Siapa bilang raga tak hidup tanpa jiwa Tanpa nyawa Di malam menghampar Tak seorangpun tahu Walau perempuan pujaanku Karbon menyudahi iris atas udara Oksigen tidur kelelahan Ruangku mati Saintis filsuf tak bangkit dari kubur berbuku Buruh-buruh jantung giat angkut kilo-kilo darah Di jalan utama pembuluh dan arteri Mereka kedengar gaduh Mengirim cair merah segala arah Telinga tersiksa suara Detak mengeras Darah cecer di jalan Mencipta gemelontang tak keruan Suara itu sungguh berat Mata tak tega jerit telinga Memejam perlahan Tambah dalam Menggelap di antara dada Di sana Jiwa bersandar merangkul lutut Ia bingung Kukunci ruang kutanya jiwa Kenapa kau selalu menyiksa raga Ia bingung Mengapa kau tak konsekwen Ia bingung Apa yang kau butuhkan Ia bingung Sekarang kau mau ke mana Ia bingung Ruang senyap sesaat Tiba-tiba jiwa membuka mata Menatap tajam ke arah raga Katup mulut mulai ternganga Suara kerasnya berteriak Tak jelas Gagap dan cadel “Keluarkan Aku dari dirimu…………..!!!’ Seketika mata raga terbuka Kutuliskan pesan dari tiap jiwamu.
Aku headline Yang terbit sekali Bersandar pekat peristiwa Cuil beling dari beraduannya Gundu-gundu emosi Chaosnya lengking bentakan Bertubruk di udara yang merah Tersingkirkan Sendiri membuang Andai-andai Bisa bersahabat Tentu dendam kupelihara
Aku tanah tandus Bertabur racun sesal Limbah pembuangan Andai-andai Bisa bersahabat Tentu kupupuk hingga menjulang
Benci yang lelah membenci Api di basah sekam Yang tak tega membakar Andai-andai Bisa berteman dendam Tentu menjelma kekuatan besar Andai-andai Hemat kutabung luka
Perjumpan itu memang mistis. Ingatan kita masih bening, saat menyaksikan sosok lawan jenis di kendaraan yang berbeda. Jalan kita berlawan arah. Mungkin karenanya kita berpapasan.
Dalam catatan ini, terpaksa kusebut sebuah nama kota, yang tak indah untuk sajak, syair, puisi atau lirik lagu. Ciputat adalah tempat yang kau tinggalkan kala itu. Mengejar rindu dengan tanah moyangmu. Sedang karena alasan lain, Ciputat adalah tujuanku, dari usaha mengambil citra Taman Kota. Kala itu.
Lakumu di Januari. Sedangku di bulan Mei. Kau duduk di bus antar kota. Aku terjepit di angkutan kota saja.
Berterima kasihlah pada dua raga, pria dan wanita. Berdua mereka jadi perantara sukmaku sukmamu.
Atas deret bangku jajar dua. Arjuna datang senyum padamu. Duduk di samping tawar pinjamkan sebuah buku. Sudah pasti kau tersenyum malu. Tetap dengarkan lagu, dari pemutar musik hadiah ayahanda.
Aku sadar, matamu melirik sesekali. Terkejut arjuna menawarkan makanan ringannya. Laga bodohmu menolak pemberian. Sebab yang kau rasa tak keruan. Hingga mata terpejam. Itu awal sesalmu. Ia pergi tanpa pamit.
Di tempat jauh raga lainnya.
Atas deret bangku angkutan kota. Aku tersudut sendiri. Di himpit perempuan gendut. Seorang nenek membawa ayam dengan bau kotorannya. Keranjang jago itu khas pengadu. Tiga perempuan bersido merah jambu, duduk makin membuatku tersudut. Kuatap kaca belakang. Peluru pandang terkucur di atas aspal.
Namun terbelalak. Wajah kuluruskan. Kita saling berpandangan. Di sudut tepat depanku. Belum pernah kujumpa, perempuan berpunya seranum bibirmu. Kutatap lekat. Mengopi seluruh citra ayu. Hampir overload otak ini. Terlalu besar file yang kusimpan.
Sesekali pupil beradu. Kau gigit-gigit bibir itu. Rambutmu tergurai bagikan pelepah palma [Rendra]. Di kirimu duduk dempet perempuan paruh baya. Cantik kalau dia masih muda. Ia perhatikan gerak mataku. Aku yakin itu ibumu.
Wajah telanjangku salah arah, salah polah. Kubuang tatap di udara yang berisik. Dari balik kaca, jalan mengalir deras. Pohon-pohon menimbun belakangnya.
Kamu ketahuan mencuri pandang. Tapi pintar sekali, kau hanya menggigit bibir mungil itu.
Ciputat selesai di pasar. Kau turun di bekas Bioskop Niagara. Kutemukan sehelai mawar merah jambu. Di bawah tempat dudukmu. Aku belum turun. Di balik jendela kulihat kau gerai-gerai rambut itu. Doaku semoga kita kan bertemu.
Di Ciputat sebenarnya.
Pria dan Perempuan Itu Tak Ada.
Hanya Aku Dan Kamu
Di balik selangkang rimbun keramaian, kuhampiri seorang perempuan. Dia sobatku. Dikaitkan konsep metafisika, dia juniorku. Itu tak penting. Sejak dua tahun lalu aku menarik diri dari bisingnya sistem organisasi. Aku menemuinya sebagai teman. Meski obrolan kami sedikit menyinggung masalah organisasi. Ya, kadang kita terpaksa secara defakto mengakui heirarki itu.
