-->
Lanjutan Kisah Cinta Bunda Dan Om
Sampai di rumah, Bunda mulai memikirkan pertanyaan yang nyeletuk dari bibir Om Budi. “Memangnya aku nggak baik?” kalimat ini terus terngiang di hati Bunda. Berulang-ulang hingga tak terasa jam dinding menunjukkan pukul 04.00. “Ah, aku harus segera tidur. Esok pagi aku harus ngajar. Anak-anak TK muridku menunggu” kata Bunda cepat-cepat menyadari kondisi pikirannya.
Detik berguling, hari makin berlalu. Singkat cerita, Bunda dan Om Budi akhirnya sepakat melangsungkan pernikahan. Keduanya melakukan resepsi tanpa pesta. Babak baru dalam hidup mereka jelang bersama.
Bahagia menyelemuti. Tetapi ada satu hal yang mulai mengusik Bunda. Sikap Om Budi yang cemburuan dan cenderung protektif serta selalu ingin tahu masa lalunya, membuat Bunda tak nyaman.
Cemburu Om Budi terhadap laki-laki yang mengirim pesan ke inbox Bunda juga belum hilang. Ia terus mengorek masa lalu Bunda. Tindakan Om Budi sampai berbuah pertanyaan yang tak penting. “Kamu dulu waktu pacaran sama dia, kalau pulang diantar dia, ciuman nggak?”
Pertanyaan semacam itu membuat Bunda diam. Hatinya tertawa geli campur kesal. Reaksi Bunda membuat Om Budi geram. “Kok diam?” tanyanya.
“Kalau aku jawab ‘nggak’, kamu pasti tak percaya. Kalau aku jawab ‘ya’, kamu pasti marah. Jadi lebih baik aku diam,” jawab Bunda sewot.
“Ya udah jawab saja. Aku mau tahu aja.”
“Ya sudah. Tapi jangan marah. Jawabannya ‘Ya’, puas?”
Mendengar itu Om Budi diam, marah dan meninggalkan Bunda. Ia mengambil gitar dan duduk di teras hingga pukul 03.00 dini hari. Bunda tahu, suaminya minta perhatian. Namun ia tetap membiarkan tindakan suaminya itu.
Sebenarnya hati Bunda juga tak tenang. Sampai ia pun tak sanggup memejamkan mata. Akhirnya ia coba menyisihkan ego, keluar menuju ruang tamu. Daun pintu terbuka bebeapa senti, Om Budi tampak terkantuk-kantuk memeluk gitarnya.
Bunda mengambil segelas air dari dispenser. Ia meletakkan gelas di atas meja kaca. Dari tempat duduknya, sesakali ia menatap sang suami yang curi-curi pandang cari perhatian.
“Jadi, tak mau peduli nih?” suara tanya itu berjalan pelan masuk lewat sela daun pintu, merambat ke telinga dan beristirahat di hati.
Bunda bangkit dari duduknya. Ia tanggalkan keragu-raguan yang muncul dari selubung ke-Aku-annya. Ia menghampiri Om Budi, lalu mengalungkan tangan di pundak lelaki tersebut.
“Kita sudah membuka lembar baru kehidupan. Tak usahlah kita terus menengok ke belakang. Kita hidup untuk masa depan kita, masa depan anak-anak,” kata Bunda pelan. Di tenggorakannya tersembunyi rasa amarah atas ulah suaminya itu. Sang suami hanya diam.
“Ya, sudah,” kata suaminya.
“Ya sudah gimana?”
“Ya sudah, ayo ke dalam.”
“Oh. Tapi aku tak mau lagi membahas masalah ini. Nggak penting! Sekali lagi kamu tanya tentang hal ini, aku pergi dari sini,” ancam Bunda serius.
Sejak saat itu, Om Budi tak lagi berani menanyakan kisah-kisah lalu istri barunya ini. Mereka mantap menatap masa depan. Tapi rasa penasaran yang amat dalam kadang tak terbendung. Selalu saja ada momen yang mengingatkan Om Budi tentang masa lalu itu. Sehingga ia terpaksa harus menanyakan hal itu pada Bunda. Namun, pertanyaan tersebut selalu layu sebelum berkembang. Sebab Bunda selalu tahu gerak-gerik dan kalimat yang akan menjurus pada pertanyaan-pertanyaan seperti tadi. Jika itu terjadi, Bunda langsung memotongnya. “Hayoo!!! Mau nanya itu lagi?!”
Om Budi pun diam. Tak berani bertanya lagi. Rupanya ancaman Bunda cukup sukses meredam gejolak penasaran yang tak perlu diungkapkan itu.
