Selasa, 13 Juli 2010

Pasrah I

Pasrah. Siapapun pasti pernah berada dalam keadaan ini. Biasanya, orang mengambil sikap pasrah setelah merasa tak ada lagi usaha lain yang ia bisa lakukan. Pada posisi itu, ia hanya berharap pada keajaiban agar apa yang diinginkan tercapai.
Hal itu pernah dialami oleh seorang mahasiswa, yang tak mendapat kiriman dari orang tuanya selama berbulan-bulan. Ia juga tak punya cukup waktu untuk melakukan pekerjaan sambilan yang menghasilkan uang, sebab jadwal kuliah dan kegiatannya sangat padat. (Tentu saja, tak semua mahasiswa pernah mengalami hal semacam ini). Penulis sengaja tak menyebutkan namanya, demi menjaga privasi sang pemilik cerita hidup.
Menghadapi situasi tak menggembirakan ini, sang mahasiswa terpaksa harus numpang nimbrung makan di tempat teman, ngutang di warteg langganan dan pastinya pasrah pada Tuhan. Ia berkeyakinan penuh, tak ada satupun makhluk ciptaan Tuhan yang tidak diberikan-Nya rizki. Selama seseorang masih ditakdirkan hidup, selama itu pula rizki dari Tuhan ada untukknya.
Bagi mereka yang pernah mengalami hidup sebagai mahasiswa, tanpa kost-an, tanpa kiriman uang, tanpa penghasilan dan seterusnya, pasti akan tercengang ketika mereka menyadari telah melewati waktu 4-5 bulan tanpa kiriman, dan masih hidup serta sehat-sehat saja. Tentu ada pula yang lebih lama dari ini. Yang pasti, secara fisik dan psikis, hidup semacam ini sangat tidak nyaman,
Waktu itu, mahasiswa dalam tulisan ini, memang benar-benar tak punya uang. Mau ngutang pun sudah malu, sebab kredit utangnya telah melewati batas normal. Ia hanya berharap, ada acara-acara seminar di kampus yang menyediakan nasi kotak gratis. Tapi sialnya, seminar yang digelar oleh beberapa BEM Fakultas hari-hari itu, hanya menyediakan ilmu dan segelas air mineral.
Menjelang pukul 12.00 malam, perutnya mulai melilit. Tapi ia berusaha untuk tak merasaknya. Ia coba membaca buku di kosan temannya. Lagi-lagi ia gagal memfokuskan kosentrasi. Ia pun meneguk beberapa gelas air putih, demi menjaga metabolisme tubuh. Kemudian ia berbaring dan memejamkan mata. Tapi karena perut kosong, pikiran pun jadi bengong.
Seorang kawan mengajakknya untuk bermain kartu remi. Ia bangkit penuh semangat. Harapannya satu, semoga permain ini membuatnya lupa akan lapar. Apalagi tak mungkin orang main kartu tanpa kopi dan rokok. Ia bisa ikut menikmati hembusan nikotin dan lumasan kafein gratis.
Terkabulah harapannya. Bermain kartu mampu memotong waktu. Tak terasa jarum jam telah bergeser ke angka 06.00 pagi. Enam jam sudah ia lewati. Lelahpun dengan sopan menggodanya. Pukul 06.30 ia memejamkan mata dengan tenang.
Karena tubuh kurang asupan gizi, ditambah kecapaian seusai main kartu, mahasiswa itu tidur pulas. Beberapakali ia terjaga, namun badan menariknya kembali memeluk kasur libat yang ditindihnya. Sampailah ia pada pukul 15.00, saat di mana kantuk telah bosan mencumbu kelopak mata. Padahal lemas masih membekap tubuh erat-erat.
Ia bangkit menuju kamar mandi. Kemurnian air telah merembes melewati porinya menuju lubang jiwa. Menyulut derap langkah untuk menjalankan aktivitas seperti biasa.
Ia menuju Kantin Ushuluddin. Berharap ada teman yang membelikan gorengan, sebatang rokok dan beberapa sruput kopi. Hingga gelap membenamkannya kembali pada malam.
Kali ini ia tak lagi memotong lapar dengan kartu remi. Ia pergi ke tempat forum diskusi. Malam itu ada diskusi Filsafat Barat. Dan pastinya, cowok-cowok pegiat diskusi tak mungkin tak berpeluh asap. Ini bisa membuat relax dan sedikit melupakan lapar. Hanya beberapa jam saja lapar mengurungnya. Sesudah itu, kondisi tubuh kembali normal.