Sampailah congor kami membilang kesendirianku, akibat penarikan diri dari keramaian. Ia berujar, “tapi kamu mendapatkan kebebasan? Di sana kamu bebas mengembangkan dirimu tanpa terbelenggu ini dan itu.”
“Sebagian manusia merindukan kebebasan yang telah terampas oleh sistem-sistem besar internasional maupun lokal. Tapi sebagian lain linglung serta kehilangan arah dalam cakrawala kebebasan. Setelah tembok pengekangan runtuh, tersisa pagar penjara yang bergitu luas tak terbatas hingga tak kasat mata. Pagar itu merupakan batas kebebasannya. Ia tak tahu di mana batasan langkahnya. Semua tempat singgah bukanlah saung yang nyaman, melainkan hamparan tak bertepi,” paparku.
“Apakah kau seperti itu? Bagai bumi lepas dari gravitasi matahari. Terombang-ambing di jagad buana yang gelap gulita? Dan hanya kelip-kelip bintang kau temui, yang tak sanggup menerangi?” tanya sobat perempuanku.
“Kadang demikian. Saat sadar lagi aku bersyukur atas itu. Tapi nyatannya kebebasanku belum penuh. Masih ada sekat penghalang mata guna menatap ketakterlihatan batas kebebasan. Salah-satunya keluarga atau orang tua. Walau mereka tak pernah menuntutku. Namun perasaanku belum bebas. Aku merasa tak enak. Kau tahu itu. Mereka akan bangga melihatku sukses. Dan standar sukses mereka adalah standar nasional, mungkin bahkan internasional. Yaitu suskses dengan jabatan tinggi dan uang yang melimpah. Kau tahu, aku berasal dari keluarga dengan ekonomi pas-pasan. Menurut standar internasional keluargaku belum mapan.”
“Lalu sekarang apa yang kau rasakan?” tanyanya dengan gaya reporter.
“Sendiri. Aku semakin jauh dengan fondasi yang aku bangun dulu. Sebelum aku menarik diri, menara suksesku seperti tinggal menunggu. Semua itu kini hanya menjadi fatamorgana.”
“Aku tahu alasanmu menarik diri,” tukasnya sok tahu.
“Ya, kamu tahu itu. Tapi jangan merasa kau tahu sepenuhnya. Itu terlalu gegabah, dan menyinggung perasaanku.”
“Bisa kau katakan alasan yang belum kuketahui?”
“Tak semua. Ini privasi. Tapi baiklah, salah-satunya karena aku sangat menghargai ketegasan. Ketegasanku diuji waktu itu. Aku memilih menarik diri. Aku merasa sudah kuat menjalani hidup baru. Ada beberapa komunitas yang mengharapkan keberadaanku. Komunitas-komunitas itu sebagian ada di bidang yang sama dengan organisasi kita. Beberapa lainnya jauh berbeda.”
“Kamu menyesal? Dan apakah kamu saat ini merasa lemah?”
“Tidak. Eh, kadang-kadang ya. Saat-saat aku merindukan kebersamaan, romantisme, keguyuban, pertengkaran dan sebagainya. Kau bisa bayangkan bagaimana aku bertengkar, bercanda dan sebagainya tanpa komunitas? Ya seperti itulah aku. Mungkin titik ini adalah titik nol. Angka yang menjadi lambang ketuhanan. Sebab nol tak bisa dibagi. Komputer, kalkulator dan alat hitung apapun akan eror jika berani coba membagi angka nol. Angka ini adalah simbol ketakberhinggaan, kekosongan yang sempurna.”
“Aku kurang menangkap apa yang kamu bicarakan? Dan bukankah Tuhan itu disimbolkan angka satu?”
“Bukan. Angka satu masih bisa dibagi. Angka satu lebih cocok menjadi simbol utusan Tuhan yang menyelamatkan umat manusia. Itu pendapat yang kuyakini saat ini. Karenanya, kamu tak usah bertanya alasan dan penjelasannya. Urusan keyakinan tak bisa dan tak mau kau debat dengan rasio. Ia punya logika sendiri. Sebuah logika yang tak bisa dilogikakan. Asal kamu tahu, saat ini juga kamu menggunakan logika tertentu dalam pertanyaan-pertanyaan yang kau ajukan padaku. Perlu kamu ingat juga bahwa logika bisa dibuat. Logika yang dibangun Aristoteles sangat relevan untuk jaman dan konteks wilayah tertentu. Tapi di abad modern logikanya dikritik habis-habisan.”
“Tapi tak bisa begitu juga dong. Bagaimana aku bisa menerima pendapatmu jika tak sesuai dengan logikaku?”
“Aku tak memintamu untuk menerima.”
“Ya setidaknya untuk memahami bahwa ucapan dan tindakanmu tidak salah menurutku.”