Dua tiga hari, keadaan ini mampu membuat keduanya berlabuh di taman bahagia. Namun berikutnya, giliran Bunda meraskan ada sesuatu yang hilang. Sebuah kondisi di mana ia selalu diserang oleh tanya penasaran suaminya. Kehilangan itupun mengendap di dinding waktunya. Endapan yang kemudian berbalik memantulkan penasaran dalam jiwa. Untuk kali pertama Bunda merasa penasaran besar pada masa lalu suaminya.
Bunda sadar, mengutarakan penasaran ini hanya akan menambah masalah. Tapi ia tak mampu membohongi diri sendiri. Rasa itu makin memuncak dan tak tertahan. Setiap kali ia memeluk suaminya menjelang tidur, tiap itupula hatinya mual, ingin memuntahkan segala tanya dalam dada. Buru-buru ia menahan diri dengan kabur ke kamar mandi.
“Kemana?” tanya suaminya.
“Ke kamar mandi,” jawab Bunda setengah berlari.
“Kenapa? Kamu sakit?”
Bunda tak lagi menghirukan tanya suaminya yang telah di bekap kelelahan. Di kamar mandi, ia diam sejenak. Membasuh muka dan mengambil napas panjang lalu berwudhu.
Ia tak langsung menuju ranjang. Diambilnya mukena, lalu dengan penuh kekhusyu’an ia melakukan sembahyang. Memohon ketenangan dan pasrah pada Tuhan.
Ketenangan yang menyelimuti tiba-tiba, membuat Bunda terlelap cepat. Namun hanya beberapa jam saja, gelisah kembali mengobrak-abrik padang ilalang mimpinya. Ia terbangun pukul tiga. Tak ada jalan lain kecuali memohon pertolongan Tuhan atas situasi psikis yang ia alami.
Tiga hari dalam perasaan jiwa yang tak tenang, Bunda tak sekalipun mengungkapkan itu pada suaminya. Hingga suatu malam, seorang wanita dengan rambut panjang berombak mendatanginya dalam mimpi. Mimpi yang begitu jelas. Sangat jelas hingga seperti nyata. Perempuan itu datang dengan wajah bengis.
“Kamu ngapain di sini? Kamu nggak akan bahagia sama Budi. Budi cuma sayang sama aku. Dia nggak sayang sama kamu. Kamu akan kecewa. Kamu akan menderita. Budi akan meninggalkanmu, menyia-nyiakanmu,” ujar perempuan itu dengan ekspresi mengancam.
Bunda segera terbangun. Diambilnya air wudlu dan shalat dua rakaat. Paginya, Bunda bertanya-tanya, siapa perempuan yang menemuinya tadi malam? Apakah ia almarhum istri suaminya?
“Mas, minta kunci lemari itu dong,” Bunda menunjuk sebuah lemari kecil yang menyimpan beberapa album keluarga.
“Buat apa?” tanya Om Budi.
“Nggak apa-apa? Aku mau lihat-lihat foto almarhum.”
Om Budi diam sejenak. Membiarkan tanya hatinya tak terjawab. Setelah yakin takkan ada masalah, ia mengambil sebuah rentengan kunci. Lalu ia serahkan rentengan kunci itu pada Bunda.
Bunda membuka album keluarga tersebut dengan hati-hati. Namun berjam-jam ia amati foto almarhum, tak satupun kemiripan yang ia jumpai dengan perempuan di mimpi itu. Lalu siapakah dia? Bunda tak berani bertanya pada Om Budi yang sedari tadi heran mengamati tindakannya.
Menjelang magrib, saat Om Budi dan Encang (panggilan orang tua almarhum, yang tinggal di rumah ini) santai di ruang tamu menonton TV, Bunda memberanikan bercerita tentang mimpinya. Mendengar detail cerita Bunda, Om Budi pergi begitu saja tanpa basa-basi. Kemudian Encang mulai angkat bicara. Encang meyakinkan, bahwa perempuan di mimpi Bunda itu adalah perempuan yang pernah membuat keluarga Om Budi dengan almarhum istrinya berantakan. Bahkan keduanya sempat bercerai gara-gara perempuan itu.
Menjelang tengah malam, Bunda tak segera memejamkan mata. Pikirannya kosong. Terlintas kembali mimpi yang ia alami malam kemarin. Tanpa sadar, lamunannya berujung pada mimpi yang hampir sama. Tapi di sini yang muncul bukan saja perempuan itu. Ada Om Budi di samping perempuan rambut panjang bergelombang itu. Mereka berdiri di sebuah tempat yang asing, tapi terasa sangat dekat. Pohon-pohon berjajar, beberapa perangkat out bond, rerumputan dan danau merupakan dekorasi mimpi itu.
