Harta, Tahta Dan Sex
“Rrrrrrrrrruuuuuuuuwweeeenngg…! Csssiiiitttzzz…!!! Weeeng!!!” Deru motor itu mengundang mulut berteriak, “Mampus, sialan lo!” Diiringi sebuah tanya tak terdengar, “punya nyawa double lo ye?”
Begitulah, Lanu mengendalikan motor di jalan. Darah mudanya memerintah nyali agar selalu terdepan. Ia tak betah antri dalam deret kemacetan jalan kota. Berbagai celah di antara sisi mobil menjadi lobang percobaan. Seolah menantang sela-sela maut, Lanu tak pernah peduli umpatan orang sekitar. Jika kebetulan memboceng teman, yang kemudian mengingatkan tindakan Lanu, ia selalu menjawab enteng, “terserah gua dong, ini motor siapa?”
Sore itu, Lanu beranjak dari rumahnya di Pasar Minggu menuju sebuah warung kopi, tempat ia biasa nongkrong. Di sana telah menunggu Doreng dan Menon. Hampir tiap malam, tempat ini menjadi saksi bisu onani pikiran ketiga pemuda berstatus mahasiswa itu.
Doreng dan Menon menyambut kedatangan Lanu dengan senyum sederhana.
“Kopi item dong bang,” pesan Lanu pada penjaga Warkop, sambil melepas sarung tangan hitam.
“Dah lama bro?” tanya Lanu pada dua kawannya.
“Lumayan, baru tiga ribu tahun yang lalu,” jawab Doreng sembari menghisap rokok dalam-dalam. Ungkapan Doreng itu langsung disambut tawa dan celotehan ketiga temannya.
“Lo kalau ngomong yang bener napa? Mana ada, baru tiga ribu tahun yang lalu? Itu mah kesannya kita tak bernyawa. Cukup bilang, ‘baru tiga ribu tahun’, gitooo,” sambut Lanu.
“Terserah gua dong, ini mulut siapa?” sahut Doreng sembari tertawa lepas.
Ketiganya pun larut dalam obrolan tak tentu arah. Dari masalah hidup sehari-hari, kuliah, kerja, politik, ekonomi, alam ghaib hingga seks. Pada topik terakhir ini, pebincangan berkutat agak lama. Masing-masing fokus dan berusaha mempertahankan keyakinannya. Terlebih ketika masalah terakhir dihubungkan dengan kehidupan.
“Gua sepakat ama Nietzche, bahwa hidup adalah kehendak untuk berkuasa,” cetus Doreng. “Jadi, kehidupan ini terisi dan bergerak atas dasar kehendak untuk berkuasa. Masing-masing ingin menjadi penguasa atas lainnya. Tapi karena itulah roda hidup berputar. Kalau nggak ada orang yang saling ingin menguasai, kehidupan nggak berkembang, beku, kaya alamnya para malaikat.”
Rentetan celoteh Doreng segera disergap ucapan-ucapan Lanu.
“Emang Nietzche pernah bilang gitu? Di buku apa? Ah lo suka ngarang?”
Doreng terperanga mendengar sergahan Lanu. Belum sempat ia balas menjawab, Lanu kembali lanjut bicara.
“Dari siapapun asal pendapat itu, gua tak sepakat kalau hidup ini adalah kehendak untuk berkuasa. Kalau gua simpel aja, hidup itu intinya pada keberanian. Sekaya apapun lo, kalau nggak pernah berani mengembangkan hartanya percuma. Lama-lama hartanya habis. Sama seperti di jalanan. Kalau lo nggak berani ngebut, nyelip-nyelip, lo bakalan telat dan jadi orang terbelakang. Ujung-ujungnya cuma ngedumel sendirian.”