“Aku juga tak memintamu untuk paham dan membenarkan ucapan dan tindakanku. Itu hakmu. Terserah kamu. Toh dunia akan tetap ada tanpa aku, tanpa kamu, bahkan tanpa manusia. Kalau kamu benar-benar ingin memahami, lakukan itu dengan cinta. Cinta adalah contoh paling dekat untuk menjelaskan ketidakrasionalan. Apa alasanmu mencintai Syakur? Apakah dia lebih baik dan lebih bagus serta lebih segalanya dari Bonie? Kenapa kamu dulu menolak Bonie yang mengejarmu tak kenal henti? Kamu risih dengannya? Kenapa risih? Apa yang kamu butuhkan dari seorang lelaki atau pacar? Pertanyaan ini tak ada habisnya. Terus berkelanjutan. Intinya kamu bisa menerima seorang lelaki itu dengan segala kelebihan dan kekurangannya, walau memang tak sesederhana ini penjelasannya. Sampai saat ini juga bermilyar-milyar orang percaya adanya Tuhan. Masing-masing banyak yang merasa paling benar. Mereka mengguggat atau memertanyakan ketuhanann orang lain dengan akal. Padahal mereka sendiri sering kehabisan akal untuk menjelaskan Tuhan mereka sendiri.”
“Aku tetap tak menerima sesuatu yang tak masuk dalam logikaku.”
“Ohya? Menurutmu Syakur sudah perfect dari seluruh lelaki di dunia ini? Atau kamu sudah tak mungkin mendapatkan lelaki sempurna sesuai dengan akal dan persaanmu?”
“Tak ada lelaki sempurna di dunia ini.”
“Bukan hanya lelaki, tapi semua. Karena segala yang ada di dunia ini tengah ‘menjadi’. Jika kau menganggap logika berfikirmu paling benar, itu berarti kau telah mati. Memang kau merasa pasti. Namun kepastian adalah kematian. Hidup adalah proses menjadi. Terus bergerak dan tak ada kepastian. Jika kau merasa paling benar, maka kuucapkan selamat menikmati kebenaranmu. Dan kau takkan menjumpai kebenaran-kebenaran lain sebelum kau membuka diri pada kedatangan ketakpastian yang tak jelas kapan dan di mana ia akan menghampirimu.”
Aku menyerah. Kubebaskan kau menilai. Silakan hina, puja, sanjung atau caci aku. Aku tak peduli. Mungkin benar aku tlah tersesat. Tapi apa kau peduli dan rela menjemput lalu mengantarku ke jalan Semula?
Kalau keberatan tak apa. Biar kujalani sendiri, di sini. Kukumpulkan sisa-sisa porakporanda jejak jalanku. Kujadikan bangun fondasi menara masa depan. Di ujung sana, akan aku daki langit. Berjumpa Tuhan, Kebenaran atau apalah namanya.
Kepada semua lelaki dan perempuan yang telah kukenal dengan guratan semi permanen di hati. Ku tahu kalian cinta aku. Buat para cowok, jangan salah sangka dulu. Dalam hal ini aku ‘normal’. Artikan cinta seluas mungkin, biar kalian tak mau maho denganku.
Tapi jiwaku benar-benar rumit. Satu per satu darimu hanya menyaksikan sisi terang yang tampak saja. Itu bukan aku seutuhnya. Sisi lainnya merupakan sumber sinar terang hingga tak kau lihat. Aku yakin, psikolog atau psikiater kelas dunia nomor wahid pun tak mampu memahami jiwaku.
Jiwaku adalah jiwa dari pertaruang saling serang sinar-sinar maha dahsyat. Aku silau menatapnya. Aku benci menyapanya. Tapi selalu rindu bersama jiwa.
Ya, aku sering hidup tanpa jiwa. Langkahku langkah raga biologis. Jiwaku tertempel di langit bersama awan. Itu sering terjadi.
Kalau benar demikian, lalu siapa yang menulis note ini? Mungkin kesadaran, mungkin juga tanganku saja yang iseng, tiba-tiba ngetik di depan komputer. Yang jelas bukan jiwaku. Karena aku sedang membicarakannya. Pastinya, aku yang menulis.
Aku dan jiwaku adalah dua hal yang berbeda. Aku sering menyaksikan jiwaku penuh emosi memberontak marah-marah dan sebagainya. Kadang ia seperti pamer padaku kalau sedang bahagia. Jiwaku sering duduk merenung sendiri, lalu tertawa. Tak ada orang yang mampu melihatnya, kecuali aku.
Oke. Aku terima semua keporakporandaan ini. Porakporanda akibat pertempuran sisi-sisi jiwa. Coba kau rasakan bau mesiu dan asap serta radiasi nuklir jiwaku. Pertempuran ini telah selesai. Sisi-sisi jiwaku berdamai. Anggap saja tulisan ini sebagai NOTA KESEPAHAMAN JIWA.
Aku bersama sisi-sisi jiwaku, yang sebenarnya satu, melangkah fokus membangun menara untuk menggapai singgahsana Kebenaran. Kalau ada yang minat ikut, aku sangat bahagia. Tapi bagi yang nggak mau, karena takut aweng-awengan di ketinggian, tak apa-apa.
Galing-Galing mulai terganggu dengan pikiranku, yang tetap tertuju pada perempuan itu. Obrolan yang kami bangun serasa tak bernyawa. Lalu kuajukan tanya pada Galing-Galing, “Gimana kalau aku nembak (menyatakan cinta) perempuan itu?”
Galing-Galing mengiyakan dengan kerlingan mata. Tak lama ia beranjak meninggalkanku sendiri. Satu-satu kerumunan di kantin ini menghilang. Bangku dan meja gemelontang. Angin siang terlampau kasar membelai aksesoris Kanshul (Kantin Ushuluddin).