Tak lama, Bunda melihat almarhum mendatangi Om Budi yang bergandeng tangan dengan perempuan tadi. Almarhum tampak ingin mengatakan sesuatu.
Bunda tercengang kaget, saat kedua perempuan di depannya itu saling memaki dan saling menjambak rambut panjang mereka. Bunda juga tertegun menyaksikan Om Budi hanya diam tak melerai. Almarhum kemudian mundur. Matanya tajam menatap Om Budi.
“Kamu pilih aku atau dia? Kalau pilih aku, tinggalkan dia. Kalau pilih dia, pegilah tinggalkan aku,” tegas almarhum.
Om Budi pergi berlalu bersama perempuan itu sambil menatap almarhum yanng menangis tersedu-sedu dengan tatapan penuh rasa bersalah. Mimpi ini berakhir menjelang subuh.
Usai menyiapkan sarapan, Bunda kembali menceritakan mimpinya pada Suaminya dan Encang. Dan seperti kemarin, Om Budi meninggalkan Encang dan Bunda yang tengah berkisah tentang mimpi semalam.
Encang membenarkan, mimpi itu adalah kejadian nyata yang terjadi beberapa waktu lalu. Tempat kejadiannya di Situ Gintung. Persis seperti apa yang ada dalam mimpi.
Malam-malam berikutnya, masa lalu Om Budi tetap menghampiri Bunda lewat mimpi. Saking seringnya, Om Budi tak lagi mau mendengar dan melarang Bunda bercerita. Akhirnya Bunda pun selalu diam terhadap mimpi yang datang padanya. Berbagai peristiwa, tangisan, perempuan rambut panjang bergelombang yang terus menebar ancaman, pertengkaran Om Budi dengan almarhum istrinya dsb, selalu datang tiap malam selama enam hari. Hingga pada malam ke tujuh Bunda bermimpi, almarhum datang ke rumah.
“Hai Pie,” sapa almarhum pada Bunda yang sama-sama punya panggilan Opie.
“Ya Pie,” sambut Bunda. Keduanya tampak seperti sudah saling mengenal sejak lama. “Mampir ke dalam lah,” Bunda menawari almarhum untuk masuk ke rumah.
“Enggak, aku buru-buru kok,” jawab almarhum. “Titip anak-anak ya, titip Mas Budi juga,” kata almarhum berpesan.
“Ya,” jawab bunda singkat dengan makna yang sangat padat.
“Oya Pie, ada payung hitam nggak? Pinjam dong,” pinta almarhum pada Bunda.
“Kalau payung hitam nggak ada. Ada di belakang payung merah. Itupun sudah agak rusak,” jawab Bunda serius.
“Payung hitam ah, besok mau hujan nih,” pinta almarhum memaksa.
“Oh ya sudah, coba aku cariin,” jawab Bunda yang langsung terbangun.
Paginya, Bunda belum berani bercerita pada Om Budi tentang mimpi semalam. Karena seperti sebelumnya, Om Budi tak mau mendengar masa lalunya yang terbongkar lewat mimpi Bunda.
“Ncang, tadi malam aku mimpi, Mbak Opie minta payung hitam. Katanya hari ini mau hujan deras,” papar Bunda pada Encang.
“Ya elah ntu anak, udah mati ya udahlah, pakai minta-minta payung segala. Ngapain sih ntu anak? Jawab Encang ngasal. “Ya sudah sono bilang sama Budi,” lanjut Encang.
Dengan hati-hati Bunda menyampaikan permintaan almarhum kepada Om Budi. Pagi itu, menjelang pukul 10.00, Om Budi pergi ke toko. Ia kembali ke rumah dengan dua buah payung hitam. Usai menaruh satu payung di dapur, Om Budi segera meluncur ke makam almarhum. Ia mengucap salam dan berdoa kepada Tuhan, agar almarhum mendapat tempat yang baik di sisi-Nya. Kemudian Om Budi mengembangkan payung hitam di tangannya, lalu menancapkan tepat di makam almarhum.
Sampai di rumah, ia menjumpai Bunda. Tak ada kata terucap dari istrinya itu. Bunda hanya terpaku di pintu. Ia menunggu kata-kata yang sepertinya akan diucapkan sang suami.
“Aku sudah taruh payung itu di makam almarhum,” kata Om Budi.
Seketika itu pula, hujan turun dengan derasnya. Air hujan tempias ke rumah Om Budi, membuat seluruh buluguduk Bunda merinding, teringat mimpi semalam.
Setelah kejadian terakhir, mimpi-mimpi Bunda berjalan normal. Tak ada lagi masa lalu suaminya menghampiri. Tapi jika mengingat kejadian dan mimpi yang ia alami, buluguduknya tak dapat tertahan.
0 komentar:
Posting Komentar