“Eh,” timpal Doreng. “Lo bisa ngebut, berani nyelip-nyelip itu karena lo punya kekuasaan atas motor lo. Dan mengapa lo ingin salalu jadi yang terdepan dan nggak mau diam dalam kemacetan, karena lo ingin menjadi penguasa jalanan. Jadi, tetap aja, sebenarnya lo tuh ingin menjadi penguasa, ingin diakui hebat, ya setidakknya menurut lo sendiri. Kakuasaan menurut gua, bukan harus atas orang lain. Tapi yang lebih penting adalah atas diri sendiri. Sebelum menguasai orang lain, lo harus menguasai diri lo dulu. Kenapa lo berani seenakknya dijalanan, itu karena lo sudah bisa menguasai diri dan memarjinalkan ketakutan lo. Tetap, intinya hasrat untuk berkuasa.” Ujar Doreng.
“Halah, lo pada ngomongin apa sih? Yang penting tuh makan,” celetuk Monon yang dari tadi jadi pendengar setia. Rupanya ia sedang asyik makan.
“Ya ya bener, kalau punya kekuasaan yang besar, kita mudah mendapatkan kekayaan, tentu mudah pula kita makan. Juga mudah dapat istri yang cantik, seksi, smart dan macem-macem lah,” Ujar Doreng semangat.
“Kalau lo nggak punya duit, tetap aja susah ngedapetin kekuasaan. Kecuali tiba-tiba lo diangkat jadi menantu Raja Minyak. Makanya, kita harus berani nembak cewek yang cantik plus tajir agar kita dapat kekayaan dan kekuasaan,” kata Lanu.
“Nah, kekuasaan kan?” sergah Doreng.
“Ya tapi tetap aja, kalau nggak berani nembak cewek ya nggak bakalan dapat semuanya. Kaya lo..., hahahahaha,” pekik Lanu.
“Eiits liat saja dua tahun lagi, kalau gua sudah kerja, punya duit banyak, cewek juga bakalan gue kantongin,”
“Iya tapi kapan?” ejek Monon. “Eh friend, hidup itu adalah harta, tahta, wanita. Eh maksudnya seks. Jadi harta, tahta dan seks. Ini tak terbatas untuk laki-laki atau perempuan. Semua akan bahagia di dunia manakala ketiga hal ini sudah dimiliki. Dan yang paling mutlak harus dimiliki di antara ketiganya adalah seks.”
“Ah lo aja yang mesum, kebanyakan nonton bokep ama coli sih lo, Non,” sergah Doreng.
“Hey, tunggu dulu,” Monon melanjutkan. Lo boleh tajir, atau punya banyak anak buah, tapi kalau lo nggak bisa ngeseks, percuma. Orang kalau nggak bisa muasin istri aja udah pusing minta ampun.” Jadi bagi lo yang miskin-miskin nih, gue saranin perkuat kemampuan seks kalian berdua. Biar nggak sengsara dikemudian hari.”
“Aah, yang penting tajir dulu. Kalau udah tajir, semua bisa dilakuin, termasuk beli obat dan jamu seks terhebat. Mau manjangin atau nggedein penis lo sesuka lo juga bisa kalau udah tajir,” sahut Doreng mulai tak konsisten.
“Hahaha, emang punya lo kecil ya? Hahahaha....” ejek Monon lagi diiringi tawa semua orang di warung kopi itu.
“Sialan lo, mau liat segede apa punya gua?”
“Mana coba kalau berani,” tantang Lanu.
“Ya nggak sopan lah, banyak orang.”
“Alaaaah ngeles mulu, bilang aja kalau kecil. Makanya nih, kalau lo punya duit mendingin lebih dulu dialokasikan buat ngurus abang kecil lo itu. Daripada entar telat,” kata Monon.
Monon menambahkan, “jadi, tetap aja cuy, intinya ada pada seks. Lo tadi bilang kalau udah tajir semua bisa dilakukan, termasuk seks kan. Coba gue tanya, kalau lo tajir, punya kekuasaan atau keberanian dan bisa memiliki dan melakukan semuanya, apakah lo sudah nggak mau bisa ngesek kuat dan hebat. Serta dikagumi para kaum Hawa?”