Aku heran, kemana perginya orang-orang? Adakah kejadian di luar yang menyedot perhatian massa? Ah, apa peduliku. Kucoba menerima ini sebagai mu’jizat, walau aku bukan nabi sekalipun palsu.
Dengan sigap, pupil mataku menangkap sosok perempuan berparas manis, nggak terlalu cute dengan penampilan minimalis. Ia duduk sendiri di bangku yang masih gemelontang. Aku berani menyapa dia.
“Hai,” sapaku. Ia cuma tersenyum.
“Kok sendirian?” tanyaku. Aneh, lagi-lagi dia cuma senyum melirikku dan kembali menulis SMS. Oh, bukan SMS tapi komentar di FB. Ponselnya BB bajakan, tapi cukup nyaman buat FB-an.
“Hey, aku mau bilang sesuatu. Perhatikan dong..!!!”
“Apa?” tanyanya mengangkat muka.
“Nah gitu dong, dari tadi kek. Jadi begini, aku cuma mau bilang bahwa Aku Tulus Cinta dan Sayang kamu. Bagiku kamu cukup. Aku tak ingin perempuan selainmu.”
Kusaksikan tatapannya fokus ke beranda mataku. Ah, tapi sepertinya bukan. Itu bukan tatapan fokus. Dia shock. Diam tak bergerak pucat pasi. Telapak tangannya tegang mencengkeram BB. Cemarinya tak berkutik. Kini aku sadar, matanya kosong.
“Eh, aku cabut dulu ya, keluar kampus,” aku berdiri pamit sambil mencubit lengan kirinya yang tegang.
Seiring langkahku, satu per satu mahasiswa kembali memenuhi meja dan area kantin. Dua puluh meter jarakku, Kanshul penuh dan ramai kembali. Suara tawa dan jeritan membahana sampai kupingku.
“Hah...!!!, jeritan?! Ada apa di sana?’ pikirku sejenak menoleh ke Kanshul.
Tampak tiga perempuan dan dua laki-laki mengerubungi perempuan yang baru ku tembak tadi. Aku balik mendekati Kanshul. Jarak sepuluh meter aku berhenti. Tepat di tempatku dengan Galing-Galing sebelumnya.
Semua mata mengarah ke sana. Sayup-sayup kalimat menyela keriuhan jatuh di kupingku. Perempuan itu kesurupan. Kok bisa? Aneh.
Empat orang dengan payah membopongnya menuju ruang dosen. Aku masuk dalam kerumunan, membuntuti pembopongan. Sampai di ruang dosen, aku dan puluhan mahasiswa lainnya menunggu di depan pintu penasaran.
Setengah jam berikut, perempuan itu keluar dengan wajah lesu linglung, namun sadar. Seorang cowok, yang kuyakin pacarnya dan dua mahasiswi mendampingi. Disusul kemudian dosen yang mengobati cewek tadi. Insting jurnalisku berdiri. Kuhampiri dosen itu tanpa sungkan.
“Ada apa pak? Kenapa perempuan itu?” tanyaku. Pak Dosen menghela napas sejenak.
“Dia kesurupan,” kata Pak Dosen mengusap keringat di dahinya.
“Kesurupan? Kesurupan jin maksudnya pak?”
“Bukan,” jawab dosen itu membuatku tambah bingung.
“Lalu kesurupan apa pak? ”tanyaku lagi dong.
Dosen itu tak segera menjawab. Ia menghela napas dalam-dalam, seperti mengumpulkan tenaga ekstra.
Akhirnya sampai juga di Lampung. Di kampung halaman, aku tak segera menuju rumah. Capai dan panasnya pantat memaksaku berdiam lebih lama di rumah Vian (Sepupuku yang mudik semotor denganku). Empat kali bocor ban dalam perjalanan malam dari Bekasi – Lampung membuat lelah tak karuan. Kenapa ban sampai bocor empat kali? Mungkin aku dan Vian terlalu berat karena banyak dosa dari Jakarta.
Ayah Vian, Pakde Muridan, adalah orang pertama yang menyambutku dengan sebuah tanya, “Kamu di Jakarta kok malah tambah item dan berantakan? Biasanya kan orang dari kota bersih-bersih dan putih?” Aku hanya menjawab, “masa sih Pakde?”
Sampai di rumah, bersalaman dengan mama. Beliau mencium pipi kanan kiriku. Usai itu aku menjadi orang paling menyesal dan sedih tiap kali hendak mencuci muka. Aku sedih ketika harus membasuh bekas ciuaman ibu di wajahku. Alhamdulillah Ibu tak menyuruhku potong rambut. Ia pun sama sekali tak mengomentari kondisi dan penampilanku.
Hari-hari berikutnya aku bertemu satu persatu teman, tetangga dan sanak saudara. Pamanku Zaini datang saat aku tidur siang di depan pesawat TV. Aku terkejut. Ia menarik gelang di tangan kiriku. “Wiiieeetsss...,,, jadi preman di Jakarta. Coba lihat rambutnya, wiiiiihhhhh gondrong... mau niru siapa ini...,” kata Paman Zaini dengan senyuman.
Aku juga menyambutnya dengan senyum ramah. Aku tahu dia hanya bercanda. Dia tak tahu betul filosofi gelang dan rambut gondrongku.
Disuruh Jadi Bintang Film
Di hari lebaran, aku semakin banyak mendapat komentar dan tanya. Tentang rambut, kurusnya badanku, gelang, muka yang kurang bersih dan hitam, serta keberadaanku di Jakarta.
