cita-cita kami nanti di masa depan. Rata-rata, semua anak menjawab dengan cita-cita tinggi, muluk, aneh hingga yang abstrak. Mulai dari ingin jadi guru, dokter, astronot, superhero hingga orang yang berguna bagi nusa, bangsa, agama dan keluarga.
Namun ada satu siswa yang jawabannya menyulut gelak tawa seluruh kelas, termasuk aku. Bahkan aku membawanya dalam obrolanku dengan ibuku. Tak hanya aku, mayoritas teman-temanku dulu mengejek cita-cita seorang teman bernama Suroto.
Giliran guruku menunjuknya untuk mengutarakan cita-citanya dengan lugu ia menjawab, “ingin jadi ili-ili (jaga tirta). Sontak seluruh kelas tertawa sembari mengejek cita-cita Soroto yang dianggap tak pantas menjadi sebuah cita-cita. Kondisi itu diperparah dengan omelan guru SD kami, yang menganggap cita-cita Suroto itu terlalu rendah. Suroto, yang bergigi agak tonggos, hanya bisa terdiam seperti kebingungan. Sesekali ia menengok kanan-kiri sambil berusaha mingkem rapat untuk menutupi ketidak-pede-annya.
Sedikit penjelasan, Jaga Tirta atau ili-ili adalah sebuah jabatan petugas irigasi, yang dipilih berdasarkan musyawarah Rukun Warga (RW). Dialah yang akan mengatur pengairan ke sawah-sawah warga. Tujuannya agar air terbagi adil dan merata. Sebab di desa dan kampung yang bermata pencaharian bercocok tanam, masalah pengairan kerap menjadi pemicu cek-cok antar warga.
Meski dipilih dan diangkat oleh masyarakat, pada prakteknya, jaga tirta atau ili-ili masih sering melakukan KKN. Ia bisa disuap atau kadang pilih kasih dalam menjalankan tugasnya. Karenanya banyak pula warga yang tak puas dan merasa terdzalimi. Hal inilah yang dialami keluarga Suroto, sehingga ia bercita-cita menjadi petugas pengairan yang adil.
Dipandang secara sederhana, sesuai dengan konteks mayoritas masyarakat desaku, cita-cita Soroto bisa jadi sebenarnya cukup realistis. Karena, kebanyakan warga desa yang hidupnya bergantung pada sebidang sawah, tak terlalu berharap anaknya akan menjadi ini itu. Mereka selalu mengajari anak-anak mereka agar pandai menggarap sawah. Selain untuk bekal di hari dewasa nanti, ini juga ditujukan untuk menggencet rasa malu kepada warga lain. Sudah umum di sana kala itu, seorang pemuda yang tak bisa bekerja di sawah akan menjadi bahan olok-olokan. Sebaliknya, seorang pemuda yang tekun dan rajin bekerja keras di sawah atau diladang, pasti pujian akan berdatangan dari mana-mana.
“Anak muda tu kaya’ si Anu tu, rajin bekerja, pintar mengerjakan kerjaan di sawah……” begitulah kira-kira pujian untuk anak yang rajin.
Sementara anak yang kurang mahir di sawah, kira-kira akan mendapat ejekan seperti ini, “Ih, si Anu tu, klelar-kleler kerjaannya, suruh kesawah nggak becus, mau jadi apa nanti kalau gede. Apalagi kalau udah nikah, mau dikasih makan apa anak istrinya?”
Dalam situasi dan kondisi masyarakat kala itu di sana, Suroto mungkin mencoba jujur. Karena sebagian besar teman kelas SD-ku saat itu memang dikemudian hari kalau tak punya atau bisa menggarap sawah dikatakan pengangguran. Meski tentu beda dengan konteks sekarang.
Bila menilik lebih lebar, Negara kita memang kurang memerhatikan atau mementingkan masalah pengelolaan air. Negara kita ini, wilayah perairannya lebih luas dari daratannya. Kalau ini dikelola dengan baik, mulai garis pantai, laut sungai dan sebagainya, pasti akan memberikan penghasilan yang luar biasa.
Ironisnya, negeri kita justru sering bermasalah dengan air. Baik pencemaran maupun tidak maksimalnya pengelolaan hingga yang murni bencana. Sebagaimana terahir jebolnya tanggul Situ Gintung yang menelan ratusan korban jiwa dan milyaran materi.
Mungkin Suroto kini telah lupa dengan perisitiwa itu. Ia kini sibuk dibawah terik mentari dan belepotan lumpur sawah. Tapi darinya ada sebuah pelajaran yang patut untuk bangsa Indonesia. Sebuah wejangan yang mengatakan, “wahai bangsa Indonesia, air itu sember kehidupan. Tapi air juga bisa menjadi sumber malapetaka. Sebab tak jarang ditemui dikampung, orang berkelahi hingga bunuh-bunuhan. Indonesia yang diliputi penuh air seharusnya bersyukur karena sember kehidupan berlimpah. Kini, dunia tengah terancam krisis air global. Tapi Indonesia malah kerap menyia-nyiakan sumber hidup ini.”

0 komentar:

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html