Minggu, 18 Juli 2010

Cinta Monyetku Kandas Karena Orang Tua


Special Post Theme "Cinta Monyet"
Cinta monyetku yang ini lebih jelas daripada kisah sebelumnya. Sebab ini terjadi ketika usiaku menginjak enam tahun. Pada masa itu, aku iri melihat kawan-kawan masuk sekolah. Tapi keirian itu tertahan. Ibuku belum mau mandaftarkan aku ke sekolah. Alasannya, beliau takut aku belum mampu.
Dalam kondisi demikian, aku hanya bisa bertanya pada teman-teman tentang apa yang mereka alami di sekolah. Jawaban yang kudapat tak ada yang menyenangkan. Bagi mereka sekolah itu membosankan. Harus belajar itung-itungan, membaca, mengerjakan PR, distrap di depan kelas dsb.
Namun sesuatu yang beda kutemukan pada sosok Lisnawati. Ia baru kelas I SD. Baginya sekolah menyenangkan. Ia juga sangat menyukai belajar. Kabarnya ia berhasil memeroleh juara kelas pada ulangan Catur Wulan (Cawu) I. Aku juga sering mendengar dia belajar membaca. Suaranya amat lantang melafalkan pelajaran Bahasa Indonesia tiap malam usai Isya.
Penasaranku terhadap Lisnawati yang beda dari teman lainnya ini berbuah keakraban. Ia selalu menemuiku untuk main bersama sepulang sekolah. Tapi dia tak sendirian. Jumariyah, tetangga Lisnawati beberapa hari terakhir selalu ikut main bersama. Aku memerhatikan saja ketika mereka berdua mulai mengasingkanku dengan mainan khas perempuan. Sebuah mainan kertas, berupa gambar-gambar orang yang bisa diganti-ganti pakaiannya mereka keluarkan. Kami menyebut mainan khas cewek itu BP atau Bongkar Pasang.
Walau aku tak ikut main, tapi aku senang bisa memerhatikan dari dekat wajah ayu Lisnawati. Aku merasakan kebahagiaan luar biasa. Apakah ini namanya cinta?
Keasyikanku sedikit terusik dengan hadirnya beberapa orang anak lainnya. Mereka rata-rata kelas III dan IV. Pe’i adalah satu dari mereka. Ia mencandai kami.
“Hayoooo... pacaran ya…? Ih masih kecil sudah pacaran…” kata Pe’i.
Aku hanya diam tak tahu harus berbuat apa. Marahkah? Senangkah? Atau nangiskah? Tapi lagi-lagi, timbul rasa PD, bahwa ledekan Pe’i itu adalah pengakuan masyarakat akan cintaku terhadap Lisnawati. Ini berarti aku harus senang menyikapi Ledekan seniorku itu.
Pandangan kuarahkan pada dua perempuanku yang asyik dengan mainannya. Mereka tampak tak peduli dengan kehadiran Pe’i. Apakah mereka tak mengerti cinta? Atau mereka, terutama Lisnawati, merasakan hal sama sepertiku, yakni senang karena dapat pengakuan dari senior bahwa kita sedang pacaran?
Belum selesai aku berfikir, Sri Wahyuni, siswa kelas IV yang datang bersama Pe’i tadi, mengajak kami semua bermain “manten-mantenan” atau pengantin-pengantinan. Permainan ini semacam simulasi pernikahan. Aku, Lisnawati dan Jumariyah adalah pengantinnya. Kelima seniorku mendandani kami bak seorang raja dan permaisuri. Aku berperan sebagai seorang pengantin lelaki yang menikahi dua perempuan. Pe’i dan Udin menyiapkan tiga kursi. Setelah siap, aku dipersilakan duduk di tengah. Sedangkan Lisnawati di samping kananku dan Jumariyah di sebelah kiri.
Tak tahu bagaimana menggambarkan perasaanku saat itu. Yang jelas aku melihat kedua istri-istrianku itu sangat cantik luar biasa. Aku pun benar-benar merasakan untuk kali kedua, jatuh cinta pada dua hati dalam waktu yang sama.
Esok harinya, Lisnawati mendatangiku. Kabarnya ia kena marah orang tuanya karena main manten-mantenan dengan make up sembarangan. Ya memang, make up yang kami gunakan adalah make up ala rimba. Para seniorku mendandani kami dengan dedaunan, bedak dari batu-bata yang dileburkan dan sebagainya. Parah memang. Hahahaha.
Tapi cerita Lisnawati itu tak membuat teman-teman seniorku kapok. Mereka mengajakku dan Jumariyah untuk kembali bermain itu lagi. Hingga hari ketiga kami bosan dan tak lagi mau diajak main itu lagi. Kami berganti main dagang-dagangan. Aneka dedaunan dan batang pisang kami jadikan barang dagangan. Daun becah belah adalah uangnya. Semakin lebar semakin besar nilainya. Dalam masa ini, cintaku pada Jumariyah berkembang pesat. Nyaris menyisihkan cintaku pada Lisnawati yang tak lagi mau main bersama kami karena larangan orang tua.
Sore menjelang maghrib kami baru bubar. Sampai di rumah, ayah memarahiku karena terlalu sore pulang. Lagi pula badanku gatal-gatal akibat alergi terhadap bermacam dedaunan yang kami mainkan. Sama seperti ayahnya Lisnawati, ayahku juga melarang aku kembali bermain dagang-dagangan. Akhirnya intensitasku bertemu dengan Jumariyah maupun Lisnawati berkurang drastis dan nyaris tak ada. Cinta kami akhirnya terhalang oleh kedua orang tua… hahahahaha

0 komentar:

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html