“Pacarnya mana? Kok nggak dibawa pulang?” tanya nenek dan beberapa tetanggaku. “Kuliahnya belum selesai? Sudah punya cewek belum? Buruan nikah, biar ada yang nempatin rumah dan mengurus masjidnya.”
Seputar itulah tanya mereka. Tapi ada satu komentar yang beda. Itu keluar dari mulut suami budeku. Pakde Marzuki namanya. “Udah kadung (terlanjur) di Jakarta, sekalian cari-cari celah agar bisa main sinetron atau main film.”
Kalimat itu ia ulang tiga kali dalam waktu dan tempat bertemu yang berbeda. Di rumahku, di rumah nenek dan di rumahnya.
Maafkan Aa Honey...
H+7 aku berangkat kembali ke Jakarta. Ciuman Ibu kembali mendarat di kanan kiri wajahku. Pukul 09.30 aku dan Vian kembali menarik gas motor. Sebuah rasa sesal tiba-tiba singgah di hati. Sesal karena tak sempat mampir ke Teluk Betung untuk beli dodol duren, Lempok, kripik pisang coklat, kemplang dan oleh-oleh khas Lampung lainnya. Maafkan aku wahai perempuan yang kupuja siang malam. Hingga kini ku belum memberi yang terindah, terbaik dan terenak untukmu. Kebahagiaan kita pasti nyata.
Sakit Hati Yang Nggak Pas
Di tepi lain, sesal melanda karena tak sempat bertemu kawan-kawan Pers Mahasiswa di UNILA. Ada kenangan dan harapan tertinggal di sana. Ya sudahlah mungkin lain kali, pikirku.
Tapi takdir menjawab. Di Bandar Sribawono, di sebuah Pom Bensin Pertamina, aku melihat sosok yang tak asing. Tapi tubuh dan wajah serta penampilannya agak beda dengan yang kukenal dulu. Benarkah dia Hendi, yang dulu sempat mencomblangiku dengan Dui Setiani tapi malah akhirnya mereka berdua yang jadi pacaran?
Aku tak yakin mau menyapanya. Kuamati terus pria itu. Siapa tahu benar Hendi. Siapa tahu dia melihatku dan ingat pada orang ganteng ini. Ujung helm sampai sepatu hitamnya telah lengkap kupandangi. Tapi ia tetap tak merasa kuperhatikan. Ingin kupanggil, tapi masih ragu. Hingga ia membuka dompet hendak membayar bensin, aku baru yakin bahwa dia Hendi. Pasalnya, di dompetnya melekat sebuah foto cewek cantik, tomboy dan manis. Tipe gue banget. Ya itu gambar Dui Setiani.
Seketika sakit hatikuv menyeruak. Entah kenapa aku juga tak tahu. Benarkah aku masih cinta pada Dui? Padahal aku dan dia cuma beberapa menit sempat bertatap muka. Itupun tiga tahun lalu. Kita juga belum sempat jadian. Dulu kubiarkan Hendi mendapatkan Dui karena aku teleh punya perempuan di Jakarta. Tapi semua sudah berlalu. Biar kusapa Hendi.
“Hen..!!! Hendi kan? Gue Wibowo, Pagar Dewo...”
Mendengarku ia menoleh. Diam menatapku sesaat dan mengucap istighfar. Kami betukar kabar. Tak kuduga, dia jago nebak. Melihat rambut gondrong dan sandal jepitku, ia tahu aku belum lulus. Sementara dia sudah kerja di sebuah kantor di Bandar Lampung. Pagi itu ia tengah ingin berangkat kerja. Kebetulan Hpku mati, tak sempat mencatat nomornya. Tapi dia mencatat nomorku. Akhirnya kami berpisah. Dia berangkat kerja, aku berangkat kuliah ke Jakarta.
Di jok motor yang membuat pantat teposku panas, akalku terus bekerja menenangkan jiwa. Berusaha ikhlas menerima masa lalu yang belum kutemukan benang merahnya dengan masa kini. Baru di atas kapal, kubisa menerima dan menghilangkan sakit hati. Ya memang tak tepat kalau harus sakit hati pada masa lalu. Semestinya aku tersenyum menatap masa depan. Hendi, Dui, semoga bahagia iringi langkah kalian berdua. Percayalah, aku ikhlas kok. Jadi jangan ada rasa tak enak denganku. Kita tetap kawan, kita tetap sahabat dan saudara. Oke...
Cewek Idaman Masa Kecil.
Di perjalanan balik ini, Dua orang teman sekampung Vian turut serta. Di atas kapal, ketiganya menghiburku dengan cerita masa kecil. Cerita yang menghibur? Tentang apa? Tentu saja tentang perempuan. Kami kan lelaki.
Kampung Vian berjarak 1km dari desaku. Zaman mereka kecil, ada perempuan yang menjadi bunga desa. Namanya Peni. Sekarang sudah menikah. Vian dan kedua temannya termasuk ABG yang dulu tergila-gila pada Peni. Vian menuturkan, Peni adalah cewek idaman masa kecil. Kalimat yang sering terlempar dari pemuda untuk Peni waktu itu adalah, “Beeehh mbak Peni, kamu kok cantik banget. Aku rela kalau harus minum (maaf) air senimu.”