“Kalau lo berhasil dalam kekayaan dan kukuasaan, otomatis lo akan berusaha hebat dalam hal seksual. Tapi, kalau kekayaan dan kekuasaan lo tak seberapa, asal masih punya kekuatan seks dan bisa memuaskan pasangan lo, itu sudah cukup luar biasa. Intinya memang tetap, hanya di seksualitas. Harta dan Kekuasaan itu Cuma alat, bukan sumber kebahagiaan. Sumber kebahagiaan itu hanya ada di kemampuan seks yang hebat. Makanya, almarhum Mak Erot dulu begitu populer kan?” papar Monon.
“Oke. Kalau lo punya kekuatan seks luar biasa. Sampai bini lo ketagihan tiap dua jam sekali. Tapi lo tak punya keberanian berantem, tetap saja istri lo bakal gampang direbut orang. Apalagi dia sudah lo latih ketagihan seks sejam sekali,” kata Lanu terbahak-bahak.
“Gak bakalan lah coy. Orang bini gua sudah puas sama gue. Mana mungkin dia mau digoda sama lelaki lain?” bantah Monon.
“Ya, kalau ada cowok yang menggoda dan merangsang istri lo, sampai istri lo horny gimana?” timpal Doreng membela Lanu.
“Ya gua hajar tuh cowok,” kata Monon emosi.
“Lah, tapi kan posisi lo di sini sebagai orang yang tak punya keberanian dan kekuasaan?” tanya Lanu dengan senyum kemenangan.
“Kalau sudah terdesak insting bertarung tetap akan muncul Nu,” kata Monon.
“Ya, tapi kamu pasti kalah berantem sama tuh cowok. Karena kamu tak punya kekuatan, kekuasan dan Keberanian. Dan kalau ternyata tu cowok lebih tangguh seksualitasnya ketimbang lo, maka istri lo bakal berpaling sama dia,” tegas Lanu dengan senyum sinis mengejek.
“Tuh kan, tetap seks yang penting,” kata Monon.
“Ya, tapi tanpa keberanian, kemampuan seks lo cuma jadi bahan latihan istri lo. Bukan bahan pertarungan. Dan lo nggak bisa melindungi istri lo dari godaan lelaki berkuasa dan pemberani,” kata Lanu.
“Heh,” Doreng ikut bicara. “Kalau lo punya harta banyak, lo bisa apa saja. Lo bisa bikin rumah yang aman buat keluarga, bisa nyewa bodyguard, nyewa preman untuk ngelindungi lo dan meningkatkan kekuatan seksualitas lo.”
“Kalau bodyguard lo yang macam-macam sama istri lo gimana?” sanggah Lanu.
“Ya tinggal bayar orang untuk ngebantai tu bodyguard. Beres kan?”
“Ah, kalau lo tak punya keberanian juga percuma. Semua anak buah lo bakalan melawan dan menentang lo. Ya paling tidak dari belakang. Sebab kalau dari depan dia takut sama harta lo,” kata Lanu.
“Hey, Lanu. Harta dan kekuasaan itu membuat orang berani melakukan apa saja,” Kata Doreng.
“Belum tentu coy. Kalau dasar orangnya penakut, tetap aja bakal dikibulin banyak orang. Termasuk anak buahnya,” kata Lanu. “Sebaliknya, keberanian bisa mendatangkan kekayaan dan kekuasaan.”
“Tetap saja coy, tanpa seks percuma. Istri-istri lo pada bakalan nggak betah tanpa kemampuan seks lo yang kuat. Harta lo, keberanian dan kekuasaan lo adalah benteng untuk melindungi dan mengembangkan kemampuan seks lo. Jadi, harta paling berharga adalah kemampuan seks yang begitu besar,” kata Monon sambil mengelus-elus isi celananya.
Belum selesai ketiga sobat itu bertarung wacana, warung sudah mau tutup. Tak terasa, jam telah menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Jalanan lengang. Hanya sedikit pemuda duduk melingkar di sebelah kios depan pintu kecil kampus UIN Tangsel. Mereka asyik main kartu. Dan pastinya tak peduli dengan obrolan Lanu, Doreng dan Monon.
Doreng dan Monon kembali ke kosan masing-masing. Sementara Lanu makin ugal-ugalan di jalan malam yang sepi.[MSW Pagar Dewo]
0 komentar:
Posting Komentar