Menjadi mahasiswa UIN Jakarta, kadang susah dan kadang enak. Susahnya, ya tak perlu dijelaskan. Cukup pikir serta rasakanlah sendiri. Sedangkan enaknya jadi mahasiswa ialah memeroleh fasilitas dan pelayanan kampus, baik pandidikan, kesehatan, kegiatan dan lain-lain. Ini wajar karena tiap semester, mahasiswa telah membayar semua itu.
Tapi tak jarang, mahasiswa sering merasakan pelayanan yang kurang prima. Hal ini menyulut aksi protes mahasiswa, mulai dari demonstrasi, obrolan kantin, forum diskusi dan sebagainya. Salah-satu yang kerap menjadi keluhan mahasiswa adalah pelayanan kesehatan.
Kita tahu, jumlah mahasiwa UIN Jakarta saat ini kurang lebih 22.000 kepala. Tiap semester, mereka wajib membayar Dana Kesehatan Mahasiswa (DKM), sebesar Rp.25.000-30.000, tergantung ankatan (*bener nggak?). Jika dikalikan, total DKM berjumlah Rp.550.000.000 (bener nggak nih? Gak jago matematika gw…;) Ini baru satu semester saja. Kalau dalam setahun ya, kalikan dua saja. Berapa coba?
Dengan total dana sebesar itu, seharusnya mahasiswa mendapatkan pelayanan kesehatan yang memuaskan dari Rumah Sakit Syarif Hidayatullah (RS Syahid / RS-nya UIN). Tapi kenyataannya tidak demikian. Tak percaya? Coba dengarkan cerita-cerita temanmu (mahasiswa UIN). Mereka yang pernah atau sering berobat ke RS Syahid, pasti mengenal tablet bernama amoxilin. Bagi RS Syahid, amoxilin adalah pil mujarab yang mampu menyembuhkan segala macam penyakit. Sebab mahasiswa yang berobat dengan DKM, akan mendapatkan tiga resep obat dari dokter. Satu di antaranya adalah amoxilin. (ini rata-rata loh, tak percaya? Survey saja sendiri).
Kondisi tersebut diperparah dengan tidak adanya transparasi DKM. Berapa jumlah total uang DKM yang masuk kampus dan RS Syahid? Berapa jumlah mahasiswa yang sakit per tahun atau per semester? Dan mahasiswa pun cenderung diam. Tak tahu apakah mereka tak paham hitungan atau malas saja mengurus hal-hal yang dimikian karena kewajibannya hanya belajar di bangku kuliah saja? Wallahu a’lam.
Kejadian di RS Syahid.*
Oke. Kita lupakan sejenak masalah DKM. Ada peristiwa unik, yang pernah dialami Nabil, mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum. Ketika itu, kalender di kost-an Nabil menunjukkan tanggal tua. Itu artinya, Nabil tengah menghadapi masa krisis bulanan sebagai mahasiswa rantau.
Karena tak ada jam kuliah, pagi itu Nabil bangun pukul 11.00. Ia baru tidur selepas subuh. Setelah minum air putih dan cuci muka, Nabil merasakan ketidakberesan terjadi di tubuhnya. Meriyang dan sedikit panas. Ia pun segera mandi dan menuju Warteg, dengan sisa kehidupan yang ia punya.
Setelah makan dan minum obat yang ia beli dari toko di Jl. Pesanggrahan, Nabil berjalan lemas kembali ke kost-annya. Ia tak nyaman melakukan aktivitas dengan kondisi kesehatan yang demikian. Ia pun beristirahan merebahkan tubuh di kasur lipat, sambil mendengarkan lantunan musik blues.
Hingga ashar menjelang, Nabil belum pulih dari meriangnya. Badan terasa sakit dan pegal-pegal, plus lemas. Pukul 16.00, lelaki bertubuh gemuk standar ini memaksakan diri berobat ke RS Syahid. Berbekal KTM dan slip pembayaran, Nabil menyongsong haknya sebagai mahasiswa UIN Jakarta untuk berobat gratis.
Sampai di RS Syahid, Nabil harus antri untuk registrasi sebelum ke dokter umum. Ada lima orang di depan Nabil. Satu persatu mereka meninggalkan antrian dengan sepucuk kertas. Tinggalah Nabil dan Seorang perempuan di depannya. Saat itu, petugas yang melayani registrasi adalah seorang pria, tak terlalu tua tapi juga tidak muda lagi.
Nabil memerhatikan perempuan di depannya itu. Kemudian ia menatap petugas yang tampak lelah karena seharian bekerja menghadapi orang-orang sakit. Wajah petugas itu kaku dan tampak kejam. Tak sedikitpun ada senyum di bibirnya. Terbersit sebal juga melihat tampang petugas itu. mungkin juga agak ngeri.
“Nama?” tanya petugas itu pada perempuan di depan Nabil.
“Titim,” jawab perempuan itu meringis menahan sakitnya.
“Hah? Titin?”
“Bukan pak, Titim pakai M...”
“Mimin?”
“Bukan, pakai T, T..”
“Titit..?” tanya petugas itu memastikan.
Mendengar dan menyaksikan dialog tersebut, Nabil tak sanggup menahan tawa. Segera itu juga, meriyang dan panas yang diderita Nabil lenyap di telan canda.
*Kejadian ini nyata tanpa rekayasa. Hanya sedikit dipoles karena proses transformasi dari lisan ke tulisan. Di tulis oleh Pagar Dewo, pada 5 Juli 2010, pukul 04.45 WIC.
0 komentar:
Posting Komentar