Bersih Dari Dosa
Aku tertawa mendengar itu. Hahahahahahahahahahahaha. Dan alhamdulillah, pukul 21.00 aku tiba di Tangerang. Sowan di rumah saudara. Di jalan balik ini, motor yang kukendarai bersama Vian tak mengalami bocor ban atau hambatan lain, seperti saat pulang mudak sebelumnya. Mungkin karena habis lebaran, idul fitri jadi kami kembali suci seperti terlahir kembali. Makanya, ban motor membawa kami tanpa beban.
Minggu siang [29/8/2010], aku sendiri tak ada kerjaan. Tak ada kawan yang datang. Menanti waktu berbuka di kamar tercinta.
Aku lupa pemicunya apa, tiba-tiba ingin menyebarkan semangat Yapentush ke semua kawan di HP. Kebetulan provider nomor selulerku memberi bonus 100 sms ke semua operator. Akhirnya buru-buru kurangkai kata.
“Indonesia membutuhkan pemikir yang paham bangsa sendiri. Perubahan selalu bertolak dari pemikiran. Jangan selamanya mau jadi konsumen dan didikte oleh pemikiran bangsa asing. Salam YAPENTUSH”
Beberapa balasan masuk ke inbox HP-ku. Ada yang memforward tulisan tadi, ada yang bertanya ‘sapa nih?’ karena kebetulan nomorku terhitung belum lama ganti. Sehingga wajar jika ada yang belum tahu nomorku.
Selain itu terdapat balasan berindikasi tawa ‘hehe’, ada pula yang bernada semangat seperti kata ‘siap!’. Dan satu yang beda adalah jawaban dari Husni, alumni jurusanku, Aqidah Filsafat UIN Jakarta. Dia membalas smsku dengan sebuah tanya,
“Di bawah langit ini siapa sih yang luput dari cahaya matahari?”
Ini balasan yang paling berkesan, karena paling beda dari lainnya. Dan memang, sebelumnya aku sempat ragu untuk mengirim pesan singkatku padanya.
Aku tak langsung membalas sms-nya. Memori HP-ku yang jadul, Nokia 3315 tak cukup menyimpan banyak pesan. Aku sibuk menghapus laporan di inbox.
Setelah laporan-laporan di inbox-ku reda, seketika timbul kata dalam otakku, sebuah jawaban untuk Husni. Mungkin kurang tepat bagi kalian atau juga Husni. Tapi bagiku, hingga tulisan ini kuketik pukul 00.42, jawabanku masih pas. Oke, biar jelas kutulis ulang sms tanya Husni yang merupakan respon dari sms yang kusebarkan.
“Di bawah langit ini siapa sih yang luput dari cahaya matahari?”
Jawabku adalah:
“Malam”
[Tulisan ini selesai diketik, Senin, 30-8-2010 Dini Hari]
INDONESIA, menemui titik kebangkitannya pada tahun 1980an. Ini ditandai dengan berdirinya Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (Ushuluddin) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Di fakultas ini, mahasiswa memelajari berbagai disiplin ilmu tentang ushuluddin atau dasar-dasar dari agama dan spiritualitas, serta filsafat, yang merupakan induk dari segala ilmu pengetahuan.
Karena itulah mengapa hingga kini, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat telah menghasilkan sarjana-sarjana berkualitas dari segi kepribadian, intelektualitas, spiritual dan memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi. Alumni-alumni IAIN/UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang sukses dan menjadi tokoh besar, umumnya berasal dari Ushuluddin.
Berbeda dengan fakultas dan jurusan lain di Indonesia, Ushuluddin tak memenjara manusia dengan mencetak sarjana tukang. Tidak ada spesialisi kerja yang dibebankan pada lulusan Ushuluddin. Karena itu, setiap manusia Ushuluddin bebas menentukan masa depannya sendiri, memilih apa yang mereka minati dan merealisasikan apa yang mereka mau.
Mungkin ini kedengarannya terlalu mengawang dan sedikit absurd. Tapi itu bagian dari pendidikan yang ada di Ushuluddin. Mahasiswa Ushuluddin tak dibiarkan instan dan manja. Sebaliknya, Ushuluddin menggembleng mahasiswa supaya mandiri dan mampu menentukan nasibnya sendiri. Oleh karena itu, cuma orang-orang tertentu dan berkemauan kuat serta ambisiuslah yang mampu menerima pendidikan di FUF.
Itu semua terkait dengan kebebasan. Ini adalah fitrah manusia. Manusia berbeda dengan tumbuhan atau binatang, yang segala kehidupannya seragam dan telah ditentukan dari awal. Manusia punya cita-cita dan harapan. Dalam memerjuangkan kehidupannya, manusia harus kreatif. Tak mentah-mentah menelan yang ada, sebagaimana hewan dan tumbuhan. Bagi manusia, semuanya harus diolah, dipikir, dirasa dan dikembangkan. Dari situ, tercipta berbagai kemungkinan-kemungkinan baru. Selanjutnya, terwujudlah proses penciptaan yang terus menerus menuju kesempurnaan.
Demikianlah, Ushuluddin sangat manusiawi. Hal sesederhana ini saja bisa membedakan Ushuluddin dengan fakultas lain, yang tentunya sangat tidak manusiawi. Bicara kemanusiawian, apa yang dipelajari di Ushuluddin pun selaras dengan hal itu. Contoh kecilnya adalah masalah ketuhanan, kehidupan, tujuan penciptaan atau kehidupan sendiri dan sebagainya.