Paginya, ia kembali ke kantin. Bercanda dan berwacana serta berkelakar dengan teman-teman. Berbagai hal-hal tak penting ia umbar, membuat mentari enggan berlama-lama menyaksikan. Akhirnya malam tiba berkendara senja. Wajah ayu rembulan tampak pasrah. Bulan tak mau melihat orang yang tengah berlari dari kejaran rasa lapar dan bertingkah semuanya. Tapi bulan tak sanggup menolak tugasnya malam itu. Ini jadwalnya tampil penuh satu lingkaran. Tanggal hijriyah menunjuk 15.
Kali ini sang mahasiswa mencari cara lain untuk bersembunyi dari rasa lapar. Ia pergi ke basecamp sebuah band. Di sana ada gitar. Ia punya rencana, jika lapar datang tiba-tiba, ia akan menyanyikan lagu-lagu metal atau rock. Ia berharap nyanyian itu melenakan rasa lapar hingga tak mengganggu perut serta impian.
Ia memulai dengan sebuah lagu berjudul “Ada Yang Hilang” miliknya Ipank. Teriakannya penuh penghayatan. Mengundang teman-teman tetangga kosan, mengerubunginya. Terkumpulah empat kawanan jomblo. Mereka punya yel-yel “Jomblo Bersatu Tak Bisa Dikalahkan!!!” Setelah yakin tak ada acara lain, keempat jomblowan itu memutuskan waktunya untuk bersantai dengan bernyanyi. Karenanya, segelas kopi dan beberapa batang rokok harus tersedia.
Dua jam lebih bernyanyi, membuat sang mahasiswa lelah dan serak. Disudahinya kegilaan ini. Tapi ia merasa ada sesuatu yang hilang. Sesuatu itu adalah rasa lapar. Kini ia dapat melangkah dengan leluasa melewati jalan malam. Tanpa rasa lemas dan rasa cemas.
Di pinggir jalan ia menyapa beberapa kawan yang sedang asyik nongkrong menghidupkan perbincangan dan membincangkan kehidupan. Ia pun mampir. Di sini pun pasti, asap dan kopi tersedia, gratis.
Menjelang subuh, kantuk memanggilnya. Di kosan teman ia terbaring. Hingga ashar tiba ia tak kunjung bangun. Temannya mulai cemas. Takut terjadi apa-apa dengan dia. Pasalnya, ia tidur pulas dari pukul 05.00-17.00. Dengan ketegaan yang minim, teman itu membangunkan sang mahasiswa. Ditanyalah kesehatannya. Sang mahasiswa itu bilang, “baik-baik saja. Cuma kecapaian saja.”
Setelah mandi, sang mahasiswa itu melanjutkan perjalanan laparnya ke Pesanggrahan. Di jumpai Warung Pecel Lele, yang juga menjadi langganan berhutang. Ia mengelus perutnya. Sebenarnya rasa lapar belum datang. Mungkin laparnya masih tertidur di kost-an. Namun sang mahasiswa kasihan dengan lambungnya. Lalu ia memutuskan untuk mengakhiri puasa nasi. Tentu saja dengan jalan hutang.
Hari-hari berikutnya, ia masih kesulitan dalam ekonomi. Namun tak separah empat hari itu. Minimal dua hari sekali, pasti ada saja nasi yang ketemu. Entah itu diajak makan teman, dibayarin, ngutang, dari acara-acara seminar dan sebagainya.
Beberapa bulan kemudian, kondisi ekonomi sang mahasiswa mulai membaik. Kini ia mendapat kiriman, walau jumlah kiriman itu tak seberapa dibandingkan biaya hidupnya di Jakarta. Tapi setidaknya, kiriman itu tak membuat ia menahan lapar berbulan-bulan atau empat hari dengan lambung tanpa nasi. Karenanya, demi menghemat biaya hidup, ia terpaksa menyusun rencana untuk makan nasi dua hari sekali. Tapi ternyata tak berhasil. Baru sehari semalam saja, badannya sudah gemeta, lemas dan keluar keringat dingin. Kepasrahan yang ia punya tak mampu melampaui kepasrahan ketika ia benar-benar tak memegang uang. Ia pun bertanya kenapa demikian? Beberapa tahun kemudian ia menemukan jawaban dari seorang kawan bahwa ketika kamu pasrah, bukan berarti kau tidak melakukan apa-apa. Otakmu tetap bekerja walau raga telah menghentikan pekerjaannya… Namun sang mahasiswa belum paham benar dengan apa yang temannya utarakan. Di malam menjelang tidur, kalimat kawannya itupun terngiang-ngiang, membentuk tanda tanya besar… pasrah bukan berarti diam?

Bersambung ke Pasrah II

0 komentar:

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html