Semua itu merupakan pertanyaan-pertanyaan asasi yang pasti ada di benak manusia. Setiap anak manusia, tak mungkin tidak menanyakan hal itu. Tak mungkin pula pertanyaan ini terjawab hanya dengan mengikuti rutinitas konvensional. Kehidupan manusia bukan sekadar lahir, kecil, dewasa, sekolah, kuliah, kerja, kawin, punya anak dan kecil lagi, begitu seterusnya, Terdapat hal besar di balik itu semua. Ini tak mungkin mampu terpikirkan oleh mahasiswa Fakultas Pendidikan, Komunikasi, Ekonomi, Saint maupun Ilmu Sosial dan Politik. Dan itulah kenapa, rata-rata alumni Ushuluddin atau yang berjiwa Ushuluddin selalu tampil jadi pemimpin.
Perlu dipahami bahwa Ushuluddin bukan hanya berdiri sebagai fakultas yang khusus ada di UIN, IAIN, Perguruan Tinggi Agama atau Theologi. Lebih dari itu, Ushuluddin adalah ruh atau semacam spirit, yang menyebabkan raga kita hidup. Manusia bukanlah apa yang tampak dari raga, melainkan dibaliknya, yang membuat raga itu bergerak, berfikir dan bertindak. Itulah Ushuluddin. Ushuluddin adalah kekuatan tak kasat mata, yang bisa diterima oleh manusia yang menggunakan akal dan terbuka hatinya. Sehingga untuk menjadi manusia unggul tak harus berstatus Mahasiswa Fakultas Ushuluddin, melainkan cukup dengan mengintegrasi nilai dan semangat Ushuluddin dalam diri. Tokoh-tokoh seperti Nabi Muhammad, Soekarno, Che Guefara, Galileo, Einsten, Newton dan sebagainya adalah contoh dari manusia yang memiliki jiwa Ushuluddin.
Di MTs, aku menyukai seorang siswi bernama Desiana. Perjumpaan kami terjadi saat MOS. Namun cintaku bertepuk sebelah tangan. Ia hanya menganggapku teman. Lagipula sainganku berat, yakni seorang Siswa Madrasah Aliah di lembaga dan kompleks sekolah yang sama. Aku harus mundur. Selain itu, faktor yang menghalangiku adalah pemisahan jam sekolah. Kelas I ada enam kelas, A-F. Kelas D-F adalah kelas dengan jam belajar siang, mulai pukul 13.30 hingga 17.45. Sedangkan aku, terpilih masuk di kelas unggulan I A, yang pasti masuk pagi. Halanganku bertambah karena sainganku yang juga baru masuk kelas I MA masuk di jam belajar siang hari. Terputuslah harapanku. Cintaku terkatung-katung. Tak ada seseorang yang nyantol di hatiku.
Di MTs ini, aku adalah seorang aktivis pramuka di MTs-ku. Pada libur kenaikan kelas III, aku bersama para anggota pramuka lain mengikuti lomba lintas alam dan halang rintang, yang diadakan oleh Saka Bayangkara. Gugus Depan MTs-ku Pasukannya, yang terbagi dalam lima kelompok. Aku menjadi Pinru dengan lima personel termasuk aku.
Dalam perjalanan lomba, kami tersesat di sebuah bulak panjang. Kami semua kebingungan. Tak ada yang membawa Hp waktu itu. Di situlah aku bertemu dengan seorang bernama Ari Kurnia Sari. Aku memerkenalkan diri padanya bukan dengan namaku sebenarnya. Waktu itu Cuma ingin gaya-gayaan. Kubilang padanya namaku Feri. Memang sih, dulu waktu MTs, kata teman-teman tampangku mirip Feri pembawa acara Tralala-Trilili bersama Agnes Monica kecil.
Beberapa panitia mengetahui ketersesatan kami. Kira-kira ada 10 regu yang tersesat bersamaku. Setelah mendapatkan petunjuk ke jalan yang benar dan sesuai dengan rute, aku dan Ari terpisah. Apalagi habis ini, libur panjang menyambut. Sudahlah, aku hanya bisa berharap pada tuhan atas jalinan kasihku dengan Ari Kurnia Sari. Dan aku masih menyimpan betul wajah ayunya. Mirip Nia Paramitha waktu muda. Cakep kan??? Hahahah.
Libur panjang berakhir. Kelas III MTs ada perombakan kelas. Semua siswa-siswa bandel masuk karantina di kelas III F. Aku tetap di Kelas A, tempatnya siswa berprestasi dan berkelakuan baik. Di kelas inilah, aku kembali bertemu Desiana. Tapi cintaku sudah tak ada padanya. Meski aku masih mengakui dia cantik sekali. Saking cantiknya, sampai tak ada satupun artis Indonesia yang mirip dia. Aku dan Desiana berteman baik. Dia anak Lampung asli. Akupun juga gaul bersama teman-temannya.
Suatu hari ketika jam sekolah berakhir, aku berencana langsung pulang. Kutuntun sepeda Janky-ku keluar gerbang sekolah. Saat itulah, mataku terbelalak. Aku melihat Ari Kurnia Sari bersama Desiana dan kawan-kawan.
“Eh, itu Feri kan?” tanya Ari kepada Desi.
“Mana?” tanya balik Desi.
“Itu,” Ari Kurnia Sari menunjuk ke arahku.
“Bukan, itu Bowo teman kelasku,” jawab Desi mantap.
“Itu Feri. Aku kenalan sama dia waktu lomba kemarin,” kata Ari yakin.
“Yeee, dibilangin nggak percaya, itu Bowo. Aku sama dia sekelas.”
Akhirnya Desiana memanggilku. Aku menghampiri mereka.
“Kamu Feri kan?” tanya Ari.
“Bukan, aku Bowo,” jawabku mesam-mesem.
“Tapi kita pernah ketemu waktu lomba lintas alam itu kan?,” tanya Ari penasaran.
“Iya, kamu Ari Kurnia Sari kan?”
“Iyalah, huh dasar, namanya Bowo juga ngaku-ngaku Feri,” kata Ari dengan senyum.
“Hehehe, biar keren aja.”
Sejak hari itu, aku sering mendapat salam dari Ari yang ia titipkan lewat Desi and the genk. Kabar aku dan Ari pacaran pun menyebar ke dua sekolah, MTs dan SMPN, sekolahnya Ari.
Aku juga heran, kenapa gosip antara aku dan Ari berpacaran cepat menyebar luas. Padahal aku belum menyatakan cinta padanya. Cuma aku pernah mengutarakan ini pada Desi dan teman-teman. Begitupula Ari, Lewat Desi dkk, ia menyuruhku segera menembak hatinya.
Tapi beberapa minggu berlalu aku belum berani menyatakan cinta. Padahal aku mengalami perasaan yang amat berbeda dan sangat spesial terhadap Ari Kurnia Sari. Lagi-lagi entah kenapa, aku masih ragu. Benarkah cewek secantik Ari Kurnia Sari mau kepada cowok kecil, kurus dan legam sepertiku?? Pertanyaan itu terus terngiang-ngiang di benakku.
7 November 2000, saat aku ulang tahun, Ari memberiku sebuah kado pulpen dengan tinta wangi, yang beberapa saat kemudian pulpen semacam itu dilarang pemerintah. Pasalnya, ada beberapa oknum yang menyebarkan narkoba. Pulpen itu tetap aku simpan. Aku suka menciumnya, serasa mencium Ari Kurnia Sari, yang memang mirip dengan Nia Paramitha waktu muda. Saat itu aku jadi nge-fans sama Nia Paramitha.
Tekadku sudah bulat pada 3 Desember 2000. Aku telah siap menyambut cinta Ari dengan sebuah pernyataan yang kupikir matang-matang. Hari itu adalah hari ulang tahun Desiana. Semua teman-temannya diundang dalam pesta, termasuk aku dan Ari. Aku berfikir, inilah saat tepat untuk kuutarakan cintaku. Mungkin seusai pesta Desi, ya seusai pesta akan kuajak Ari ke tempat yang nyaman, lalu kutembak hatinya.
Aku datang membawa kado untuk Desi. Wajahku berbunga-bunga, meski aku agak telat datang ke pesta. Aku datang bersama saudara cowok sepupuku, yang juga termasuk Desi’s Genk.
Sampai di sana, pesta telah mulai, tapi belum tiup lilin. Saat kutatap wajahnya, Ari berpaling muka. Tampak sebuah kesedihan atau kebencian aku tak bisa membaca rautnya.
Tak lama, Lia mendekatiku. Dia adalah salah-satu cewek dalam genk Desi yang cukup dekat denganku.
“Ari penghianat Wo,” kata Lia lirih. Kulihat Desi memerhatikanku. Ari menuju ke belakang, seperti menangis. Lia sinis menatapnya.
“Kenapa? Ada apa ini? Tanyaku penasaran.
“Dia balikan lagi dengan Adi. Ari dan Adi itu sudah pacaran sejak kelas III SD. Mereka putus nyambung, putus nyambung. Dan kamu kemarin hanya menjadi tempat pelarian Ari. Dia sengaja menyebarkan gosip kalian sudah jadian, untuk manas-manasin Adi. Tapi ya sudahlah Wo, masih banyak cewek lain yang lebih baik dari dia,” Lia menutup pembicaraan. Pesta akan dilanjutkan dengan joget bersama..
Panitia mengundi antara cowok dan cewek untuk berdansa. Dan curangnya panitia sengaja mengatur agar aku dan Ari menjadi pasangan dansa. Ah, ini benar-benar menyebalkan.
Aku pulang dari pesta Ultah Desi dengan suasana hati kacau. “Ari, kenapa kau menipuku. Kenapa kalau memang hanya untuk bikin panas Adi, kamu dulu seperti sangatkan mengharapkan cintaku. Aku memang sejak awal cinta kamu. Tapi dulu tak ada keinginanku menjadi pacarmu. Aku hanya ingin bersahabat saja. Karena aku tahu siapa aku. Tapi harapanmu padaku yang begitu tinggi, membuatku ingin mendeklarasikan cinta kita. Dan ketika kudatang, kau ternyata pergi menipuku,” begitu hatiku berkata dulu. Ah... memang monyet dasar cinta, cinta monyet...
Sampai saat ini, belum ada luka yang sama dari yang kurasa pada Ari Kurnia Sari. Mungkin karena zodiak kami cocok. Aku scorpio, dia aquarius. Kini ia telah memiliki seorang anak dan menjadi Guru di MTs-ku. Sementara aku masih bergelut dengan bangku kuliah di UIN Jakarta. Kami sudah terpisah kurang lebih 10 tahun tanpa komunikasi... apakah dia masih ingat aku? aku tak tahu... ya sekarang berteman sajalah kalau ingat.. ya nggak